NovelToon NovelToon
Menikahi Ayah Sang Pembully

Menikahi Ayah Sang Pembully

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Balas Dendam / CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: penyuka ungu

Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.

Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.

Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

10. Meja Sarapan Keluarga Evans

Elena segera menata hasil masakannya. Satu loyang ia letakkan di meja makan, dan satu loyang lagi ia sisihkan untuk para pelayan. Ia menatanya dengan secantik mungkin, menaburkan cincangan daun parsley segar di atas Quiche yang baru keluar dari oven. Aroma gurih keju dan smooked beef berpadu lembut dengan wangi butter dari kulit pai yang renyah.

Ia tersenyum puas, lalu berjalan lagi menuju meja dapur, menatap loyang satunya. Dengan hati-hati, ia memotongnya menjadi beberapa bagian. Para pelayan pun segera berebut bagian, termasuk Jane.

“Bagaimana?” tanya Elena antusias.

Seketika, mata mereka membulat sempurna. Wajah mereka berbinar, bahkan beberapa di antaranya memejamkan mata menikmati suapan pertama masing-masing. Lalu, hampir secara bersamaan, mereka mengangguk cepat.

“Ini enak sekali, aku ingin mencobanya lagi,” ucap salah satu pelayan sambil buru-buru mengambil potongan kedua.

“Mmm... ini sangat lezat. Baru kali ini lidahku merasa puas terhadap makanan. Nona, kau hebat sekali,” puji Jane.

Elena tersenyum, menatap pemandangan itu dengan senang.

“Silakan dinikmati,” ucapnya lembut, dan tawa kecil pun pecah di dapur itu.

Dalam hati, Elena memuji dirinya sendiri, karena telah berhasil membuat mereka menerimanya di rumah ini.

“Apa sarapan sudah siap?” tanya Damian tiba-tiba saat ia melangkah masuk.

Pria itu kini telah berganti pakaian, mengenakan setelan jas biru tua dengan kemeja putih bersih, dan dasi yang senada dengan jasnya.

Para pelayan sontak menegakkan tubuh, dan segera menyembunyikan garpu di balik punggung mereka.

Elena yang melihat itu menahan tawa kecil. Ada rasa geli karena hanya dengan kemunculan Damian, bisa mengubah suasana menjadi kaku seketika.

Damian melangkah perlahan, tatapannya jatuh pada Elena yang berdiri di dekat meja dapur. Sekilas, ada senyum samar yang muncul di bibirnya. Namun dengan cepat ia berdehem, berusaha menyembunyikan ekspresi itu.

Jane buru-buru meletakkan garpunya di atas meja dan melangkah mendekat, “Tuan, pagi ini Nona Elena yang membuat sarapan,” ucapnya dengan hati-hati.

“Aku tahu,” jawab Damian singkat, lalu berjalan menuju meja makan dan duduk di kursi utama.

Jane melirik Elena sekilas. Dan seakan tahu kondisi, ia segera memberi isyarat halus kepada pelayan lain untuk pergi. Dalam sekejap, dapur itu pun menjadi sunyi. Hanya tersisa Damian yang duduk di kursi kebesarannya dan Elena yang masih berdiri kaku.

Damian menoleh ke arah Elena, “Kau tidak sarapan? Aku tidak tahu bagaimana cara memakannya,” ucapnya sambil menunjuk Quiche di depannya.

Elena menghela napas pelan, lalu berjalan mendekat. Ia duduk di sisi kanan Damian, mengambil pisau, dan memotong Quiche itu untuk Damian.

“Cara makannya ya sederhana. Masukkan ke mulut, kunyah, lalu telan,” ketus Elena.

Damian menatapnya lekat, lalu sedikit memajukan tubuhnya ke depan, “Kau marah padaku?”

Elena tidak menoleh, “Tidak.”

Damian menghela napas perlahan, lalu bersandar di kursinya. Ia tahu betul, wanita di depannya sedang menahan sesuatu. Sejak percakapan mereka kemarin tentang batas antara atasan dan karyawan, suasana di antara mereka menjadi berubah.

