“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Bara dalam istana
Pagi menyapa Samudra Jaya dengan cahaya pucat yang terselubung awan kelabu. Hujan semalam meninggalkan jejak embun di tiap ujung dedaunan, namun udara yang terasa lembap itu tak juga membawa kesejukan bagi siapa pun di dalam istana. Ada sesuatu yang menggantung di udara — sebuah kegelisahan yang tak terucapkan.
Di balairung utama, Prabu Harjaya duduk di atas singgasana dengan wajah tenang, namun tatapannya tajam menembus suasana. Di hadapannya, Raden Arya berdiri tegap sambil membawa gulungan surat bersegel emas. Di sisi lain, Raden Raksa datang sedikit terlambat, namun seperti biasa, ia menutupi keterlambatannya dengan senyum sopan dan tatapan penuh percaya diri.
“Gusti Ayahanda,” ujar Raden Arya sambil memberi sembah, “ini surat balasan dari Mandalapura. Mereka menerima dengan hormat usulan perjodohan antara Adinda Dyah Anindya dan Putra Mahkota mereka, Pangeran Wijayanegara
Prabu Harjaya mengangguk perlahan. “Syukurlah. Maka dengan ini, Samudra Jaya dan Mandalapura akan terikat dalam tali keluarga. Dua kerajaan besar di timur akan menjadi satu kekuatan yang tak tergoyahkan.” Raden Raksa menunduk hormat, namun matanya tajam menyimpan bara.
“Perkenankan hamba bertanya, Ayahanda,” ucapnya perlahan. “Apakah Putri Dyah sudah mengetahui hal ini?”
Prabu Harjaya menoleh, sedikit terkejut oleh nada tanya yang terlalu berani. “Belum. Aku bermaksud menyampaikan sendiri padanya nanti malam.”
“Apakah Ayahanda yakin, Putri Dyah akan menerimanya dengan lapang?” tanya Raksa lagi.
Nada itu, walau terdengar sopan, menimbulkan ketegangan di antara mereka. Raden Arya melirik adiknya dengan tatapan menegur, namun Raksa tetap menatap sang Raja tanpa gentar.
“Aku tahu apa maksudmu,” jawab Prabu Harjaya akhirnya. “Kau khawatir kakakmu menolak. Tapi ia putri kerajaan. Ia paham bahwa kebahagiaan pribadi bukan di atas kepentingan negeri.”
“Benar, Ayahanda,” Raden Arya menimpali cepat, mencoba menenangkan suasana. “Mbak yu Dyah bijak, ia pasti akan mengerti.”
Raksa menunduk pelan, tersenyum samar. “Tentu, Ayahanda. Hamba hanya berharap tidak ada hati yang patah dalam perjalanan keputusan ini.” Kalimatnya mengandung makna ganda, namun Prabu Harjaya tidak menanggapinya lebih jauh. Ia melambaikan tangan memberi tanda agar kedua putranya mundur. Raksa menunduk dalam dan berbalik perlahan, namun saat langkahnya melewati Raden Arya, ia berbisik pelan di telinganya,
“Kadang yang tampak tenang di permukaan justru menyimpan badai di dasar.”
Arya menatapnya sekilas, tapi Raksa sudah berjalan menjauh.
Sementara itu, di keputren, Putri Dyah duduk termenung di depan cermin. Rambutnya yang panjang tergerai, mata indahnya tampak sayu. Laras yang sedang menata bunga melati di vas kecil berulang kali menatap tuannya dengan khawatir.
“Gusti, apakah Gusti tidak ingin makan pagi?”
Dyah menggeleng perlahan. “Tidak, Laras. Aku belum sanggup.”
“Apakah Gusti masih memikirkan Panglima Aruna?”
Putri Dyah terdiam. Pertanyaan itu menusuk, tapi ia tak bisa mengingkarinya. “Ya, Laras. Tapi bukan hanya dia. Aku juga memikirkan ayahanda, kerajaan ini, dan masa depanku yang mungkin bukan milikku lagi.”
