[Follow dulu sebelum baca ya :)]
Penulis: Sparkyu x Hokuto
Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong itu ditakdirkan tidak bisa bertahan?
"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.
"Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.
Cerita non baku pertama dari aku~, kalau masih kurang mohon krisarnya ya. Ini juga cerita dengan peran karakterku sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dsparkyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
Revan tersenyum dengan beberapa kantong belanjaan di tangannya. Dia tidak sabar melihat wajah terkejut sang adik ketika dia membiarkannya memakan makanan kesukaannya kali ini.
Namun langkah Revan terhenti, ketika mendengar suara dokter dan perawat yang berteriak panik dan menggumamkan nama Devan.
"Kenapa lagi dok? Ada apa lagi sama adek saya? Bukannya malem dia baik-baik aja?!" Revan dengan panik tanpa sadar menjatuhkan plastiknya.
Dr. Ryan mencoba tenang dan menjawab. "Tadi waktu suster visit, tiba-tiba aja Devan ngeluh sakit kepala hebat terus muntah, berakhir sama Devano yang kehilangan kesadaran."
Revan hanya bisa terdiam setelah mendengarkan penjelasan dokter, dan hanya menatap dr Ryan yang kini tengah menangani sang adik. Sudut mata Revan, bisa melihat bekas baki muntahan yang berisi darah.
Kali ini Revan sendiri, tanpa seseorang yang menenangkan. Menatap sang adik yang sudah melewati masa kritisnya, -lagi. Revan tidak pernah mengeluh mengenai takdir yang secara bertubi-tubi menghampirinya. Namun kali ini, ia tidak mempunyai tempat untuk bercerita. Revan berpikir, apa sebenarnya yang harus ia lakukan agar alunan cerita ini cepat dilalui?
Dulu, ada Raka yang selalu datang dengan candaan konyolnya. Kian yang menjadi bulan-bulanan, dan dirinya yang menjadi sosok raja iblis-mereka bilang di perbincangan itu. Senyum getir terpatri di wajah dinginnya, paras itu kini menampakkan gurat lelah yang kentara.
Sampai dia bertemu Nathan yang sedang lewat di lorong ruang tunggu. Nathan yang melihat Revan sedang frustasi mencoba berbicara padanya.
"Revan? Gimana keadaan Devan sekarang? Gua denger tadi sempet kritis ya?" Tanya Nathan langsung.
Senyum getir kembali terlihat di wajah Revan. "Gua kayaknya mau nyerah aja, bang Nath. Semua yang udah gua lakuin kayak gaada artinya."
"Lo nyerah? Tinggal nyerah aja. Dan lo gaboleh nyesel dengan keputusan yang udah lo ambil." Nathan seperti melihat sosok dirinya di masa lalu pada diri Revan.
Revan mengernyit mendengar kalimat sakartis dari Nathan. "Gua nyesel? Maksudnya?"
Nathan menghembuskan nafasnya dan tersenyum. "Ya simple-nya gini, apa dengan lu nyerah semua akan selesai begitu aja? Apa dengan lo nyerah gakan menimbulkan permasalahan lain? Inget Rev, setiap pilihan yang kita ambil itu punya resikonya masing-masing. Kalau lo nya aja ga siap dengan semua resiko, apa yang lo pilih pada akhirnya tetep sia-sia."
"Terlalu banyak yang gue alami dan sekarang rasanya gua sendirian. Gua gak pernah tahu bahwa hidup akan sesakit ini" Wajahnya kini menunduk.
Nathan kini mendudukkan dirinya di samping Revan. "Lo itu mirip sama gua dulu Rev. Gua gamau sampai kejadian yang gua alamin, nimpa lo juga. Kalau lo bilang lo sendirian, nggak Rev. Buktinya adek lo masih mau bertahan demi lo. Lalu kalau tempatnya bertahan nyerah gitu aja, dia mau pergi kemana lagi?"
"Gua udah jadi pengecut ya tadi bang. Kalah sebelum berperang. Makasih ya, betul kata lo bang, harusnya gua ga kaya gini." Senyuman yang kini di wajah Revan sekarang terlihat lebih tulus.
Di tengah perbincangan mereka, Arjuna yang baru selesai dari ruang konsulen melihat Nathan dan Revan yang tengah duduk berdua. Sebuah momen langka yang jarang terjadi.
"Gila, area positif dan negatif ngobrol bareng yang harusnya berlawanan." Celetuk Arjuna.
Nathan mendengus. "Nape? Masalah emang Ar? Sebagai senior yang baik, gua itu harus bisa memberikan petuahnya."