Elena meletakkan bagian Damian di atas piring kecil, lalu menaruhnya di hadapan pria itu.

“Silakan, Tuan Damian,” ucapnya datar.

Ia pun meletakkan bagian untuknya di piringnya, lalu mengambil garpu dan memakannya sedikit demi sedikit. Aroma makanan itu sangat lezat, tapi tidak cukup untuk mencairkan dinginnya suasana di antara mereka.

Damian tidak segera memakannya. Namun, matanya tidak lepas dari Elena.

“Maafkan aku,” ucap Damian, suaranya terdengar penuh rasa bersalah.

Elena meliriknya sekilas, lalu kembali fokus pada potongan Quiche di piringnya, “Untuk apa meminta maaf? Tuan tidak salah.”

“Soal kemarin—”

“Sudah kubilang, tidak perlu dibicarakan.”

“Aku akan tetap membicarakannya,” tegas Damian. Tatapannya menajam, seperti ingin menembus dinding tidak kasat mata yang Elena bangun di antara mereka.

Elena akhirnya meletakkan garpunya dengan pelan, lalu menyandarkan tubuhnya. Ia menatap balik pria itu tanpa rasa takut.

“Kalau begitu, bicaralah. Aku mendengarkan.”

“Tujuanku melakukannya bukan karena ingin menyakitimu. Aku hanya ingin melindungimu dari gunjingan orang lain. Aku tidak mau, karena kedekatan kita, kau dipandang berbeda oleh karyawanku sendiri.”

“Tapi terlambat. Mereka sudah menatapku dengan cara berbeda,” balas Elena dengan nada sedih.

Damian menarik napas panjang, “Maka dari itu, aku ingin hal ini menjadi alasan kenapa di antara kita harus ada batas yang jelas. Lagipula, aku tidak bisa terus bersamamu di luar pekerjaan. Apa kau tidak takut kekasihmu berpikir macam-macam?”

Elena tersenyum miring, “Kekasih? Aku tidak mempunyainya, Om,” jawabnya yang kini berubah santai.

Damian terdiam. Sekilas, ekspresinya membeku. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang merayap di dadanya, yaitu perasaan lega yang tidak bisa ia deskripsikan.

“Seharusnya Om yang khawatir,” lanjut Elena, “Takutnya istri Om salah paham dengan keberadaanku di sini. Makanya pagi tadi aku meminta untuk segera pergi. Eh, tapi Om malah mencegahku. Alhasil, aku tertarik dengan dapur rumah Om dan ikut membantu pelayan Om.”

Damian tersenyum tipis, mengangkat alisnya, “Istri? Aku tidak mempunyainya, Elena,” ujarnya dengan nada yang mirip ketika Elena menjawabnya tadi.

Elena spontan menatapnya dengan mata melebar, “Apa?!”

Damian terkekeh kecil, “Sudah kuduga kau akan terkejut.”

“Untuk apa aku terkejut, aku saja sudah tahu dari awal. Dasar bodoh,” batin Elena.

“Aku bercerai dengan istriku saat putraku baru berusia beberapa bulan,” ucap Damian perlahan, “Kehamilannya tidak direncanakan. Kami menikah karena tanggung jawab. Tapi ternyata kehidupan kami terlalu berbeda. Kami berpisah, dan dia menyerahkan putraku untuk kuasuh sepenuhnya.”

Elena mengangguk pelan, “Lalu, di mana dia sekarang?”

“Tentu saja di rumahnya,” jawab Damian sambil terkekeh, “Jujur saja, kami masih berhubungan baik. Hanya saja jarang bertemu. Putraku yang lebih sering mengunjungi ibunya. Lucunya, dulu dia kekasihku, tapi ketika menikah aku baru sadar, cinta saja tidak cukup untuk menyatukan dua kepala di bawah satu atap yang sama.”