Belum sempat Laras menjawab, suara langkah dayang lain terdengar dari luar pintu.
“Gusti Dyah,” ujar seorang dayang sambil menunduk, “Raden Arya hendak menemui Gusti. Katanya ada kabar penting dari balairung.” Dyah segera menegakkan duduknya. Hatinya berdebar aneh, seolah firasat buruk menyelinap di dadanya. “Persilakan beliau masuk.” Tak lama kemudian, Raden Arya masuk dengan langkah tenang. Wajahnya ramah, namun ada gurat khawatir yang tak bisa disembunyikan.
“Mbak yuDyah,” sapanya lembut, “bagaimana kabarmu pagi ini?”
Dyah berusaha tersenyum. “Baik, adimas. Meski hatiku sedang tidak tenang.”
Arya mengangguk pelan. “Mbak yu... maaf aku datang membawa kabar yang mungkin sulit kau dengar.” Dyah menatap adiknya, dan sejenak waktu seakan berhenti.
“Kerajaan Mandalapura telah menyetujui usulan Ayahanda. Mereka mengirim surat balasan semalam. Kau... akan dijodohkan dengan Putra Mahkota mereka.” Sekilas wajah Dyah pucat. Matanya membulat, tapi bibirnya tak mengeluarkan suara apa pun. Hanya dada yang naik turun menahan gemuruh di dalam.
“Jadi... ini sudah diputuskan?” suaranya nyaris berbisik.
Raden Arya menunduk. “Ya, mbak yu. Ayahanda akan menyampaikan secara resmi malam nanti.” Beberapa detik Dyah hanya terdiam. Lalu, perlahan ia tersenyum—senyum yang hampa. “Kalau begitu... takdirku sudah ditulis. Aku hanya perlu belajar menerimanya.”
“Mbak yu Dyah…” Arya mencoba mendekat, tapi Dyah berdiri, menatap keluar jendela. “Adimas, apakah cinta selalu harus dikorbankan demi negeri?” tanyanya lirih.
Raden Arya tidak menjawab. Ia tahu apa yang dimaksud kakaknya.
“Nyuwun sewu mbak yu, terkadang ada cinta yang harus saling berkorban. Kebahagiaan seseorang dalam mencintai itu tidak harus saling memiliki tapi mengikhlaskan seseorang yang dicintainya bahagia disisi orang lain,”
Putri Dyah memandang adiknya dengan sendu, nyatanya ini tak semudah yang Arya katakan. Sakit itu nyata, dan sekarang itulah yang ia rasakan. Tapi dia tahu cinta mereka terlarang dan ikatan itu harus di akhiri.
***
Sementara itu di paviliun Raden Raksa, pangeran kedua Samudra Jaya itu tengah merencanakan sesuatu. Tatapannya nyalang dan tajam karena masih kesal dengan dua utusan dari Mandalapura tadi. Bagaimana bisa mereka dengan mudahnya menyerahkan isi surat balasan itu pada Raden Arya padahal dia sendiri juga keturunan dari Prabu Harjaya. Raden Raksa memukul pegangan kursi dengan keras membuat Jaya Rudra yang saat itu tengah mengecek beberapa pendukungnya langsung terlonjak kaget.
“Ampun Gusti, apakah ada masalah yang yang mengganjal dihati Gusti?” Tanya Jaya Rudra.
“Jaya Rudra bagaimana dengan para pendukungku?”tanya Raden Raksa tanpa mengalihkan pandangannya dari taman paviliun.
“Ampun Gusti sepertinya semakin hari semakin banyak para bangsawan yang mendukung Gusti terlebih lagi dari pihak luar, ini mungkin menguntungkan kita,” jawab Jaya Rudra. Tiba-tiba Tumenggung Wiranata datang dengan tergopoh-gopoh lalu memberi hormat pada Raden Raksa.