"Petuah? Ya tumben anjir? Lo kayak gini. Aneh bin ajaib sumpah." Kekehan tertahan keluar dari mulut Arjuna.
"Cengengas, cengenges lo apaan dah. Baru ditembak cewek lo? Atau ditembak ibu-ibu lagi?" Tanyanya dengan sedikit nada kesal.
Arjuna mengangguk, gembira akan sesuatu. "Nggak kok, tadi gua cuma dapat kabar. Kondisi Raka membaik dan ada kemungkinan sebentar lagi dia sadar."
Revan terperangah mendengarnya. Hati kecilnya sangat lega mendengar itu. "Beneran bang Ar? Bocah itu udah mau bangun."
"Iya, dan siap-siap sih lo bakal diomelin dia Rev." Arjuna sangat tau peringai adiknya.
Nathan berdiri, bersiap untuk pergi lagi. "Nah, gua ikut seneng juga dengernya kalau gitu. Dah ya, kalian lanjutin ngobrol, gua mau ke pasien lagi. Entar kalau gua masih disini malah makin dicengcengin ma nih manusia jantan satu."
"Emang gua jantan, sejak kapan jadi betina?" Balas Arjuna yang tidak ditanggapi oleh Nathan.
Revan tersenyum kecil. "Bang Ar kalau didepan bang Nathan beda ya. Dinginnya gak keliatan."
"Ya sama kayak lo kalau deket Raka atau Kian." Balasnya singkat.
Revan mengutarakan pertanyaannya. "Tadi bang Nathan bilang, kalau gua mirip sama dia. Apa maksudnya ya?"
"Meskipun dia gua bilang sebagai area negatif, untuk pernyataannya Nathan gua setuju. Orang tua Nathan udah meninggal sejak lama, dia punya adek yang gabisa dia selametin, ngebuat Nathan punya alasan kuat buat jadi dokter. Dia juga penyesalan lain, yaitu kehilangan kepercayaan dari para sahabatnya dulu." Arjuna menjelaskan bagaimana ia mengenal Nathan dulu.
Revan kembali terperangah. "Ternyata semirip itu ya."
Arjuna tersenyum mendengar pendapat Revan. "Ada satu kalimat dari Nathan yang bakal gua inget."
"Ketika gua ketemu sama orang yang punya nasib kayak gua, gua bakal pastiin orang itu gakan mengalami penyesalan yang sama seperti gua."
"Luarnya Nathan emang dingin, tapi hatinya itu hangat. Kalian makhluk yang sama sih." Ucap Arjuna kembali.
Revan mengangguk. "Iya, kita sama-sama homo sapiens."
Arjuna tidak bisa berkata-kata dengan lawakan Revan yang spontan tapi tidak lucu itu, dan dia memilih untuk pergi daripada semakin menjadi.
************
Waktu terus berputar tanpa kita sadari, dan sekarang sudah hampir satu bulan lamanya, baik Arjuna maupun Revan menjaga sang adik yang masih dirawat di rumah sakit. Berbeda dengan Revan yang masih harus berjuang, sebenarnya Raka sudah terbangun dari komanya beberapa hari lalu.
Di dalam ruangan itu, hanya ada Raka dan sang kakak, Arjuna. Meski sudah sadar, Raka tetap memerlukan beberapa penyesuaian untuk menggerakkan kembali tubuhnya. Walau tidak ada yang fatal dari kecelakaan itu, namun pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan.
"Tumben banget bisa nemenin gua bang." Dengan nadanya yang sedikit lemah, Raka bicara.
Arjuna tersenyum mendengarnya. "Hari ini gua izin, buat nemenin masa pemulihan lo dulu Ka."
"Oh sejak kapan lo peduli ma gua bang?" Jujur, Raka tidak pernah ingin mengeluarkan kalimatnya ini.
Arjuna menghentikan kegiatannya yang sedang mengupas buah. "Gue minta maaf atas semua yang gua lakuin ke lo, Ka."
"Minta maaf? Gaada yang perlu dimaafin Bang. Gua juga udah kebiasa lagian." Tawa hambar terdengar dari mulut Raka.
Mendengar kalimat Raka, hanya membuat Arjuna semakin menyesal. "Sekali ini aja, Ka. Izinin gua buat memperbaiki semuanya dari awal. Apa boleh?"
"Kadang, gua mikir mungkin kalau gua ga kecelekaan kayaknya lo gabakal gini deh." Raka tahu kalimatnya itu hanya menyakiti Arjuna.