Elena menatapnya iba. Perlahan, ia menyentuh lengan Damian, mengusapnya lembut, “Ternyata kehidupan CEO Evans Corporation tidak semulus yang terlihat. Yang sabar, Om.”

Damian tertawa kecil, menatap tangan Elena di lengannya, “Hei, aku bukan anak kecil yang harus menangis atas keadaanku. Aku baik-baik saja, sungguh. Malah aku bahagia dengan hidupku sekarang.”

Elena menarik tangannya, menatap Damian dengan tatapan ingin tahu, “Lalu, soal menikah lagi? Om tidak menginginkannya?”

Damian tersenyum samar, “Sebenarnya, ada banyak wanita yang mencoba mendekat. Tapi…” Ia menggeleng pelan, “Aku lebih suka hidupku yang sekarang.”

“Jadi, Om yang memilih menutup diri,” ujar Elena lembut.

Damian mengangguk pelan, “Kurasa seperti itu.”

Bahu Elena merosot sedikit, “Kalau aku, Om? Om menganggap aku sebagai apa?”

Damian menatapnya lekat, seolah mencari sesuatu di balik tatapan Elena. Namun, bukannya menjawab serius, ia justru tersenyum kecil.

“Kau tentu saja Elena.”

Tangannya terulur, dan mengacak pucuk kepala Elena dengan gemas.

“Om!” Elena mendengus, bibirnya mengerucut lucu, “Om sama sekali tidak bisa diajak bercanda.”

Damian terkekeh, “Lalu kau ingin kuanggap sebagai apa, hm?”

Elena menatapnya lurus, senyumnya tipis namun tajam.

“Istri.”

Tubuh Damian menegang seketika. Jawaban itu bagaikan anak panah yang menancap di dadanya.

Melihat ekspresi Damian, Elena tidak sanggup menahan tawa kecilnya, “Aku cuma bercanda, Om. Tapi kenapa wajah Om tiba-tiba tegang begitu?”

Damian mengerjap, menunduk sedikit sambil mengatur napas. Ia mencoba menetralkan hawa panas yang mulai menyerangnya.

Sementara Elena menatapnya puas. Ia baru menyadari sesuatu, bahwa pria itu bukan tidak tertarik pada wanita, tapi justru terlalu pandai bersembunyi dari keinginannya sendiri.

“Ehem…” Damian berdehem kecil, berusaha menyembunyikan ketegangannya, “Aku akan mencobanya.”

Ia mengambil garpu, mengambil potongan Quiche, lalu menyuapkannya perlahan ke dalam mulut.

Elena memperhatikan dengan senyum mengembang, “Bagaimana, Om? Apa seenak pasta yang kubuat waktu itu?”

Damian memejamkan mata sejenak, membiarkan rasa gurih lembut itu menari di lidahnya. Setelah menelan, ia mengangguk pelan.

“Ini sangat lezat. Aku sungguh menyukainya,” ujarnya dengan semangat, lalu segera menyuap potongan berikutnya.

Elena tertawa kecil, “Syukurlah kalau Om menyukainya. Kapan-kapan aku akan buatkan menu lain untuk Om.”

Damian mengangkat wajahnya, tersenyum lembut, “Bolehkah?”

“Tentu saja,” jawab Elena ringan.

Tawa kecil mereka pecah bersamaan, menggantikan ketegangan yang sebelumnya menyelimuti mereka.

Sean menuruni anak tangga dengan pakaian tebal. Sedangkan tas ransel besar menggantung di punggungnya. Pagi ini ia sudah berjanji akan berangkat camping bersama teman-temannya selama beberapa hari. Tapi, dahinya berkerut ketika tidak melihat satu pun pelayan di lantai bawah.

“Di mana mereka semua?” gumamnya.

“Jane,” panggilnya sembari berjalan ke arah dapur.

Ia berniat berpamitan pada wanita itu. Bagaimanapun juga, berpamitan langsung dengan Damian hanya akan berakhir dengan omelan. Pada jam seperti ini, seharusnya sang ayah masih berada di kamarnya.