“Ampun Gusti, pasukan Parang Giri mulai melakukan penyerangan dari arah selatan. Mereka membawa pasukan yang cukup banyak hampir seribu pasukan Gusti,”
Raden Raksa mengusap-usap janggutnya sambil tersenyum miring, sepertinya pikirannya mulai bekerja. Mungkin ini kesempatannya menguji Putra Mahkota dari Mandalapura serta Raden Arya—kakak tirinya.
“Baiklah.... Adakan rapat dan sampaikan pesan itu pada Gusti Prabu, kumpulkan semua bangsawan dan pangeran Samudra Jaya,” titah Raden Raksa.
“Sendika dawuh Gusti,” ucap Tumenggung Wiranata setelah memberi hormat lalu izin untuk undur diri.
“Baiklah kakangmas Arya siapa diantara kita yang terbaik,” guman Raden Raksa dalam hati. Sementara itu Tumenggung Wiranata memberitahu pesan itu pada Mahapatih Nirmala Wisesa tentu saja, laki-laki tua itu sangat terkejut dengan tergesa dia pun ke kedhaton Prabu Harjaya lalu memberitahu pesan itu dan dengan singkat semua bangsawan dan para pangeran serta putri mahkota diundang dalam rapat itu.
“Ampun Gusti Prabu, ada apa sekiranya para bangsawan semua turut hadir dalam rapat kali ini?” tanya Tumenggung Sagara.
“Aku mendapat pesan pasukan Parang Giri sudah masuk ke perbatasan di selatan dengan membawa pasukan yang cukup banyak, itu artinya mereka sudah menyatakan perang pada Samudra Jaya,” kata Prabu Harjaya tentu saja ini mengejutkan semua yang hadir dalam rapat. Raden Arya yang duduk di sisi kanan Prabu Harjaya tampak menunduk, memutar-mutar cincin di jarinya, sementara Putri Dyah Anindya, yang duduk di sisi lain, menatap lantai dengan wajah tegang. Panglima Aruna duduk di samping tumenggung Wiranegara, bersiap jika sewaktu-waktu dibutuhkan pendapat tentang kekuatan militer.
“Ampun Gusti Prabu,” suara berat Tumenggung Sagara memecah keheningan. “Apakah benar kabar itu? Parang Giri telah berani melintasi perbatasan?”
Prabu Harjaya mengangguk perlahan. “Benar adanya, Tumenggung. Menurut laporan Tumenggung Wiranata, pasukan mereka telah tiba di hutan perbatasan selatan. Jumlah mereka tidak sedikit. Ini bukan lagi ancaman kecil.” Terdengar helaan napas dari para bangsawan. Sebagian mulai berbisik, sebagian lagi memandang ke arah Raden Arya, sang putra mahkota yang selama ini dikenal sebagai pemimpin muda yang bijak dan tenang—namun belum pernah benar-benar diuji dalam medan perang. Raden Arya mengangkat wajahnya, berusaha tetap tenang. “Ampun Gusti Ayahanda,” katanya dengan suara yang agak bergetar, “jika benar demikian, maka kita harus segera memperkuat barisan di selatan. Aku akan memerintahkan pasukan cadangan untuk bersiaga di benteng Narasoma.” Namun sebelum Prabu Harjaya sempat menanggapi, suara lembut namun tajam milik Raden Raksa terdengar dari ujung meja. “Kakangmas Arya,” katanya sambil tersenyum tipis, “aku kagum dengan tekadmu. Tapi apakah kakangmas sudah memikirkan rute suplai logistik, posisi mata-mata, atau strategi pertahanan jika pasukan Parang Giri menggunakan tipu muslihat?” Nada suaranya terdengar sopan, namun tatapan matanya menantang. Semua mata kini tertuju pada Raden Raksa yang duduk dengan tenang, bahkan terlalu tenang untuk suasana genting seperti itu.
Raden Arya menatap adiknya sejenak, terlihat ragu. “Aku… aku sedang mempertimbangkannya,” jawabnya pelan. “Namun kita tidak boleh terburu-buru mengambil keputusan tanpa mendengar laporan lengkap dari Panglima Aruna.”
