Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.
Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji menjaga rahasia
Sinar matahari pagi menembus tirai tipis kamar lantai tiga, menimpa wajah Arinda yang masih terlelap. Matanya perlahan terbuka, berat rasanya untuk sekadar bangun. Kepalanya sedikit pening, mungkin karena semalam terlalu banyak hal yang memenuhi pikirannya — terutama tentang Leo dan Aurel.
Dengan gerakan lambat, ia duduk di tepi ranjang, tangannya memegang kepala yang berdenyut pelan. “Aduh… pusing banget,” gumamnya pelan. Pandangannya beralih ke jam dinding — jarum pendek menunjuk angka tujuh tepat. Ia sedikit terkejut.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Sofia masuk dengan nampan di tangannya, aroma bubur ayam hangat langsung memenuhi ruangan.
“Selamat pagi, Nona,” sapa Sofia lembut. “Tuan Leo menyuruh saya membawakan sarapan ini untuk Nona.”
Arinda menatapnya dengan mata sayu. “Mas Leo mana, Mbak Sofia?” tanyanya pelan sambil menatap sekitar kamar, seolah berharap suaminya muncul dari balik pintu kamar mandi atau balkon.
Sofia meletakkan nampan di meja kecil dekat tempat tidur. “Tuan sudah ke kantor, Nona. Pergi sepuluh menit yang lalu,” jawabnya ramah.
Wajah Arinda menunduk pelan, ada sedikit rasa kecewa yang tak bisa ia sembunyikan. “Oh…” hanya itu yang keluar dari bibirnya. Ia menarik napas kecil, mencoba menenangkan hatinya.
Sofia tersenyum tipis. “Ayo, Nona. Dimakan dulu buburnya. Tuan pesan supaya Nona nggak boleh melewatkan sarapan.”
Arinda menatap semangkuk bubur ayam itu. Hangat, lembut, dengan taburan bawang goreng di atasnya. Ia mengambil sendok perlahan. “Masih panas, Mbak,” katanya polos sambil meniup sendok kecilnya.
Sofia menahan senyum, memperhatikan nona kecilnya yang bahkan saat murung pun tetap terlihat lucu dan lugu. “Pelan-pelan saja, Nona. Nanti juga dingin sedikit.”
Arinda makan dengan tenang, suapan demi suapan. Tapi Sofia menyadari wajahnya masih tampak pucat. Sesekali Arinda memegang kening, lalu menghela napas.
“Kenapa, Nona? Masih pusing?” tanya Sofia lembut.
Arinda mengangguk. “Sedikit, Mbak. Mungkin kebanyakan mikir.”
“Mikir apa, Nona?”
Arinda menatap Sofia sebentar, lalu tersenyum hambar. “Mikirin Mas Leo.”
Sofia tertawa kecil, menahan agar tidak terlalu keras. “Tuan Leo pasti senang kalau tahu Nona mikirin beliau terus.”
Arinda menggembungkan pipinya, wajahnya memerah malu. “Mbak Sofia, jangan godain Arinda, ih…” katanya manja.
Selesai makan, Sofia membereskan nampan dan berkata, “Kalau gitu Nona mandi, ya. Nanti saya bantu siapin air hangatnya.”
Beberapa menit kemudian, kamar mandi dipenuhi uap lembut dari air hangat. Arinda berendam perlahan, menutup matanya menikmati rasa rileks yang jarang ia dapat. Hatinya sedikit tenang, meski bayangan Leo yang dingin semalam masih muncul di pikirannya.
Usai mandi, Arinda mengenakan dress warna peach cerah yang dipilihkan Sofia. Wajahnya bersih, rambutnya rapi, membuat pesonanya terlihat lembut dan segar. Namun sorot matanya masih menunjukkan kebingungan kecil — terutama saat ia mengambil ponsel canggih di meja rias.
Ponsel itu adalah pemberian Leo saat mereka masih di Swiss. “Biar kamu bisa hubungi Mas kapan aja,” kata Leo waktu itu. Tapi sampai sekarang, Arinda belum benar-benar tahu cara menggunakannya dengan lancar.
Sofia yang baru kembali ke kamar melihat Arinda menatap ponsel dengan wajah bingung. “Ada apa, Nona?”
Arinda menunjuk layar ponselnya yang menyala. “Mbak Sofia… ini gimana, sih? Arinda mau kirim pesan ke Mas Leo, tapi nggak bisa.”
Sofia mendekat sambil tersenyum sabar. “Hehe, sini Nona. Saya ajarkan pelan-pelan, ya.”
Ia duduk di sebelah Arinda, lalu mulai menjelaskan satu per satu. “Ini namanya aplikasi pesan, Nona. Kalau mau kirim pesan, tinggal tekan ini, terus ketik pesannya di sini.”
