⚠️ *Peringatan Konten:* Cerita ini mengandung tema kekerasan, trauma psikologis, dan pelecehan.
Keadilan atau kegilaan? Lion menghukum para pendosa dengan caranya sendiri. Tapi siapa yang berhak menentukan siapa yang bersalah dan pantas dihukum?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.H., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Perpisahan Terakhir dan Adam Menghilang
Aku kini sudah berada di pemakaman Pak Bruto, membawa setangkai mawar putih sebagai tanda perpisahan terakhir.
Di sampingku ada Rafael, memayungiku karna hujan turun deras, langit kelabu seolah ikut berduka.
Aku berjongkok, menatap nisan bertuliskan Bruto, lahir bulan April 1955. Diam, hening hanya suara hujan yang menemani.
Setelah beberapa saat, aku berdiri dan menatap makam itu sekali lagi. Lalu menoleh ke Rafael, memberi isyarat bahwa sudah saatnya pergi.
Payung yang semula di pegang Rafael, kini berpindah ke tanganku. Rafael berjalan di sampingku. Karena payung yang ku punya hanya satu.
Rafael ikut berteduh di bawah payung kecil itu, berusaha menyesuaikan langkah. Sesekali ia menoleh padaku.
"Paman... aku ikut ke warung, ya?" katanya. Aku tetap diam, menatap lurus ke depan.
"Paman... aku mau bantu kerja di warung mie ayam. Boleh kan?"
Aku menghela napas panjang, lalu berdehem. "Boleh. Asal jangan ganggu saya. Paham?" jawabku dingin.
Rafael mengangguk cepat, tersenyum lebar. "Oke, paman. Tenang aja!"
Hujan semakin deras. Petir sesekali menyambar, membuat suasana makin muram. Kami berjalan keluar dari pemakaman, dan Rafael masih saja bertanya.
"Paman... warung mie ayam Kek Bruto sekarang paman yang urus, kan? Aku dengar dari anaknya waktu aku ke sana."
Ia menoleh lagi. "Semalam aku juga dengar paman telponan. Katanya nggak mau pulang. Orang itu nyebut nama paman Lion Argandara."
Aku langsung meliriknya tajam.
"Berarti paman anak dari Bima Argandara dong? Anak orang kaya yang terkenal itu? Atau jangan-jangan..." Ucap Rafael dengan mata terbelalak, mencoba menghubung-hubungkan sesuatu.
"Ah, nggak mungkin paman anaknya Tuan Bima," ucapnya sambil tertawa kecil. "Mungkin aku salah dengar tadi malam."
Aku meliriknya sebentar. Jujur saja, aku ingin meninggalkan Rafael di bawah hujan, biar basah kuyup sendirian.
Aku meliriknya sekilas. Otak licikku mulai bekerja. Kalau dia terus bertanya, aku tinggal saja.
"Paman... bentar, aku mau tanya sesuatu yang penting!" katanya lagi.
Tapi sebelum ia sempat menoleh, aku sudah mempercepat langkah, meninggalkannya di belakang yang sudah basah kuyup di bawah hujan.
"Paman! Tunggu!" teriak Rafael, berlari mengejarku. Tapi aku tak peduli.
***
Sesampainya di warung. Aku masuk ke warung dan mendapati Saras duduk di dekat jendela. Saat melihatku, ia tersenyum kecil dan memberi isyarat agar aku duduk di depannya.
Aku segera menghampiri dan duduk. Saras menarik napas panjang, lalu menatapku serius.
"Lion, saya ingin bicara soal warung ayah saya," katanya.
'Aku mengernyit. Bukannya ini sudah ia sampaikan di pemakaman tadi?' pikirku.
"Bicaralah," jawabku sambil tersenyum kecil.
Saras menarik kursinya lebih dekat. "Saya harap kamu mau mengurus warung ayah saya. Kalau kamu keberatan, tidak apa-apa. Warung ini akan kami tutup dan bongkar."
Aku tersenyum dan mengangguk. "Baik. Saya akan urus warung ini."
Sebelum Saras sempat menambahkan sesuatu, Rafael tiba-tiba berlari masuk sambil terengah.
"Paman! Kenapa ninggalin aku sih?" katanya kesal, sambil menepuk-nepuk bajunya yang basah.
Aku menatapnya tajam, kesal. Rafael sadar, langsung menutup mulut, tersenyum canggung, lalu menggaruk tengkuknya yang jelas-jelas tak gatal.
"Hehe... maaf. Silakan lanjutkan,"
Aku kembali menatap Saras. "Terima kasih, Lion. Kalau ada apa-apa, hubungi saja saya," katanya sambil berdiri.
"Iya, sama-sama," jawabku, menjabat tangannya sebagai tanda.
Saras membuka payung dan pergi. Hujan kini tinggal gerimis.
Rafael buru-buru duduk di kursi bekas Saras. Aku menatapnya tajam.
"Paman, kalian tadi ngomongin apa?" tanyanya penasaran.
"Bisa diam?" Balas ku sengit.
Rafael hanya tertawa canggung, lagi-lagi menggaruk tengkuknya.