"Apa gaboleh Ka, gue memperbaiki semua kesalahan gua ini? Lo tahu, waktu lo gasadar saat itu gua pikir hidup gua udah gaada guna lagi." Dia masih ingat dengan kondisi Raka yang bersimbah darah pada saat itu.
Mata Raka memicing, entah mengapa perasaannya masih belum menerima. "Alesan basi lo, bang."
"Raka Aditya!" Tanpa sadar, Arjuna malah membentak.
"Lihat kan? Lo masih sama kayak dulu, bang." Meski terkejut, Raka berpura-pura untuk tak bergeming dengan nada Arjuna.
Tidak ingin emosinya semakin bertambah, Arjuna memilih untuk meninggalkan sang adik. Raka hanya bisa menghembuskan nafasnya, hubungan persaudaraan mereka dari dulu tidak pernah berhasil.
Sementara itu setelah Arjuna pergi, Raka bisa menangkap sosok Revan yang hanya mengintip dari kaca kecil ruang rawatnya. Masih ada asing diantara mereka, baik Revan maupun Raka tidak ada yang mau memulai lebih dulu.
Diluar sana, Revan terlalu takut untuk memasukki ruang rawat sahabat sejak kecilnya itu. Ada beberapa alasan kuat yang membuatnya tidak berani untuk bertatap langsung seperti biasa pada Raka. Dia merasa, sudah cukup Raka mendapatkan semua beban darinya. Pemuda itu memilih untuk pergi, melihat Raka yang telah lumayan pulih, itu cukup baginya. Meninggalkan Raka yang penuh tanda tanya akan sikap Revan.
Revan yang baru pulang kuliah, kembali ke rumah sakit untuk menunggu Devan yang masih belum sadar, sembari menengok keadaan Raka sekilas tadi. Hari-hari yang dia lalui dipenuhi dengan ketakutan akan kehilangan sang adik. Untung saja ada Andrea yang bisa menggantikannya saat kuliah tadi.
Andrea membuka pembicaraannya. "Kamu udah makan dulu kan sebelum kesini, Rev?"
"Udah kok Tan. Aman aja." Balasnya singkat.
Andrea bersyukur mendengarnya. "Oh iya, Raka bukannya udah sadar ya? Kamu udah temuin dia belum?"
"Aku... aku gak berani Tante." Ada helaan nafas yang dapat Andrea dengar.
Andrea mengernyit. "Apa hal yang bikin kamu berpikir kayak gitu?"
"Raka, udah terlalu banyak Revan bebanin. Dari dulu Raka selalu ngelakuin apapun buat Revan. Tapi dari Revan sendiri, kayak gak pernah ngelakuin apa-apa buat Raka. Hasilnya yang kemarin, Raka malah harus dirawat disini. Revan takut kalau Revan deket lagi sama Raka, cuma bikin bebannya Raka terus ada dan ada lagi." Sorot mata Revan menjelaskan dengan jujur.
"Tapi emangnya kamu tahu isi hatinya Raka? Dia malah bakal lebih sakit dan terbebani dengan sikap kamu yang kayak gini, Revano." Andrea mencoba bijak dalam memberi tahu.
Revan masih berpegang pada argumennya. "Revan belum siap tante, Revan masih butuh waktu."
Andrea hanya bisa menghembuskan nafasnya. Revan adalah tipe yang keras kepala. "Oke, kalau emang kamu masih butuh waktu. Tapi Tante cuma mau ingetin, semakin lama kamu menunda semakin rumit situasi yang bakal kamu hadapi nantinya. Bahkan Raka bisa menjauh dari kamu secara nyata. Kamu bisa kehilangan sahabat kamu sendiri."
"Revan tahu Tante, jika itu yang terbaik buat Raka dan mengurangi bebannya, Revan rela." Ia tidak ingin lagi membebani sang sahabat.
Andrea hanya bisa memejamkan matanya, mendengar pernyataan Revan. "Jangan sampe kamu nyesel nantinya, Rev. Persahabatan itu bukan sesuatu yang bisa dimunculkan dan dihilangkan begitu aja."
Andrea kemudian pamit untuk pulang. Revan tidak menjawab kalimat di akhir tadi. Dia tahu apa yang diucapkan Andrea benar adanya, namun Revan tidak ingin membuat sahabatnya terbebani lagi.
Beberapa minggu sudah berlalu, baik Raka maupun Revan diantara keduanya tidak ada yang bicara. Atau lebih tepatnya Revan yang selalu menghindar ketika berpapasan dengan Raka. Hal itu membuat Raka hanya semakin geram. Raka tidak nyaman dengan suasana yang tengah terjadi.