Panglima Aruna segera melangkah ke depan, memberi hormat. “Ampun Gusti Prabu, hamba telah menyiapkan sebagian pasukan inti di benteng Narasoma dan sebagian lainnya di pos jaga selatan. Namun jika jumlah pasukan musuh benar mencapai seribu orang, maka kekuatan kita di sana belum cukup untuk menahan mereka lama.”
“Seribu orang…” gumam Dyah Anindya lirih, matanya membulat cemas. “Apakah mereka benar-benar hendak menyerang kita?”
Raden Raksa menoleh ke arahnya dan tersenyum samar. “Tidak ada pasukan sebesar itu datang untuk berkunjung, mbak yu. Parang Giri tidak akan repot-repot menurunkan seribu prajurit hanya untuk pamer kekuatan. Mereka datang untuk menguji seberapa kuat Samudra Jaya menjaga tahtanya.” Kata-kata itu membuat suasana semakin berat. Prabu Harjaya mengetuk tongkatnya perlahan ke lantai. “Cukup. Sekarang bukan waktunya untuk saling berdebat. Aku ingin mendengar usulan yang masuk akal.” Beberapa bangsawan mulai berbisik satu sama lain. Ada yang menyarankan mengirim utusan perdamaian, ada pula yang mengusulkan untuk menunggu hingga Parang Giri benar-benar melangkah lebih jauh. Namun Raden Raksa tiba-tiba berdiri, mengangkat suaranya.
“Ampun Gusti Prabu,” katanya sambil menunduk hormat, “izinkan hamba mengajukan satu usul. Parang Giri bukan musuh yang mudah. Mereka memiliki pasukan yang terlatih dan medan selatan yang luas akan menguntungkan mereka. Jika kita ingin menahan serangan itu tanpa kehilangan banyak prajurit, kita perlu bantuan sekutu.”
Prabu Harjaya memandang putranya dalam-dalam. “Sekutu? Maksudmu Mandalapura?”
Raden Raksa tersenyum licik. “Benar, Gusti. Bukankah selama ini hubungan kita dengan Mandalapura cukup baik? Dan kebetulan, putra mahkota mereka akan dijodohkan dengan mbak yu Dyah, Bukankah ini saat yang tepat untuk melihat sejauh mana kesetiaan mereka?”
Begitu nama Putri Dyah disebut dalam kaitan perjodohan, wajah sang putri sontak menegang. Jemarinya yang halus saling menggenggam di pangkuan, matanya menunduk dalam, berusaha menyembunyikan getir yang tiba-tiba menyeruak di dadanya. Panglima Aruna yang berdiri tak jauh di belakangnya ikut terdiam kaku, menundukkan kepala lebih dalam dari biasanya, seolah tak ingin ada yang membaca perubahan di wajahnya. Sekilas, tatapan keduanya sempat bertemu—hanya sekejap, namun cukup untuk menyadarkan betapa dalam luka yang sama mereka rasakan. Setelahnya, Dyah menunduk lagi, pura-pura memperhatikan lantai batu, sementara Aruna menarik napas panjang dalam diam, menelan seluruh perasaan yang tak boleh terlihat di hadapan istana.
Ruangan seketika hening. Beberapa bangsawan saling berpandangan, sebagian tampak setuju, sebagian tampak ragu. Tumenggung Sagara mengelus jenggotnya pelan. “Usul yang menarik, Gusti Prabu. Jika Mandalapura benar sekutu sejati, mereka tidak akan menolak membantu kita.”
Raden Arya yang sejak tadi diam, kini menatap adiknya tajam. Ia tahu arah pembicaraan itu. “Adinda Raksa,” katanya tenang namun dingin, “kau ingin menjadikan perang ini sebagai ujian bagi Mandalapura, atau sebagai permainan untuk memuaskan egomu?” Raden Raksa hanya menatapnya sambil tersenyum miring. “Aku hanya berpikir praktis, Kakangmas. Bukankah lebih baik melihat siapa yang benar-benar bisa kita percaya sebelum segalanya terlambat?”
