Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab-31 Jejak yang Tersisa
Angin malam menggigit kulit. Mauryn menarik jaketnya lebih rapat, sementara Revan berjalan di sampingnya, tatapannya terus menyapu gelap di sekitar jalan hutan kecil itu. Mereka sudah meninggalkan gudang beberapa jam lalu, tapi rasa waspada tak juga surut.
“Sepertinya mereka berhenti mengejar,” gumam Mauryn pelan, suaranya serupa bisikan.
“Jangan percaya begitu saja. Mereka bukan tipe yang gampang menyerah.” Revan menggeleng, langkahnya mantap.
“Kamu yakin kita memilih arah yang benar?” Mauryn menatapnya sejenak.
“Tidak ada arah yang benar atau salah saat kita dikejar. Yang ada hanya bertahan hidup.” Revan menoleh, menatap wajahnya.
“Kamu masih kuat?”
“Aku lelah. Tapi aku tak mau jadi beban.” Mauryn menghela napas panjang.
Revan menahan langkahnya sejenak, lalu menyentuh bahu Mauryn.
“Kamu bukan beban. Ingat itu.”
Hening beberapa detik. Yang terdengar hanya suara serangga malam dan dedaunan yang berbisik diterpa angin. Tapi keheningan itu pecah saat suara ranting patah terdengar dari sisi semak.
Mauryn refleks meraih lengan Revan.
“Kamu dengar itu?”
Revan sudah lebih dulu menegang. Tangannya sigap meraih pisau lipat dari saku jaket.
“Tetap di belakangku.”
Dari kegelapan, muncul sosok laki-laki dengan wajah penuh luka. Nafasnya tersengal, seakan ia berlari jauh. Mauryn mengenali sosok itu.
“Itu… salah satu dari mereka.”
Pria itu terhuyung, darah menetes dari pelipisnya.
“Tolong… jangan serang aku,” katanya parau.
“Aku tidak lagi bersama mereka…”
Revan mengangkat pisau lebih tinggi.
“Kamu pikir aku akan percaya begitu saja?”
“Tunggu,” Mauryn menahan tangan Revan.
“Aku bisa mendengarnya.” Matanya menatap pria itu dengan penuh intensitas.
“Apa yang kamu dengar?” Revan menatap balik.
Mauryn memejamkan mata sebentar, fokus pada suara di balik kata-kata. Ada getar ketakutan, ada bisikan putus asa. Bukan tipu daya, melainkan kejujuran yang mentah.
“Dia… dia sungguh ingin lari dari mereka,” ucap Mauryn pelan.
“Dia benar-benar ketakutan.”
Pria itu terisak, lututnya jatuh ke tanah.
“Mereka akan membunuh siapa pun yang gagal… aku kabur, tapi aku tahu mereka akan mencariku. Aku… aku hanya ingin hidup.”
Revan masih menatap tajam, tapi ia sedikit menurunkan pisaunya.
“Kalau kamu bukan bagian dari mereka lagi, buktikan. Kenapa kami harus mempercayaimu?”
Pria itu mendongak, mata merah basah.
“Karena aku tahu sesuatu… tentang ayahmu, Mauryn.”
Mauryn membeku.
“Apa?” suaranya tercekat.
Pria itu menarik napas panjang, tubuhnya gemetar.
“Dia… dia masih hidup. Mereka menyembunyikannya. Dia bukan sekadar buronan, dia… kunci dari semua ini.”
Revan langsung menatap Mauryn, lalu kembali menatap pria itu.
“Jangan bermain-main. Jika kamu berbohong, aku sendiri yang akan menghabisimu.”
“Aku tidak bohong!” pria itu teriak dengan sisa tenaga.
“Aku dengar sendiri saat pemimpin mereka bicara. Ayahmu masih ada di fasilitas lama, di utara. Mereka menunggu saat tepat untuk… memanfaatkan dia.”
Mauryn merasa kepalanya berputar. Jantungnya berdentum keras.
“Ayahku…” bisiknya.
Revan cepat menangkap tangannya, menahannya agar tetap stabil.
“Jangan terhanyut dulu. Kita harus pastikan kebenarannya.”
Pria itu merangkak mendekat.
“Aku bisa tunjukkan jalan. Tapi kamu harus janjikan satu hal jangan biarkan mereka menemukan aku lagi.”
Mauryn menatap Revan, seolah meminta jawaban. Revan menatap balik, rahangnya mengeras.
“Kita tidak tahu apakah ini jebakan.”
Mauryn menggenggam lengan Revan lebih erat.
“Aku tahu dia jujur. Aku bisa merasakannya. Revan, mungkin ini kesempatan kita.”
Ketegangan menggantung. Lalu Revan akhirnya mengembuskan napas panjang, menurunkan pisaunya.
“Baik. Tapi dengar,” ia menunjuk tajam ke arah pria itu,
“Sekali saja kamu mencoba mengkhianati kami, aku pastikan kamu menyesal.”
Pria itu mengangguk cepat, matanya penuh teror.
“Aku mengerti… aku hanya ingin selamat.”
Suasana sedikit mereda, tapi ketegangan tak benar-benar pergi. Mereka bertiga kemudian berjalan menyusuri jalan setapak, dengan Revan yang tetap waspada, tak pernah benar-benar menurunkan kewaspadaannya.
Mauryn berjalan di tengah, pikirannya berputar. Ayahnya… masih hidup. Sebuah harapan yang ia kira sudah lama mati kini kembali menyala, tapi bersama dengan itu datang ketakutan baru: apa yang sebenarnya dilakukan ayahnya hingga semua ini terjadi?
“Kamu baik-baik saja?” Revan menoleh sekilas padanya.
Mauryn tersenyum tipis, meski jelas matanya bergetar.
“Aku tidak tahu. Tapi aku harus tahu kebenarannya, Revan. Apapun itu.”
Revan hanya mengangguk, genggamannya singkat di tangan Mauryn memberi kekuatan.
“Kalau begitu, kita akan temukan jawabannya. Bersama.”
Dan malam itu, di bawah langit penuh bintang yang dingin, langkah mereka bertiga membawa cerita ke arah yang lebih dalam arah yang akan menyingkap kebenaran yang tak pernah Mauryn bayangkan sebelumnya.
Bersambung…
Terimakasih yang sudah support karya othor..
Jangan lupa Like, Komen dan Vote sebanyak-banyaknya yah..