"Tapi... paman, aku mau tanya sesuatu," katanya serius. "Jangan-jangan paman anak Bima Argandara. Soalnya paman mirip banget."
Aku mengepalkan tangan, kesal. Tapi aku tetap tenang, tak menunjukkan reaksi.
Rafael bingung. "Apa aku salah, ya?" gumamnya pelan.
"Kalau nggak ada urusan, pulang saja. Kasih makan Adam. Dia belum makan dari kemarin malam," ucapku datar, lalu menuju dapur. "CEPAT."
Rafael terlonjak kaget. "Baik, paman!" katanya, lalu bergegas pergi.
Aku menghela napas lega. Setidaknya, bocah itu tak akan mengganggu lagi.
***
Rafael berlari menerobos gerimis. Di lorong yang sunyi, ia berhenti. Terdengar suara rintihan samar. Ia mempertajam pendengarannya, tapi suara itu tiba-tiba menghilang.
"Mungkin aku salah dengar," gumamnya sambil mengangkat bahu.
Sesampainya di rumah, ia melihat pintu sudah terbuka.
'Bukannya terakhir ditutup sama paman? Siapa yang masuk?' pikirnya panik.
Rafael menggeleng, ia cepat-cepat menepis pikiran itu dan masuk. Rumah tampak kosong, rapi, tak ada yang aneh.
Ia menelusuri ruangan demi ruangan. Kosong. Ia menghela napas lega, lalu menuju dapur untuk memasak bubur.
Sambil menunggu bubur, ia bermain game Free Fire di ponsel. Terlalu asyik, sampai lupa masakan di dapur.
Tiba-tiba, bau hangus menyengat.
"Kok bau gosong? Siapa yang masak?" ucapnya sambil menutup hidung.
Ia terdiam, sekejap kemudian ia tersadar. lalu tersentak. "Ya ampun! Bubur untuk Adam!" katanya sambil menepuk jidat.
Ia berlari ke dapur. Untung buburnya masih bisa diselamatkan, hanya bagian bawah panci yang gosong.
"Kalau paman tahu... habis aku," ucapnya cemas.
Akhirnya bubur berhasil ia siapkan dalam mangkuk. Rafael segera mengenakan hoodie dan topeng hitam, lalu membawa bubur ke ruang bawah tanah.
Ia membuka pintu yang tertutup karpet, masuk perlahan. Di bawah lampu, kursi kosong menyambutnya.
Matanya terbelalak. Mangkuk bubur di tangannya terjatuh, isinya berceceran di lantai.
"Adam... di mana dia?" katanya panik. "Astaga... aku harus bilang apa ke paman?"
Panik, Rafael segera menoleh ke segala arah. Namun kosong, Adam tidak ada.
Ia menutup kembali ruang bawah tanah, lalu mencoba menelepon Lion. Tapi ponselnya tidak aktif.
"Terpaksa... aku harus temui paman langsung," gumam Rafael, lalu berlari keluar rumah.
***
"Paman... Paman..." Teriaknya ketika memasuki warung dengan nafas memburu.
Aku yang sedang duduk sambil bermain ponsel, menoleh jengkel menatapnya tak suka.
"Paman... Adam..." Ucapnya pelan sambil mengatur nafas lalu menunjuk ke arah luar.
"Adam Kenapa, Rafael?" Tanyaku penasaran berdiri dari duduk ketika, melihat ekspresi anak itu yang tampak panik dan pucat.
"Adam, Adam hilang..." Ucapnya cepat. Aku terbelalak kaget dan juga emosi.
"Kau... Kau apain dia ha!" Kesalku, dengan cepat menarik kerah bajunya.
"Aku... Aku tidak tau paman." Katanya sambil menggeleng sambil bersumpah menunjukan dua jarinya berbentuk v.
Aku menatap mata Rafael ingin membaca gerak-geriknya. Apa dia sedang berbohong atau sedang mengerjauku. Namun, yang aku lihat dari matanya yaitu kejujuran.
"Percaya sama aku paman... Aku nggak bohong serius..."
"Pas a—aku se—selesai masak bu—bur. A—ku turun dan mendapati adam ti—tidak ada lag—gi." Ucapnya sedikit terbata-bata sambil menelan ludah susah payah.
"Kalau paman tidak percayaa, paman lihat saja cctv." Ucapnya.
Aku mengerutkan kening sambil melepaskan cengkraman itu dengan kasar sehingga, Rafael termundur.
Aku segera pergi menutup warung dan pergi menunju rumah, ingin melihat Adam. Aku begitu cemas, takut Adam akan membalas dendam kepada ku. Dan kemukinan terburuk pasti akan terjadi.
"Aku ngak akan biarin Adam lolos begitu saja." Ucapku tergesa-gesa ingin sekali sampai ke rumah.
Aku begitu kesal. Untuk sejenak saja ingin beristirahat mengenang kematian pak bruto kini mendengar kabar yang membuatku menutup telinga.
Sampai dirumah aku langsung turun ke ruang bawah tanah. Dan benar yang dikatakan Rafael, Adam lolos begitu mudah. Aku mematung tak percaya.