Arinda memperhatikan serius, matanya membulat penuh rasa ingin tahu. “Oh gitu... trus ini kalau mau kirim foto gimana, Mbak?”
Sofia menekan ikon kecil di pojok layar. “Nah, ini. Kalau mau kirim foto, tinggal pilih gambar ini, nanti muncul foto-foto yang ada di ponsel Nona.”
Arinda mengangguk-angguk, lalu tersenyum kecil. “Wah, canggih banget ya, Mbak. Arinda dulu pakai ponsel yang tombolnya masih bunyi klik klik.”
Sofia tertawa lembut. “Sekarang Nona sudah modern. Nanti bisa kirim pesan ke Tuan kapan saja. Kalau kangen, tinggal tulis aja.”
Arinda menggigit bibir bawahnya pelan. “Kalau Mas Leo nggak bales gimana?” tanyanya polos, nada suaranya jujur dan sedikit sedih.
Sofia menatapnya penuh simpati. “Tuan pasti bales, Nona. Mungkin saja sedang sibuk.”
Arinda mengangguk pelan. Ia menatap layar ponsel itu, lalu dengan jari mungilnya mulai mengetik:
“Mas, Arinda udah sarapan. Buburnya enak banget, makasih ya Mas ❤️”
Ia menatap pesan itu lama, lalu dengan malu-malu menekan tombol kirim.
Sofia tersenyum lembut. “Nah, begitu caranya. Pintar sekali nona kecil saya.”
Arinda tersenyum tipis, pipinya bersemu merah. Dalam hatinya, ia berharap pesan itu dibalas cepat. Tapi di sisi lain, ia tahu — mencintai lelaki seperti Leo berarti harus belajar menunggu.
Sofa empuk berwarna krem di ruang tamu lantai dua terasa hangat meski udara di luar rumah masih pagi. Arinda duduk rapi, kedua tangannya diletakkan di pangkuan. Ia tak berani menatap banyak hal — terutama tatapan dingin namun lembut yang sejak tadi diarahkan kepadanya oleh Aurelia.
Ruangan itu sunyi. Hanya terdengar detik jam di dinding dan gemerisik dedaunan dari jendela besar. Arinda merasa jantungnya berdetak cepat, apalagi ketika Aurelia bangkit dari kursi seberang dan duduk tepat di sebelahnya.
Perempuan dewasa itu menatap Arinda lama, pandangannya sulit ditebak — antara khawatir, marah, atau justru iba.
Tangan Aurelia terulur, menggenggam lembut tangan Arinda yang kecil dan dingin. Spontan Arinda terlonjak sedikit, lalu dengan gugup berkata cepat,
“Mbak… jangan pukul Arinda ya, maaf kalau Arinda ada salah…”
Suaranya lirih dan bergetar, matanya menatap ke bawah, takut menatap wajah Aurelia langsung. Ada rasa canggung, takut, sekaligus bingung dalam dirinya.
Aurelia tertegun sejenak, lalu menghela napas panjang. “Pukul?” gumamnya pelan, seolah tak percaya. Ia kemudian menggeleng pelan dan menatap Arinda penuh iba. “Rinda… kalau aku sampai melakukan itu, Leo pasti membunuhku.”
Arinda mengerjap, wajahnya semakin bingung. “Maksudnya, Mbak?” tanyanya polos, matanya membulat.
Aurelia tersenyum samar. Ada kesedihan di sana. Ia menatap lurus ke mata madu mudanya itu. “Dengar ya, Rinda. Apa pun yang kau lihat kemarin… tentang aku… jangan beritahu siapa pun, ya? Tidak pada siapa pun.”
Nada suaranya pelan, namun tegas. Ada getar khawatir di balik setiap kata.
Arinda yang masih bingung hanya menatap wajah Aurelia, mencoba memahami maksudnya. Setelah beberapa detik, gadis itu perlahan mengangguk.
“Mas Leo bilang Arinda juga nggak boleh kasih tahu siapa pun,” katanya lirih, suaranya seperti anak kecil yang sedang berjanji pada guru di sekolah.
Ia lalu mengaitkan jari kelingkingnya ke arah Aurelia, matanya berbinar penuh ketulusan. “Arinda janji, Mbak. Tapi Mbak jangan siksa Arinda ya,” tambahnya polos.
Aurelia tak kuasa menahan diri. Ia terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menarik Arinda ke dalam pelukannya. Pelukan itu bukan sekadar formalitas — tapi pelukan tulus dari seorang wanita yang hatinya campur aduk antara rasa bersalah, sayang, dan takut.
Arinda membeku di pelukan itu, matanya melebar. Ia tak tahu harus berbuat apa. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena takut, tapi karena bingung. “Mbak…?” panggilnya pelan.
