 
                            Alia adalah gadis sederhana yang hidup bersama ibu kandungnya. Ia terjebak dalam kondisi putus asa saat ibunya jatuh koma dan membutuhkan operasi seharga 140 juta rupiah.
Di tengah keputusasaan itu, Mery, sang kakak tiri, menawarkan jalan keluar:
"Kalau kamu nggak ada uang buat operasi ibu, dia bakal mati di jalanan... Gantikan aku tidur dengan pria kaya itu. Aku kasih kamu 140 juta. Deal?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alesha Aqira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 MSUM
Leonardo menatap Alia beberapa detik, lalu tanpa sepatah kata pun ia membalikkan badan dan berjalan cepat kembali ke dalam kamarnya. Pintu kamar tertutup pelan, meninggalkan Alia berdiri kikuk di ruang tengah.
"Aduh... kenapa aku bisa sekonyol ini..." gumam Alia sambil menepuk pelan pipinya yang panas karena malu.
Mencoba mengalihkan pikiran, ia segera menuju meja makan dan mengeluarkan termos makanan dari dalam tas kain. Ia membuka penutupnya dan menuangkan bubur hangat ke dalam mangkuk keramik putih yang tersedia di meja makan.
Aroma jahe dan kaldu ayam langsung menyebar, membuat suasana pagi itu terasa lebih hangat. Ia lalu menambahkan irisan daun bawang, taburan bawang goreng, dan seiris telur rebus untuk mempercantik tampilannya.
"Semoga saja ini bisa membantu meredakan mabuknya tadi malam," ujar Alia pelan, menata sendok di sisi mangkuk.
Tak lama kemudian, Leonardo keluar dari kamar dengan pakaian yang lebih rapi—kaus hitam polos dan celana santai berwarna abu-abu. Rambutnya masih agak basah, namun kini ia tampak lebih tenang.
Matanya tertuju pada meja makan.
"Kenapa kamu tiba-tiba datang ke sini?" tanya Leonardo, sedikit heran dengan kehadiran Alia yang tak terduga.
Alia menggenggam ujung tas kainnya, gugup.
"Saya... membawa bubur untuk Bapak. Saya masak sendiri. Saya pikir, setelah semalam Bapak mabuk, perut Bapak pasti butuh makanan yang hangat."
Leonardo terdiam sesaat. Tatapannya tajam namun tidak menyerang.
"Jadi... semalam kamu yang bantu aku masuk ke kamar?"
"Iya, Pak. Apa Bapak tidak ingat?" tanya Alia hati-hati.
"Tidak." jawab Leonardo singkat.
Tanpa banyak bicara lagi, Leonardo berjalan mendekati meja makan. Ia menatap bubur yang tersaji hangat di mangkuk keramik.
"Kamu yang menyiapkan semua ini?" tanyanya dengan suara lebih lembut.
Alia mengangguk canggung.
"Iya, Pak. Saya pikir Bapak belum sempat makan, jadi saya bawakan bubur. Semoga bisa membantu memulihkan tubuh Bapak."
Leonardo duduk dan mulai menyuap bubur perlahan. Hangatnya kaldu ayam dan rasa jahe yang menenangkan membuatnya mengangguk kecil.
"Rasanya... enak. Hangat. Pas di perut."
Alia tersenyum lega.
"Syukurlah, Pak. Saya senang Bapak suka."
____
"Terima kasih... atas buburnya."
"Sama-sama, Pak," jawab Alia pelan.
"Kalau ada apa-apa, jangan sungkan ya, Pak. Saya siap bantu."
Leonardo mengangguk kecil.
"Hem... Oh iya, sekalian. Kamu bersiap-siap, ya. Kita berangkat ke kantor bersama-sama."
Alia terlihat ragu.
"Emm... kayaknya nggak bisa, Pak."
Leonardo mengangkat alis.
"Kenapa?"
"Saya ada sedikit urusan sebentar, jadi saya mau izin dulu hari ini, Pak."
Tiba-tiba terdengar suara kecil dari arah pintu.
"Mama, kamu sedang apa di situ?"
Alia menoleh.
"Arel? Kenapa keluar, sayang?"
Arel berjalan masuk, membawa plastik kecil.
"Aku mau membuang ini." katanya polos, lalu matanya langsung tertuju pada sosok Leonardo.
Mata anak itu membulat.
"Papa!" serunya, berlari ke arah Leonardo.
Leonardo terkejut, tak sempat bereaksi ketika tubuh kecil Arel langsung memeluk kakinya.
"Papa! Akhirnya kita bertemu lagi!" serunya penuh emosi.
"Kenapa waktu di mall Papa meninggalkan aku begitu saja? Aku sudah lama mencari Papa!"
"Ya ampun, Arel! Lepas, jangan seperti itu!" seru Alia panik, berusaha menarik Arel menjauh.
"Dia bukan Papamu. Ayo cepat lepas!"
"Nggak mau, Mama! Dia Papaku! Ini Papa yang Mama sering ceritakan, kan? Dia Papaku... dan Alya juga!"
Tak lama kemudian Alya muncul juga dari belakang, Alya berdiri dan menatap Leonardo dengan penuh harap.
"Papa? Apa ini benar Papa?" tanyanya lirih.