'Bagaimana bisa dia lolos! Padahal seingatku aku menguncinya mengunakan borgol ke kedua tangannya.' pikirku tak percaya.
Aku menoleh kiri kanan, dan pandangan ku tertuju kepada Cctv.
Aku segera beranjak pergi dan membuka leptop. Di dalam kamera cctv terlihat Adam sedang menatap cctv dengan senyum lebar seperti joker. Aku yang terus menatap senyum lebar Adam hingga, aku tak sadar Adam kini sudah bebas dan berjalan. Hingga wajahnya kini terpampang di cctv sambil tersenyum lebar lalu tertawa terbahak-bahak, lalu pergi.
Aku mengerutkan kening tak percaya. Aku terus mengulanginya ulang vidionya. Hingga aku sadar di dalam tubuhnya seperti, bukan sosok Adam dan juga bukan sosok adom.
Rafael yang duduk disampingku tercengang, seolah dia ingin berbicara namun kata-katanya sulit untuk di ungkapkan. Karna diluar pemikirannya selama ini.
Senyumnya Adam, tawanya, begitu menyeramkan apalagi ketika menatap matanya. Sepertinya sosok yang berbeda.
Aku menutup leptop dengan kesal. Lalu menatap Rafael. "Cari dia, tapi..." Ucapku sambil menujukan jari telunjuk sebagai syarat. "Jangan sampai terlihat mencurigakan."
Rafael menganguk patuh lalu berdiri. "Baik paman..." Katanya lalu pergi.
Aku begitu tak tenang, Adam begitu di luar pemikiran. Aku segera menelpon Antoni.
"Antoni, Adam hilang. Tolong cari dia dan tangkap dia kalau bisa." Ucapku serius, membuat Antoni tak percaya.
"Ha! Bagaimana bisa dia kabur lion?" Ucapnya tidak habis fikir di sebrang telpon. "Baik, kalau gitu saya akan cari Adam. Tapi, jaga diri kamu baik-baik dia pasti mengincarmu... karna dia sekarang tau keberadaanmu."
Aku berdehem paham, lalu mematikan telpon. Aku mencoba tenang dengan situasi yang tak memukinkan diriku untuk bisa tenang. Aku mengisap sebatang rokok sambil memejamkan mata.
Mencoba menghilangkan bayang-bayang Adam di benaku. Pasalnya senyumnya, tawanya itu terus menghantuiku seolah dia memeletku.
***
Rafael kini menelusuri gang demi gang mencari sosok Adam. Namun, ia tak kunjung menemui keberadaan Adam. Genangan air mengenai sepatunhya yang kini sudah becek.
Rafael mencari dengan panik, matanya begitu liar tanpa meninggalkan celah sedikitpun.
Dia berhenti di salah satu gang sempit. Sambil memegang lutut dan menghela nafas. "Suara rintihan itu pasti suara Adam." Gumamnya sambil mengingat kejadian saat dia pergi.
Rafael segera pergi mencari di jalan raya. 'Mungkin Adam ada disana.'
Rafael hanya menemukan orang-orang yang berlalu lalang. Dia melihat ke kanan-kiri namun pandangannya tertuju sama seseorang lelaki berbaju gembel, sedang tertawa tak henti-henti dan banyak orang merengumuni nya. Menatapnya sosok itu sambil berbisik-bisik.
Rafael yang penasaran ingin melihat. Namun, sebuah mobil van hitam berhenti tepat di hadapan kerumunan itu. Orang-orang berjas hitam turun dari mobil dan membawa lelaki yang tak henti-hentinya tertawa itu.
Saat Rafael, memfokuskan pandangan ke arah kerumunan itu. Dia mendapati lelaki itu yang ternyata Adam sedang menoleh kearahnya sambil tersenyum lebar dan mengerikan.
"Astaga..." Batin Rafael syok melihat wajah Adam.
Rafael pun menemui kerumunan itu yang masih berbisik. "Astaga, itu kan adam Stroyoga putra anak dari pak stroyoga yang di nyatakan hilang. Tau-tau di temukan seperti itu. Kasihan yah, entah apa yang terjadi sama nak Adam sungguh kasihan." Ucap salah satu ibu-ibu.
Salah satu ibu-ibu itu menganguk mengiyakan. "Selama ini dia ke mana aja! Padahal nak Adam itu anak baik. Putri saya cerita dia anak pintar dan mahasiswa yang rajin belajar." Balas ibu itu.
Rafael diam sejenak lalu menemui mereka lebih dekat lagi, ingin bertanya tentang Adam.
"Permisi, boleh saya tau? itu lelaki tadi dia Kenapa yah, Bu?" Tanya Rafael Pura-pura basa-basi.
Salah satu ibu-ibu itu menatap Rafael sambil tersenyum. "Dia Adam, anak pak stroyoga yang di nyatakan hilang. Dia ditemukan berjalan sendirian sambil tertawa. Entah dia dari mana!" Jelasnya.
Rafael hanya mengangguk lalu balik tersenyum. "Oh, kalau gitu saya pergi dulu." Pamit Rafael lalu pergi.
iblis✔️
mampir juga yuk ke cerita ku "Misteri Pohon Manggis Berdarah"