Malam itu, Raka sengaja menunggu Revan di waktu pulang kerja paruh waktunya. Revan yang menangkap Raka tengah berdiri menunggunya, berusaha memutar balik arah. Namun teriakan Raka, membuatnya berhenti.
Raka menghentikan langkah Revan. "Mau sampe kapan lo ngehindar dari gue, Rev?!"
Revan berbalik dan menatap dingin pada Raka. "Gua rasa jam juga udah malem Ka, mending lo pulang. Badan lo juga belum sepenuhnya pulih."
"Gua gak butuh kalimat ibu-ibu lo, Rev. Yang gua butuh adalah penjelasan lo. Kenapa lo ngehindar dari gua? Setiap lo ngelihat gua, lo mandang gua seperti hama yang perlu lo hindari!" Raka mengungkapkan isi hatinya.
Revan masih dengan ekspresi datarnya. Menenggelamkan segala emosi yang ia milikki. "Lebih tepatnya, gue memang mengindar dari lo. Karena gue rasa, lo udah cukup gua bebani selama ini."
Raka yang mendengarnya hanya mendecih. "Beban? Lo ngerasa gua terbebani? Pernyataan sepihak lo bullshit tau gak?! Atau emang selama ini cuma gua yang nganggep persahabatan kita?!"
"Lo selalu bisa bantuin gue, Ka, disaat gua butuh. Sementara gue, Ka? Apa ada sesuatu hal yang bisa gua lakuin ke lo? Nggak kan? Yang ada gua justru nambah-nambah beban lo, ini udah gua pikirin dari dulu. Yang hama disini sebenernya gua, bukan lo!" Kalimat Revan memang panjang, tapi itu terdengar menyebalkan bagi Raka.
"Jadi apa maksud lo dengan semua sikap dan kalimat lo tadi?! Lo pengen persahabatan kita ancur? Cuma gara-gara masalah sepele kayak...
" Ucapan Raka terpotong dengan kalimat Revan yang terdengar tinggi.
"... sepele sampai bikin lo koma satu minggu lebih?! Lo bilang sepele? Lo gak tahu betapa hancurnya gua waktu ngedenger sahabat gua sendiri mendekati kematian! Hancurnya gua yang gak bisa berbuat apa-apa untuk lo! Dan satu hal lagi... semua ini gakan kejadian kalau aja permasalahan gua sama Haris selesai!" Emosi Revan meledak-ledak. Dia seakan tidak peduli suaranya bisa terdengar orang lain.
Raka begitu emosi mendengarnya, namun ia berusaha untuk meredam. "Lo selalu gitu Rev, dari dulu. Lo selalu menyimpulkan semuanya menurut lo sendiri. Lo gak pernah nanya ke gua mengenai apa yang gua rasain? Lo terlalu egois, seakan-akan cuma lo yang ngerasain semuanya. Bukan cuma lo yang pengen tahu dan ngasih yang terbaik buat sahabatnya, tapi gua juga! Atau lo mau mutusin persahabatan kita begitu aja?!"
"Kalau emang itu yang terbaik, seperti yang lo bilang, gue rasa persahabatan kita cukup sampai disini, Ka." Dengan masih memasang ekspresi dinginnya, Revan seakan mengiyakan kalimat akhir Raka.
"Lo kalau serius ngomong ini, gue tonjok lo!" Raka memberikan peringatan.
Revan hanya menatap lurus pada Raka. "Apakah muka gue gak cukup serius untuk mengiyakan, Ka?"
Pertanyaan retoris Revan itu membuat Raka tidak dapat menahan emosinya.
'BUK'
"Anjing lo, Revano! Sikap lo yang begini adalah yang gua benci!" Raka melayangkan tinjunya pada wajah Revan, sementara pemuda itu diam tak membalas.
Revan mengelap sudut bibirnya yang sedikit mengeluarkan darah. "Mulai sekarang hidup lo bakal lebih tenang tanpa gua, Ka."
Sementara Raka, dia masuk ke mobilnya dan menutup pintu dengan keras. Melesat pergi meninggalkan Revan yang masih bergeming di tempatnya.
Revan tidak tahu bahwa disana bosnya memperhatikan dan menyaksikan pertengkaran tersebut. Dengan sopan Revan meminta maaf atas kejadian tidak menyenangkan yang telah dia lakukan.
"Kang Arkan, maaf atas keributannya. Saya siap nerima sanksi kang." Revan dengan sopan meminta maaf.
Arkan menggelengkan kepalanya. "Gapapa Rev, saya tahu kamu malam ini sedang kalut. Tapi saya cuma titip pesen, jangan sampai kamu terbawa emosi kamu dan malah menyesal nantinya."