Prabu Harjaya menatap keduanya bergantian. “Cukup!” suaranya menggema tegas. “Aku setuju dengan usulan Raden Raksa. Kita akan meminta bantuan Mandalapura.”
“Sendika dawuh, Gusti,” ucap para bangsawan hampir serempak. Patih Nirmala yang duduk di sisi Prabu Harjaya mengangguk setuju. “Itu langkah bijak, Gusti Prabu. Mandalapura memiliki pasukan yang tangguh dan persenjataan yang lebih maju. Jika mereka mau membantu, perbatasan selatan bisa segera diperkuat.”
Prabu Harjaya menghela napas panjang lalu menatap Tumenggung Wiranata. “Siapkan utusan terbaik. Malam ini juga surat permintaan tolong harus dikirim ke Mandalapura. Jangan sampai Parang Giri melangkah lebih jauh sebelum bala bantuan datang.”
“Sendika dawuh, Gusti,” jawab Tumenggung Wiranata dengan membungkuk dalam, lalu segera bergegas meninggalkan balairung. Sementara semua orang kembali tenang, Raden Raksa menatap Raden Arya sekilas. Ada senyum samar di wajahnya—senyum yang sulit ditebak, antara kemenangan kecil atau permainan yang baru dimulai. Dalam hatinya ia berbisik, “Baiklah, kakangmas. Mari kita lihat, siapa yang benar-benar pantas disebut pewaris Samudra Jaya.”
Saat Prabu Harjaya akan keluar balairung, Raden Arya memanggilnya membuat Prabu Harjaya menghentikan langkahnya.
“Ayahanda...apakah ayahanda yakin akan meminta bantuan dari Mandalapura?” tanya Raden Arya dengan ragu. Prabu Harjaya mengkerutkan keningnya heran dengan perkataan anak laki-laki pertamanya itu.
“Apa maksudmu Arya?” tanya Prabu Harjaya perlahan, menoleh pada putranya. Nada suaranya tidak marah, tapi penuh wibawa, menuntut penjelasan. Raden Arya menunduk, lalu menarik napas panjang sebelum berujar, “Ampun Gusti Ayahanda... hamba hanya merasa khawatir. Permintaan bantuan kepada Mandalapura mungkin memang langkah bijak, tapi… waktu yang Ayahanda pilih ini terasa... kurang tepat.”
Prabu Harjaya menatapnya lekat-lekat. “Kurang tepat bagaimana, Arya?” Raden Arya menelan ludah. Ia menatap sekeliling, memastikan tak ada bangsawan lain yang tersisa di balairung kecuali Patih Nirmala yang masih duduk menunduk tenang, dan Panglima Aruna yang berdiri di sisi pintu menjaga jarak. Suasana terasa hening dan tegang.
“Hamba hanya berpikir,” lanjut Arya hati-hati, “bahwa Mandalapura sedang mempersiapkan upacara besar. Putra mahkota mereka akan segera menikah dengan Dyah Anindya, kakak hamba. Bila dalam waktu bersamaan mereka juga diminta mengirim pasukan ke selatan, bukankah itu dapat menimbulkan kesan bahwa Samudra Jaya tak sanggup berdiri sendiri? Bahkan bisa saja mereka menganggap kita menggunakan perjodohan itu sebagai alat untuk meminta pertolongan.”
Patih Nirmala yang sejak tadi diam mengangkat wajahnya. “Pandangan yang bijak, Raden,” ujarnya perlahan. “Tapi kita juga harus menimbang, Parang Giri bukan lawan kecil. Jika kita menunggu hingga Mandalapura selesai dengan upacara pernikahan, bisa jadi mereka sudah menembus Narasoma.”