Aurelia menutup mata, dan saat itulah Arinda merasakan bahunya bergetar halus. Ada air mata yang jatuh di bahu dress-nya.
“Mbak nangis?” tanya Arinda dengan suara kecil. Ia mengangkat tangannya yang mungil dan mulai mengelus punggung Aurelia dengan canggung, meniru apa yang biasa Sofia lakukan padanya saat ia sedih.
Aurelia mengangguk pelan tanpa suara. Air matanya jatuh lagi. “Maaf, Rinda…” ucapnya lirih. “Aku bukan perempuan baik. Tapi… aku juga manusia.”
Arinda menggigit bibir bawahnya, tidak sepenuhnya mengerti, tapi hatinya terasa hangat. Ia mengelus punggung Aurelia lagi, lebih lembut kali ini. “Mbak baik kok. Arinda tahu Mbak baik. Cuma… kadang Mas Leo galak, jadi Arinda kira Mbak marah.”
Aurelia tertawa kecil di tengah tangisnya. “Kau ini… polos sekali, ya,” katanya sambil menatap wajah Arinda yang masih lugu.
Aurelia menatap Arinda yang tampak ragu-ragu ingin bicara. Dari gerak bibirnya, Aurelia tahu ada sesuatu yang ingin gadis itu tanyakan. Arinda menggenggam ujung dressnya menunduk malu, lalu dengan suara lirih ia berkata pelan,
“Mbak… Mas Leo tadi malam… sama Mbak, ya?”
Belum sempat Arinda menyelesaikan kalimatnya, Aurelia refleks menatap tajam dan segera menutup mulut gadis polos itu dengan telapak tangannya.
“Jangan lanjutkan,” ucap Aurelia cepat, matanya bergetar namun nada suaranya tegas. Ia menghela napas panjang, lalu perlahan menurunkan tangannya, menatap Arinda yang tampak ketakutan dan salah tingkah.
Aurelia menatapnya lembut kali ini, “Itu tidak akan terjadi, Rinda. Dengar baik-baik, ya.”
Arinda mengerjap bingung, wajahnya memerah karena malu. “Maksudnya…?”
Aurelia menunduk sedikit, suaranya pelan namun mantap.
“Leo hanya milikmu. Bukan milikku. Aku tidak bisa mencintai dia… dan tidak akan pernah.”
Mata Arinda membulat. “Tapi Mbak—”
Aurelia menatap dalam ke mata Arinda, senyum tipis muncul di bibirnya. “Antara aku dan Leo tidak pernah ada apa pun, Rinda. Tidak ada yang kau bayangkan. Tidak ada malam seperti itu, tidak ada kasih sayang seperti itu. Yang memiliki Leo… seutuhnya… hanya kamu.”
Suara lembut itu membuat Arinda terdiam lama. Ia menunduk, hatinya terasa campur aduk antara lega dan bingung.
“Tapi… Arinda cuma istri kedua, Mbak,” gumamnya lirih. “Mas Leo lebih dulu sama Mbak. Arinda cuma ikut, bukan pilihan pertama.”
Aurelia tersenyum pahit, lalu mengusap kepala Arinda dengan lembut. “Kau salah, Rinda. Justru karena kau datang… Leo mulai tersenyum lagi. Dulu dia dingin, keras, dan menutup diri. Tapi sejak ada kau, dia berubah. Kau tahu?”
Arinda menggeleng pelan, matanya masih memandang ragu.
Aurelia melanjutkan, suaranya nyaris seperti bisikan, “Kau adalah alasan Leo pulang cepat ke rumah. Kau alasan dia mau tersenyum. Kau juga alasan dia memaafkan banyak hal.”
Arinda terdiam, hatinya terasa hangat tapi juga sedih. Ia tak tahu harus bagaimana.
Aurelia menatap wajah lugu itu dan berbisik pelan, “Aku mungkin istrinya di mata dunia, tapi di hatinya… yang menempati tempat paling dalam itu kau, Rinda. Percayalah.”
Arinda menatap dalam mata Aurelia, lalu perlahan tersenyum kecil — senyum yang masih kikuk, masih polos, tapi penuh rasa lega.
“Berarti… Mas Leo cuma punya Arinda, ya?” tanyanya memastikan dengan nada malu-malu.
Aurelia tertawa kecil dan mengangguk. “Iya. Hanya kau.”
Arinda langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan, pipinya merah padam. “Mbak jangan bilang Mas Leo ya, nanti Arinda malu…”
Aurelia hanya menggeleng sambil tersenyum. “Tenang saja, rahasiamu aman denganku.”
Dan untuk pertama kalinya, mereka berdua tertawa bersama — dua perempuan yang terikat oleh takdir yang rumit, namun dalam tawa itu, seolah ada pemahaman diam bahwa keduanya sama-sama terluka dan berjuang di bawah nama yang sama: Leo.