"Sejujurnya saya udah menyesal, Kang. Saya gak mau bilang semua hal tadi ke sahabat saya sendiri. Tapi saya juga gak mau sahabat saya gak maju gara-gara sama saya terus." Revan mengungkapkan perasaannya.
Arkan mengangguk mengerti. "Kamu gak mau sahabat kamu kenapa-kenapa karena kamu. Itu bagus, kamu mementingkan dia artinya. Tapi sebaliknya, sahabat kamu juga gak mau kamu kenapa-napa. Cukup sulit memang kondisinya, cuma satu hal Rev, hubungan persahabatan itu bukan suatu hal yang gampang diputuskan begitu saja."
"Iya, Kang Arkan, saya ngerti. Cuma... " Revan tidak bisa meneruskannya.
".....cuma kamu gak siap kalau harus 'kehilangan' lagi, dan sahabat kamu hampir hilang untuk selamanya, begitu bukan?" Arkan menyimpulkan.
Revan mengangguk, mengiyakan kesimpulan yang diberikan Arkan. Sang bos tidak lagi bicara, dia tahu bahwa pemuda dihadapannya ini sebenarnya masih mencari jawaban yang benar.
Sementara itu, Kian yang berada di Lampung masih mengkhawatirkan keadaan dua sahabatnya. Sampai ada suara notifikasi masuk ke dalam handphone miliknya dari grup yang dia sematkan di pesan whatsapp-nya.
Revan-esbatuaneh left the group
Wajah sumringahnya langsung berganti dengan sirat kekhawatiran.
************
Perbincangan terakhirnya dengan Arjuna dan suara Revan yang bergetar membuat perasaan Kian semakin tidak karuan. Disaat seperti ini dia merasa tidak berguna, karena tidak bisa melakukan apapun untuk keduanya.
Pemuda itu mencoba menghubungi ponsel kedua sahabatnya, namun tidak ada satupun yang mengangkat telepon Kian. Sungguh, Kian ingin segera pergi ke Bandung dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak ingin mempunyai penyesalan dalam hidupnya.
"Ar? Kamu kenapa? Kok gelisah kayak gitu?" Mamanya menghampiri Kian yang terlihat gelisah di kamarnya.
Kian menatap ibunya. "Arki khawatir sama keadaannya Raka ma Revan, Ma."
"Kamu udah coba hubungin mereka lewat telepon?" Ibunya mencoba menenangkan Kian.
Kian mengangguk. "Udah bekali-kali aku telepon bahkan. Tapi dua makhluk aneh bin ajaib itu sama sekali gak ngangkat."
"Kamu mau ke Bandung?" Ibunya menyimpulkan.
"Kalau boleh, Ma. Sejujurnya semenjak dapet kabar Raka koma, Revan yang kalut, Arki kayak merasa gaguna banget jadi sahabat mereka. Arki takut kalau yang dibilang Tante kemarin itu benar. Dua kelopak bunga yang pergi itu, aku ngerasa kayak Raka dan Revan. Mana makhluk-makhluk itu gaada kabar sampai sekarang." Kian panjang lebar menjelaskan pada sang ibu.
Ibunya mengerti kemauan putra semata wayangnya ini. "Mama bakal izin ke Papa kamu, bilang bahwa kamu emang harus ke Bandung. Ada sesuatu yang penting yang harus diselesein. Mama bakal bujuk dia."
"Serius, Ma? Makasih banyak Ma. Kirara emang gakan lengkap kalau tanpa Arki." Dia memeluk mamanya.
Ibunya bingung. "Kirara itu apa?"
"Kian, Raka, Revan. Tiga cogan yang masih jomblo sampe sekarang." Jelasnya dengan sedikit candaan.
Ibunya hanya tersenyum mendengarnya. "Persahabatan kalian adalah persahabatan yang mahal rupanya."
Pada malam harinya, ibu Kian berhasil membujuk sang suami untuk mengizinkan Kian terbang ke Bandung selama satu minggu. Membiarkan Kian bertemu kembali dengan dua sahabatnya.
*********
Revan segera berlari dengan terburu setelah mendapat kabar dari rumah sakit. Devan, sang adik sudah membuka matanya kembali. Berhasil melewati fase hidup dan mati untuk kesekian kalinya.
Revan bisa melihat Devan yang tengah duduk bersandar di atas kasur pasien. Wajah yang mirip dengannya itu kini terlihat tirus. Tak berisi seperti dulu. Rona kulitnya sudah pucat, karena banyaknya pengobatan yang dia lalui.