"Papa, aku rindu. Kenapa Papa tidak pernah pulang?"
Alia menahan napas. Situasi makin tak terkendali.
"Sayang... kalian salah orang," ujar Alia dengan nada penuh kesabaran.
"Paman ini bukan Papa kalian. Dia adalah bos Mama di kantor. Kebetulan kamar apartemen Paman ini ada di sebelah kamar kita."
"Tapi Mama... kenapa Mama tidak mau mengakui? Ini Papa kami!" rengek Arel, matanya mulai berkaca-kaca.
"Ini Papa yang Mama sering sebut dalam cerita sebelum tidur!"
"Sayang... dengarkan Mama," ucap Alia lembut sambil berlutut di depan mereka.
"Mama tahu kalian rindu sosok Ayah. Tapi Paman ini bukan orang yang kalian pikirkan. Kalian harus mengerti."
"Nanti Paman ini marah kalau kalian terus memanggilnya Papa," ucap Alia pelan, mencoba menenangkan kedua anaknya yang masih bersikeras.
Ia menatap Leonardo dengan penuh rasa bersalah.
"Pak Leonardo, maafkan anak-anak saya. Mereka masih kecil... mereka belum mengerti."
Leonardo hanya tersenyum tipis.
"Nggak masalah." jawabnya, dengan nada yang tidak menunjukkan amarah.
Ia menatap wajah polos Arel dan Alya bergantian, lalu kembali menatap Alia.
"Apa ini... anak-anakmu?" tanyanya hati-hati.
Alia terlihat kaku sejenak, gugup. Ia menelan ludah dan berusaha menyusun kata.
"Eh... iya, Pak."
Leonardo menyipitkan mata sedikit.
"Lalu... di mana ayah mereka?"
Alia tercekat. Dalam hati ia berkata lirih, "Aku hamil dari pria yang bahkan tidak kukenal. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari kisah itu."
Namun ia tak mungkin berkata jujur. Bukan sekarang. Ia takut itu akan mempengaruhi pekerjaannya, reputasinya, dan mungkin juga penilaian Leonardo terhadap dirinya.
Ia akhirnya berbohong dengan nada setenang mungkin,
"Papa mereka... bekerja di tempat yang jauh. Jadi jarang pulang. Mungkin itu sebabnya mereka salah paham."
Leonardo tak bertanya lebih jauh. Ia hanya mengangguk kecil.
"Hari ini... hari ulang tahun mereka," sambung Alia, mencoba mengalihkan topik.
"Jadi saya ingin mengambil cuti untuk merayakannya bersama mereka."
Arel dan Alya yang masih berdiri di dekat Leonardo langsung berseru dengan wajah berbinar.
"Mama! Bisa nggak... Paman ikut juga merayakan ulang tahun kami?"
"Iya, Ma!" sambung Alya.
"Meskipun Paman ini bukan Papa kami, tapi kami suka sekali padanya. Jadi... boleh nggak, Ma, ajak Paman ikut juga?"
Alia menghela napas pelan, berusaha mencari jawaban yang tidak menyakiti perasaan mereka.
"Sayang... Paman ini harus bekerja hari ini. Jadi... mungkin nggak bisa kalau harus ikut dalam perayaan ulang tahun kalian."
Arel langsung mengerucutkan bibirnya, kecewa.
"Mama... jangan bilang begitu. Mama saja belum bertanya pada Pamannya. Kenapa langsung bilang nggak bisa?"
Alya ikut menimpali dengan mata memohon.
"Paman... apakah Paman bisa ikut merayakan ulang tahun kami? Hanya sebentar saja... kami ingin sekali bisa menghabiskan waktu bersama Paman hari ini."
Leonardo terdiam sejenak, menatap wajah mungil Arel dan Alya yang masih memandangnya penuh harap. Ia tidak menyangka bahwa anak yang dites DNA waktu itu adalah anak Alia karyawan nya sendiri. Ada sesuatu dalam tatapan mereka—ketulusan, kehangatan, dan kerinduan—yang menusuk langsung ke dalam dadanya. Sesuatu yang selama ini hilang dari hidupnya: arti kehadiran dan kedekatan.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengusap pelan rambut basahnya.
"Baiklah..." katanya akhirnya.
"Paman ikut."
"Yeaaaay!" teriak Arel dan Alya bersamaan sambil melompat kegirangan.
Alia terbelalak, tak menyangka jawaban itu keluar dari mulut bos dinginnya.
"Pak Leonardo... serius? Tapi bukankah Bapak ada jadwal kerja hari ini?"
Leonardo tersenyum kecil, lalu berdiri dari kursinya.
"Kebetulan hari ini aku tidak ada meeting penting. Lagipula..." Ia menatap Alia dalam-dalam.
"Sepertinya aku memang butuh sedikit waktu untuk merayakan sesuatu yang berarti. Sudah lama sekali aku tidak merayakan ulang tahun siapa pun..."
"Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasihku karena kamu sudah membawakan bubur untukku," ucap Leonardo dengan nada ringan.
"Paman, ayo cepat!" seru Arel dan Alya bersamaan sambil menarik tangan Leonardo penuh semangat.
 
                     
                     
                    