Sinopsis:
Liora, seorang gadis muda, dipaksa menjadi pengantin pengganti tanpa mengetahui siapa calon suaminya. Namun saat tirai pernikahan terbuka, ia terseret ke dalam Azzarkh, alam baka yang dikuasai kegelapan. Di sana, ia dinikahkan dengan Azrakel, Raja Azzarkh yang menakutkan, dingin, dan tanpa belas kasih.
Di dunia tempat roh jahat dihukum dengan api abadi, setiap kata dan langkah bisa membawa kematian. Bahkan sekadar menyebut kata terlarang tentang sang Raja dapat membuat kepala manusia dipenggal dan digantung di gerbang neraka.
Tertawan dalam pernikahan paksa, Liora harus menjalani Upacara Pengangkatan untuk sah menjadi selir Raja. Namun semakin lama ia berada di Azzarkh, semakin jelas bahwa takdirnya jauh lebih kelam daripada sekadar menjadi istri seorang penguasa neraka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 33
“Putri, apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Dreya pelan, menatap Liora yang tengah duduk di tepian ranjang, menatap kosong permadani di bawah kakinya.
“Pikir apa? Tidak ada. Memangnya apa yang perlu kupikirkan?” sahut Liora cepat, menyembunyikan kegelisahan yang berkecamuk di dalam dadanya.
“Benarkah?” Dreya mengangkat alis. “Tapi wajahmu terlihat seperti sedang melamun.”
“Aku tidak melamun,” elak Liora, sedikit terlalu cepat.
Dreya tidak menjawab lagi. Ia tahu kapan harus berhenti berbicara agar tidak membuat hati tuannya semakin buruk. Namun, Vaelis yang berdiri di sisi lain kamar bisa melihat jelas, pikiran Liora memang jauh mengembara, terpaut pada kejadian semalam yang terus berputar-putar di benaknya.
Tentang kata-kata Raja Azrakel. Tentang kalimat itu: “Aku menyukaimu.”
Dan… tentang ciuman yang terlalu nyata untuk disebut mimpi. Atau mungkin hanya kecupan? Tapi apa bedanya?
Liora menggeleng keras, seolah ingin mengusir kenangan itu dari kepalanya. Namun semakin ia mencoba, bayangan itu justru semakin melekat, suara berat Raja, tatapan matanya yang pekat seperti arus hitam di bawah langit Azzarkh, dan hangat sentuhannya yang masih terasa di kulitnya.
Para pelayan yang berada di ruangan itu saling berpandangan, bingung melihat Putri mereka yang tiba-tiba menggigit bibir sendiri lalu menggeleng pelan tanpa sebab.
“Putri, semuanya sudah selesai,” ucap salah satu pelayan lembut, namun Liora tak menggubris.
“Putri…” Dreya mencoba lagi, tapi tetap tak ada tanggapan.
“Putri Liora…” kali ini Vaelis yang memanggil.
“Putri!” seru Dreya dan Vaelis bersamaan hingga Liora menoleh dengan wajah terkejut.
“Ada apa?” tanyanya polos, seolah tak sadar dirinya baru saja mengabaikan semua orang di ruangan itu.
“Pelayan telah siap meriasmu. Sekarang sebaiknya kita segera pergi untuk menemui Raja,” jawab Dreya.
Sekejap, jantung Liora berdetak tak beraturan. Nama Raja Azrakel saja sudah cukup untuk membuat darahnya mengalir lebih cepat.
Dengan langkah gugup ia berjalan menuju kediaman Raja, ditemani oleh Dreya dan Vaelis. Setibanya di aula besar itu, mereka mendapati Putri Hua sudah berada di sana, berdiri di sisi takhta sambil tersenyum halus.
“Putri Liora,” ucap Putri Hua, “kau datang untuk melihat Raja juga?”
“Iya, Yang Mulia Putri Hua,” sahut Liora sopan, menunduk hormat.
“Baiklah, kalau begitu silakan. Aku akan pergi.”
Tanpa diduga, Putri Hua mendekat ke arah Azrakel dan, di depan mata Liora, mengecup pipi sang Raja tanpa sedikit pun rasa malu. Gerakannya lembut, tapi cukup untuk mencubit hati Liora. Rasanya perih, halus tapi dalam.
“Putri Liora, jika kau memiliki waktu luang, datanglah ke kediamanku untuk minum bersama,” ucap Putri Hua tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa.
“Baik, Yang Mulia,” jawab Liora, masih berusaha menjaga sopan santunnya. Setelah memberi hormat, Putri Hua pun berlalu ditemani Nyonya Malvera.