Hati Revan sakit menyaksikannya. Telah berbagai cara ia lakukan, namun takdir selalu mengambil jalan lain baginya. Adik kembarnya tersenyum pada Revan. Memberikan isyarat bahwa sekarang ia baik-baik saja.
"Muka lo kusem amat Rev, kayak ditolak crush yang udah bertahun-tahun lo suka." Devan bercanda dengan nadanya yang terdengar lemah.
Revan membalas candaan sang adik. "Kata siapa? Mana ada yang berani nolak pesona tampan pangeran sekota Bandung ini."
"Pangeran apaan bentukan kayak gini, iblis lo mah." Di kalimat akhir suaranya tidak terdengar, jujur Devan takut diterkam.
Revan tersenyum, citra seramnya memang sudah melekat sejak dulu. Bagi Revan sendiri bukan dia bukannya seram, melainkan dia lebih suka berkata apa adanya, langsung pada inti dan tidak bertele-tele.
"Tapi iblis gini jagain adeknya, artinya gua itu guardian angel." Revan berucap dengan bangga.
"Angel, kalau orang ngeliat lo dari ujung sedotan. Merinding gua ngedenger lo muji diri sendiri sebagai malaikat." Celetuk seseorang yang tiba-tiba datang berkunjung, yaitu Ardli dan teman-teman kampus lainnya.
Devan sangat senang melihat kedatangan Ardli dan yang lainnya. "Wuah, kalian sengaja kesini?"
"Nggak sih, kebetulan ban mobil gua kempes di deket rumah sakit ini. Kalau kempesnya di deket kolam renang karangsetra, ya gua mampir renang." Jawab Ardli seenaknya.
"Nih anak belum pernah gua gibeng pake spatula kayaknya." Kali ini malah Devan yang mengeluarkan aura mencekam yang ia milikki.
Jesslyn hanya menggeleng dengan tingkah Ardli. "Gausah didenger, kita emang mau nengok lo kok. Maaf ya baru ada waktu sekarang."
"Oh iya, ngomong-ngomong kok gua ga ngeliat anomali bernama Raka diantara kalian? Dia kan udah sehat harusnya." Tanya Devan sedikit bingung.
Lily mencoba menjawab dengan tenang. "Raka mungkin lagi ada kesibukan lain, kondisinya juga belum pulih sempurna. Jadinya gaboleh capek-capek dulu mungkin."
Jesslyn mengangguk. "Udah macem tuan putri tuh dia sekarang, apa-apa kagak mau. Apalagi kalau disininya ada Rev.... Auch apaan sih!"
Ardli mencubit lengan Jesslyn yang hampir keceplosan. "Iya Dev, tuh anak mungkin karena kebentur sepertinya agak bertaubat sedikit. Tapi entar juga dia bakal kesini buat jenguk lo."
"Rev, kok diem aja sih? Jangan sumpek gitu lah. Kita juga bawain makanan buat yang nunggu." Fitra yang tadi diam akhirnya bicara.
Revan hanya tersenyum tipis. "Gapapa kok, tapi makasih ya."
Semuanya terperangah melihat senyuman Revan yang berbeda dari biasanya.
"Walawe, dia senyum ganteng tipis tulus kayak gitu. Apakah gunung everest sudah tidak mempunyai es lagi?" Ardli memberikan ejekannya.
Revan langsung merubah senyumnya menjadi mengerikan ke arah Ardli. "Lo mau tangan kanan apa tangan kiri yang ilang? Atau mulut lo yang gua jahit?"
"Kagak anjer, canda gua canda. Yaelah masih mau idup dan mengagumi mommy-mommy sekarang gua." Ardli memberikan klarifikasi.
Revan bertanya datar. "Dli, sejak kapan lo jadi wibu?"
"Lah gua mah penggemar Naruto sejati!" Jawab Ardli dengan bangga.
"Emangnya Naruto itu apaan?" Tanya Revan dengan nada polos namun menyebalkan bagi Ardli dan yang lainnya.
"Bodo amat Rev!" Malah Devan yang menjawab karena kesal dengan pertanyaan datar milik Revan.
Sementara rekan-rekan yang lain hanya tertawa dengan tingkah Revan yang sedikit 'berbeda' ini. Revan sendiri memilih untuk pergi keluar sebentar, memberikan ruang pada adik kembarnya untuk berinteraksi dengan yang lain.
Ardli yang melihat Revan beranjak, segera menyusulnya. Dia tahu bahwa orang yang selalu terlihat baik-baik saja itu, sebenarnya menyimpan luka yang cukup dalam.