Namun langkahnya mendadak berhenti begitu mendengar tawa dari arah dapur. Di sana, Damian duduk di kursi utama sambil menikmati sarapan, sementara di sampingnya seorang wanita duduk membelakanginya dengan rambut yang diikat dengan garpu.

“Apa dia sekretaris yang menginap di kamar tamu?” gumam Sean.

Namun yang membuatnya terdiam bukan sosok wanita itu, melainkan tawa sang ayah. Sudah lama ia tidak melihat Damian tertawa seperti itu. Ia merasa ada sesuatu yang janggal di antara mereka.

“Apa mereka punya hubungan khusus?” gumamnya lagi.

Sean menggeleng cepat. Ia tidak pernah ingin mencampuri urusan pribadi Damian. Jika benar ayahnya jatuh cinta lagi, ia tidak akan menentang. Mungkin itu hal yang baik. Toh, tidak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa ia tetap pewaris satu-satunya keluarga Evans. Ia pun tersenyum miring, lalu melangkah mendekati dapur.

“Ayah,” panggilnya sambil berdiri di ambang pintu.

Damian menoleh, sementara Elena spontan membeku.

“Suara itu…?” lirih Elena.

Damian melirik Elena, “Kau mengatakan sesuatu?”

Elena menggeleng, dan berusaha menyembunyikan wajahnya. Belum saatnya ia berhadapan dengan bajingan itu.

Damian kemudian menatap Sean, “Ada apa?” tanyanya datar, matanya meneliti tampilan Sean yang jelas-jelas bersiap pergi.

“Aku akan camping dengan teman-temanku.”

Damian menghela napas berat, “Apa kau tidak bosan terus bermain di luar? Ingat usiamu, Sean! Kau bukan anak kecil lagi!”

Sean menatapnya jengah, “Lalu aku harus apa? Kau tidak mengizinkanku ikut campur di perusahaan. Apa aku harus duduk diam di rumah dan menunggu tua?”

“SEAN!” suara Damian menggema keras, membuat Elena refleks berjingkat.

Pria itu bangkit dengan tangan yang mengepal di sisi tubuhnya. Tatapannya seperti pisau yang mengarah pada Sean.

“Aku tidak peduli,” balas Sean, ia menatap balik ayahnya tidak kalah tajam, “Aku akan tetap pergi. Aku akan pulang dalam beberapa hari. Jangan mencariku.”

Sean pun berbalik dan melangkah menjauhi dapur.

“Berhenti!” Damian berteriak, tapi Sean berlagak tuli dan tetap pada pendiriannya.

Suasana dapur langsung hening. Damian kembali duduk, napasnya memburu.

“Anak itu hanya tahu cara membuatku emosi,” geram Damian.

Elena mengembuskan napas lega. Berada di rumah ini ibarat berjalan di atas api. Tapi ia tahu, kedekatannya dengan Damian di rumah ini bisa menjadi kunci penting bagi langkah selanjutnya. Ia kemudian menatap pria itu, lalu dengan lembut menyentuh lengannya.

“Om, jangan terlalu keras pada putra Om,” ucap Elena, berusaha pengertian, “Dia mungkin memberontak karena merasa terkekang. Jika Om ingin hubungan kalian membaik, cobalah berbicara empat mata dengannya. Kadang anak hanya ingin didengar, bukan diarahkan. Aku tahu Om sibuk, tapi luangkan sedikit waktu untuknya.”

Tatapan Damian melunak. Napasnya perlahan stabil dan amarahnya mereda. Entah kenapa, hanya dengan suara Elena saja, dirinya sudah merasa tenang. Ia menatap wanita itu dengan pandangan lembut, lalu menepuk tangan Elena yang berada di lengannya.

“Terima kasih, Elena.”

1
merry
haus harta tu Sean pdhll orgtua y baik dech gk gila harta,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!