Keheningan menggantung. Hanya langkah Putri Hua yang memudar di koridor.
“Duduklah,” ucap Azrakel datar.
Liora menuruti, duduk dengan sikap kaku di hadapannya. Ia berusaha mengatur napasnya agar tidak terdengar bergetar.
“Bagaimana keadaanmu, Yang Mulia? Apa kau sudah merasa lebih baik sekarang?” tanyanya lirih, mencoba menutupi perasaan campur aduk di dadanya, antara malu, berdebar, dan cemburu yang tak ingin diakui.
“Jauh lebih baik,” jawab Azrakel, matanya tak lepas dari wajahnya. “Berkatmu.”
Ucapan itu membuat wajah Liora memanas. Ia buru-buru menunduk, mengingat apa yang terjadi malam itu.
Ciuman itu. Sentuhan itu. Kata “berkatmu” kini terdengar jauh lebih intim daripada sekadar ungkapan syukur.
“Apa yang kau pikirkan, Putri Liora?” tanya Azrakel lagi, suaranya lembut tapi menekan.
Hari ini sudah dua kali ia mendengar pertanyaan serupa, dan entah kenapa, itu membuat Liora semakin gugup.
“Tidak ada!” serunya spontan, mungkin sedikit terlalu keras.
“Tidak ada?” Azrakel mencondongkan tubuhnya, senyumnya samar. “Atau… kau sedang memikirkan sesuatu tentang malam tadi?”
Mata Liora langsung membulat. “Semalam? Memangnya apa yang terjadi?”
Ia mencoba mengelak, tapi suaranya terdengar terlalu panik untuk meyakinkan siapa pun.
“Haruskah aku mengatakan padamu apa yang terjadi?”
Nada suara Azrakel terdengar menggoda, seperti bara yang menyentuh kulit.
“Kalau kau merasa ada yang terjadi, berarti kau sedang bermimpi!”
Liora bersikeras, tapi hatinya justru berdebar makin cepat.
“Begitukah?” Raja mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. “Kalau begitu… apa aku perlu mengulanginya, agar kau tak menganggap itu mimpi?”
Wajah Liora memerah. “Dasar kau, Raja cabul!” serunya, spontan berdiri.
Azrakel hanya tersenyum. “Apa mencium istrinya sendiri itu termasuk cabul?” tanyanya tenang, namun matanya menyala halus.
Liora terdiam. Nafasnya memburu.
“Istri?” ulangnya pelan, nyaris berbisik.
“Ya,” jawab Azrakel, mendekat hingga jarak di antara mereka hampir lenyap. “Selir atau istri, sebutannya tak mengubah kenyataan bahwa kau milikku.”
Tangannya menyentuh pinggang Liora, gerakan pelan tapi tegas.
“Apa aku harus mengulanginya, Putri Liora? Mengatakan lagi bahwa aku menyukaimu?”
Wajah Liora terasa panas, dadanya bergetar. Ia mencoba menepis tangan Raja, tapi genggamannya terlalu kuat.
“Jika kau ingin mencium,” ucap Liora akhirnya, dengan nada menantang, “cium saja Putri Hua.”
Azrakel menatapnya lama, kemudian tertawa kecil. “Ha ha ha… apa kau sedang cemburu, Putri Liora? Karena Putri Hua menciumiku?”
“Tentu tidak!” sangkal Liora cepat. “Untuk apa seorang selir cemburu?”
Azrakel menatapnya dengan tatapan dalam, penuh makna. “Benarkah?” bisiknya.
Liora hanya mengangguk, tanpa berani menatap. Ia akhirnya melepaskan diri dari dekapan itu, melangkah mundur dengan wajah masih memerah.
Namun di dalam dadanya, ia tahu, kebohongan itu begitu tipis.
Setelah meninggalkan kediaman Raja, Liora berjalan menyusuri taman istana Azzarkh yang diterangi cahaya bulan biru. Langit tampak begitu dekat, namun dadanya tetap terasa sesak.
Bayangan Raja masih mengikuti langkahnya. Tatapannya. Suaranya.
Dan saat pikiran itu kembali melintas, suara berat Azrakel bergema samar di dalam benaknya.
“Aku bisa mendengar pikiranmu, Putri Liora…”
Wajahnya langsung memucat. Jantungnya seolah berhenti berdetak.
Langkahnya pun terhenti.
krn di dunia nyata kamu g diperhatikan, g disayang
apa mungkin bgmn cara'a spy kembali ke dunia sebenar'a, bgtukah thor🤭💪