Revan yang sedang menatap langit lewat balkon rumah sakit dikejutkan dengan sensasi dingin yang menempel di pipinya. "Nih kopi dingin, biar otak lo gak terlalu ngebul Rev."
"Ternyata lo, Dli. Thank's kopinya. Tumben lo gak sama Devan. Temu kangen lah kalian harusnya." Jawabnya dengan senyuman, yang Ardli tahu hanya sebuah ekspresi palsu.
Ardli tanpa basa-basi langsung bertanya. "Lo gapapa, Rev?"
'DEG' Jantung Revan terhantam setelah mendengar pertanyaan Ardli.
"Kentara ya, muka gua lagi banyak masalah." Jawab Revan dengan helaan nafas yang dalam.
Ardli memejamkan matanya. Orang di depannya ini adalah tipe yang suka memendam semuanya sendiri. "Lo kenapa sama Raka? Diantara semua hal yang terjadi, gua gakan expect kalau kalian berantem."
"Bukan berantem sih, lebih tepatnya gua yang milih buat mundur dari kehidupannya. Sebagai seorang sahabat, gua kayak gaada gunanya buat dia. Bahkan beberapa waktu lalu dia hampir mati karena gua." Revan mencengkeram kuat kaleng kopi yang ada di tangannya.
Ardli menghela nafasnya. "Ternyata lo sama Devan emang beneran anak kembar. Sifat kalian mirip, waktu itu dia mengutarakan hal yang sama kayak lo." Dia kemudian melanjutkan. "Sekarang gua tanya sama lo, Rev. Kalau semisalnya lo gak berharga buat Raka, apa mungkin dia bakal ngelakuin hal segila itu? Terus kalau lo menyesali semuanya sekarang, merutuki diri lo sendiri karena gabisa berbuat apa-apa buat Raka, emang keadaan bakal lebih baik? Lo kayak gini karena lo belum coba. Bukannya persahabatan itu harus saling mengerti? Jangan cuma lo yang pengen dingertiin, cobalah buat ngertiin Raka juga. Meski gua lebih deket sama Devan, gua gamau persahabatan lo dan Raka rusak. Gua sendiri ngerasa ga berguna karena gabisa nyembuhin Devan. Tapi seenggaknya gua berusaha berdiri di sisi dia, dan buat dia berpikir bahwa dia masih punya gua sebagai sahabatnya."
Revan meminum kopinya, menarik nafas dalam dan membalas kalimat Ardli. "Kalimat gua kemarin udah keterlaluan. Gua bilang, persahabatan kita cukup sampai disini."
"Gua gak tahu lagi isi pikiran lo, Rev. Kadang kepala batunya lo tuh diluar nalar." Ardli tidak habis pikir dengan kalimat Revan.
Lily yang tanpa sengaja mendengar karena baru saja kembali dari toilet, tiba-tiba menengahi mereka. "Pertengkaran dalam persahabatan itu pasti ada, tapi apa salahnya kalau kita mencoba minta maaf duluan dengan melupakan ego. Seenggaknya kita udah berusaha untuk memperbaikinya."
"Lily? Sejak kapan?" Tanya Ardli.
Lily memberikan klarifikasi. "Eh, gua baru tadi kok. Gak sengaja denger, maaf kalau lancang. Tadi gua cuma menyarankan aja."
"Gapapa kok Ly, kadang disaat seperti ini, kita memang butuh pendapat dari orang lain." Balas Revan dengan ramah.
Lily sedikit merona mendengar kalimat ramah Revan. "Kalau gitu, gua balik dulu ke ruangan Devan."
Lily kemudian meninggalkan Ardli dan Revan.
"Ramah banget lo ama Lily, ada sesuatu ya diantara kalian?" Ardli mencoba menggoda Revan.
Revan mengedikkan bahunya. "Suatu apaan kocak. Orang kita cuma temen sekelas."
"Eh tapi serius loh Rev, sikap lo ke Lily beda dibanding ke cewek-cewek lainnya. Lo gak sedingin itu ke Lily." Ardli memberikan penjelasannya.
Revan menghembuskan nafasnya. "Dia cuma beda aja dari para cewek lain yang sok kagum sama gua. Mungkin gua jadi balik kagum ke dia. Tapi tetep, buat gua hal kayak gitu bukan suatu yang penting sekarang. Devan masih prioritas yang harus gua kedepankan. Meskipun dokter juga udah bilang sesuatu yang bikin gua mikir buat nyerah."
"Maksud lo? Emang dokter bilang keadaan Devan gimana?" Ardli bingung dengan pernyataan Revan.