Prabu Harjaya mengangguk pelan. “Benar kata Patih Nirmala. Dalam urusan negara, perasaan pribadi harus dikesampingkan. Aku tahu ini bukan waktu yang nyaman bagi adikmu, tapi keselamatan negeri lebih utama.” Raden Arya terdiam. Matanya menatap lantai batu, sementara pikirannya bergulat. Ia tahu ayahandanya benar, tapi hatinya tetap diliputi keraguan. Ia teringat wajah Dyah Anindya yang tadi menunduk canggung saat nama perjodohan disebut. Ia tahu betapa berat hati sang kakak perempuannya menjalani semua itu—apalagi sekarang, ketika namanya dijadikan jembatan antara dua kerajaan.
“Namun Ayahanda,” ucapnya lagi dengan nada pelan, “bagaimana jika Parang Giri mengetahui bahwa kita sedang menunggu bala bantuan dari Mandalapura? Mereka bisa saja memanfaatkan waktu itu untuk menyerang lebih dulu. Kita akan terlihat lemah di mata mereka.” Prabu Harjaya memejamkan mata sejenak, lalu berkata lirih, “Kelemahan bukan terletak pada meminta bantuan, Arya. Kelemahan ada pada raja yang tidak tahu kapan harus melindungi rakyatnya. Kau akan mengerti hal itu ketika kelak memegang takhta.” Kalimat itu menohok hati Raden Arya. Ia menunduk dalam, merasakan campuran antara rasa hormat dan penyesalan. “Ampun Ayahanda, hamba tidak bermaksud menentang. Hamba hanya ingin memastikan bahwa keputusan ini tidak akan menimbulkan kesalahpahaman di kemudian hari.”
Patih Nirmala berdiri perlahan, suaranya berat namun lembut, “Raden Arya benar untuk berhati-hati. Tapi keputusan Gusti Prabu juga tidak salah. Mungkin sudah saatnya kita memperlihatkan pada Mandalapura bahwa Samudra Jaya bukan hanya menunggu perlindungan, tapi juga mampu menjaga sekutunya dengan kehormatan. Bantuan ini bukan sekadar meminta tolong—tapi membangun kepercayaan.”
Prabu Harjaya menatap Patih Nirmala sejenak, lalu mengangguk. “Tepat sekali, Patih. Itulah sebabnya aku ingin Arya sendiri yang menulis surat permintaan bantuan itu. Gunakan kata-kata yang menunjukkan kehormatan, bukan kelemahan. Mandalapura harus tahu bahwa kita meminta dengan martabat, bukan memohon karena takut.”
Raden Arya terkejut. “Hamba, Ayahanda?”
“Ya,” jawab Prabu Harjaya tegas. “Kau putra mahkota Samudra Jaya. Dunia luar harus melihatmu sebagai pewaris tahta yang bijak, bukan pangeran muda yang berlindung di balik nama ayahnya.” Sekilas, ada kebanggaan yang menelusup di hati Arya, meski disertai beban yang berat. Ia menunduk hormat. “Sendika dawuh, Gusti Ayahanda. Hamba akan melaksanakan.”
Prabu Harjaya menepuk bahu putranya perlahan sebelum berjalan meninggalkan balairung. “Belajarlah, Arya. Kadang, keputusan yang tampak salah di permukaan, justru menyelamatkan segalanya di akhir.” Raden Arya menatap punggung ayahandanya yang perlahan menjauh, lalu menghela napas panjang. Tatapannya beralih ke arah tempat Dyah Anindya tadi duduk. Dalam diam, ia merasa hatinya semakin gelisah—antara tanggung jawab sebagai putra mahkota dan rasa iba terhadap kakaknya yang terjebak dalam permainan politik yang tidak ia minta. Sementara itu, Panglima Aruna yang masih berdiri di sudut menatap Raden Arya dengan pandangan dalam. Ia tahu kekhawatiran sang pangeran bukan tanpa alasan. Dalam hatinya sendiri, ia menyadari bahwa surat itu, sekecil apa pun niatnya, bisa menjadi awal dari gelombang besar yang mengubah wajah Samudra Jaya selamanya.