Revan, dia tersenyum getir. "Udah gaada lagi yang bisa dilakuin sama rumah sakit. Dari riwayat pengobatan yang sebelumnya, gaada perkembangan signifikan. Hasilnya malah makin buruk. Pantes ga sih Dli kalau gua marah sama takdir? Gua tahu semua orang punga cobaannya masing-masing. Tapi... gua.. heh... entahlah.. "
Ardli sendiri tercengang mendengar pernyataan Revan. Dengan kata lain, dia harus bersiap kehilangan sahabatnya?
Revan memang terlihat dingin dan keras, namun di dalamnya begitu lembut dan rapuh. Ardli tidak bisa membayangkan dengan apa yang dirasakan oleh Revan sekarang.
*********
Kian sudah tiba di Kota Bandung dengan selamat. Destinasi pertama yang akan didatanginya adalah rumah Raka. Kedatangan Kian pada malam hari membuat rumah Raka yang terlihat sepi hanya semakin sepi.
Perasaan Kian tidak karuan, rumah Raka seperti sudah mengadakan acara untuk orang yang sudah meninggal. Dulu Kian merasa bahwa rumah Raka harusnyaa tidak sesepi ini. Memberanikan diri, Kian memencet bel rumah Raka dengan sedikit anarkis.
Monologue Arkiansyah:
"Ka.. Buka Ka... Lo gak mati kan? Gua gak telat kan dateng. Lo kalau sampai mati beneran, gua ambil semua cewek-cewek yang suka sama lo." Kian mencoba bercanda namun perasaannya tetap tidak tenang.
Kian semakin gelisah. "Lo boong lo, kalau sampe mati muda kayak gini awas lo Rakambing! Terakhir, Bang Arjun bilang lo koma gapake titik. Cukup koma aja Ka jangan ada titiknya alias meninggal!"
Kian belum mendapatkan jawaban dari dalam rumah Raka. Matanya ingin menangis, ditengah candaannya yang semakin kacau, hati Kian terlalu sakit bila membayangkan bahwa kematian Raka adalah kenyataan.
"Ka... Rev... Maksud gua kita berpisah tuh, bukan berpisah beda alam kayak gini, brengsek!" Ada air mata yang ingin keluar dari pelupuknya.
End of Arkian Monologue.
Tanpa Kian sadari, Raka yang baru tiba sudah memarkirkan mobilnya di depan rumah. Raka sedikit mengkerutkan kening mendengar orang yang berteriak-teriak tidak jelas. Dia keluar dari mobil dan menghampiri orang tersebut.
"Loh Yan?! Anjir sejak kapan lo ke Bandung?" Raka senang melihat kehadiran Kian.
Kian malah komat-kamit baca do'a. "Ya, Ka gua emang sedih kehilangan lo. Tapi kalau bisa jangan jadi hantu, mati aja dengan tenang sana. Istirahat yang tenang ya Ka."
"Kalau gua beneran mati, orang yang bakal gua hantuin lebih dulu pasti lu sih Yan." Raka mendengus sebal.
Kian malah semakin takut. "Aduh mending gua balik Lampung aja, suara si Raka makin jelas. Tenang Ka, gua udah ikhlasin lo kok."
Karena geram, Raka memberikan usapan sayangnya pada Kian.
"Lah lo beneran masih hidup?!" Akhirnya Kian sadar.
Revan memutar bola matanya malas. "Lo doain gua beneran mati, Yan?"
Ditengah reuni unik yang terjadi, Kian bisa melihat Revan yang sepertinya baru pulang kerja paruh waktu.
Kian memanggil Revan. "Oi Rev, sini lo gak kangen anomali tampan ini apa?"
"Kian? Lo kok bisa gak nyasar?" Celetuk Revan.
Kian menggeram. "Emang pertanyaan kalian dari dulu buat gua kagak ada yang bener."
"Ngapain lo panggil orang itu, Yan. Lagian dia gakan peduli lagi sama kita." Nada Raka terdengar tidak suka.
Kian bertanya bingung. "Selama gua pergi, gak terjadi sesuatu kan diantara kalian? Kalian gak ngerebutin cewek yang sama kan?"
"Lo tanya aja sama orang sok bisa sendiri di depan lo itu, Yan." Raka memilih untuk memasukki rumahnya.
Revan berucap singkat. "Kirara udah bubar, Yan. Gua bukan lagi bagian dari kalian."
.
.
.
.
.
To Be Continue........
Oh iya jangan lupa vote dan kommen, saran, kritik, dan masukkan kalian sangat berharga bagi author.