NovelToon NovelToon
Terjebak Dalam Cinta Hitam

Terjebak Dalam Cinta Hitam

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Obsesi / Trauma masa lalu
Popularitas:816
Nilai: 5
Nama Author: Mila julia

Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .

Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19.Ciuman tak terduga

Langit petang memantulkan warna persik di kaca tinggi ballroom Grand Dharmawangsa, seolah menumpahkan kedamaian palsu ke dalam ruangan yang hiruk oleh desis gaun sutra dan percakapan bernada manis. Di depan cermin rias, aku—Aurora Putri Dirgantara—menatap pantulan diri: gaun putih gading, leher Sabrina berhias renda lembut, kerudung tipis jatuh hingga punggung. Riasan tipis membungkam lingkar gelap di bawah mata, tapi tak bisa menutupi kantung rindu pada kebebasan yang kutinggalkan di kilometer 19.

Kalea memasuki ruang rias membawa segelas air jeruk dingin. Ia berdiri di belakangku, jemarinya merapikan helai rambut yang lolos dari jepit kristal.

“Masih bisa bernapas?” bisiknya.

“Dengan tarikan pendek,” jawabku lirih. “Tiap hela menagih tanya: ‘Benarkah direction hidupku memilih ini?’”

Kalea tersenyum tipis. “Kalau ragu, ingat saja angka satu miliar di rekening panti esok pagi. Hidup kaum kecil butuh panggung besar ini, meski panggung dibayar air mata.”

Aku mengangguk pelan. “Luka yang diberi nama tujuan terasa lebih teratur.”

Pintu diketuk. Arya menjulurkan kepala. “Waktu sepuluh menit lagi.”

Kalea menatapku ikut tegang. “Kau siap?”

Lidahku kaku, tapi sebelum jawab, ibu tiri Tristan—Ny. Clarissa—melenggang masuk, gaun merah marun berkilau. Matanya meneliti gaunku seperti juri menilai barang lelang.

“Gaun bagus,” ujarnya datar. “Cukup sederhana agar tidak menyaingi keluarga Dirgantara, tapi cukup mahal agar tidak memalukan.”

Aku menahan senyum pahit. “Terima kasih menilai harga atas nama estetika, Ibu.”

Clarissa menekuk bibir, hendak menimpali, namun Arya batuk kecil. “Mohon maaf, tamu sudah duduk.”

Ia pergi, meninggalkan aroma parfum tajam. Aku menghela panjang—bau itu lebih menyengat dari kenanga di bouquet tangan. Kalea meremas bahuku lembut, lalu mundur saat pelayan memanggil pengiring pengantin.

Lorong menuju altar dibanjiri cahaya lampu gantung. Setiap langkah, renda gaun melambai seperti ombak pasrah di pantai kaca. Di ujung sana, Tristan berdiri—setelan hitam menegaskan bahunya, dasi abu keperakan nyaris sewarna irisku. Di belakangnya, panggung bunga putih dan banner bertuliskan Gala Charity for Mawar Putih—konsep kompromi kami.

Tristan menatapku sepanjang lorong. Bukan tatapan predator, bukan pemilik. Lebih mirip pria kehausan di tengah pesta: ingin menyentuh air, tapi takut membuat gelas pecah.

Kurasakan tamu berdiri. Suara kamera bagai hujan lembut. Melodi string trio mengalun lagu lama tentang pengharapan. Lututku gemetar, tapi tidak goyah—perisai batin terbuat dari janji: dua jam, tanpa paksaan.

Aku sampai di altar. Tristan menawarkan tangan; aku letakkan tanganku, telapak dingin bersentuh panasnya kulitnya. Kami menghadap pendeta sekuler yang akan memimpin ritual simbolis—sekadar bacaan berkat untuk gala filantropi.

Di kursi baris depan, Ny. Clarissa menegakkan punggung. Komisaris Pak Hartono menyiapkan ponsel untuk merekam momen sentimental. Kalea berdiri di sisi, bouquet hydrangea biru‐merah dalam pelukannya.

Pendeta memulai. Suaranya lembut, tapi setiap kata terdengar sekeras palu bagi jantungku.

“Apakah Saudara Tristan menerima Aurora, dalam suka duka…?”

Tristan menatap mataku—gelap pekat seperti langit tak berbintang, namun ada kilau gelisah di dasar hitam itu.

“Aku menerima, bukan untuk memenjarakan, melainkan untuk berjalan bersama, meski terkadang harus menahan langkah hingga kau siap,” katanya, menolak skrip formal, memilih kalimat sendiri.

Bisik tamu terdengar. Pendeta terkejut, tapi melanjutkan.

“Apakah Saudari Aurora menerima—?”

Aku menahan napas, jari meremas bouquet. “Aku menerima… dengan syarat luka tidak dibungkam, dan kebebasan tetap tumbuh, meski di tanah yang belum subur.”

Suara gasps kecil dari kursi tamu. Pendeta menatap kami ragu sebelum memberi restu singkat—ritual cium seharusnya menyusul. Aku menarik napas, menahan sosokku tetap tegak saat pendeta menyingkir.

Sorot lampu spot fokus ke kami. Aku mendengar kilat kamera bersiap menangkap adegan romantis yang tak akan terjadi—sesuai syarat. Tristan hendak melepaskan tanganku untuk memberi jarak, memenuhi aturan. Tapi di detik itu, sesuatu terjadi di dadaku: frasa ‘menahan langkah hingga kau siap’ menetes hangat menembus bekunya.

Bukan cinta tiba-tiba. Bukan lunasnya ingatan malam penyerahan. Hanya kesadaran bahwa lelaki ini, untuk pertama kalinya di panggung penuh saksi, tidak meminta apa‐apa, kecuali kesempatan menunggu.

Aku mengecilkan dunia menjadi satu inci antara kami. Dari kisi bulu matanya terpancar gemetar yang tak biasa. Jari‐jari kami masih saling genggam. Dan sebelum logika menahanku, aku condongkan wajah.

Ciuman itu tidak panjang. Hanya kelebat bibir ke bibir, selembut sayap serangga yang singgah. Tidak ada kamera cukup cepat menangkap subtansi perasaan, tapi para tamu melihat kilau tak terduga: pengantin perempuan yang memegang kendali, bukan dinosaurus patriarki.

Tristan terkejut—aku rasakan udara tersedot dari paru-parunya. Matanya membesar sesaat, lalu perlahan terpejam seakan takut kesenangan itu fatamorgana. Ciuman itu terputus ketika aku menarik diri. Hening menyambar ballroom—lalu tepuk tangan meletup layaknya kembang api yang ragu.

Kupalingkan tubuh ke khalayak, menunduk sekilas. Dalam denting aplaud, kulirik Kalea. Ia menutup mulut, mata berkaca—terkejut, tapi bangga.

Pendeta mengumumkan, “Anda baru menyaksikan simbol kasih sejati…,” suara latarnya tenggelam di luapan musik orkestra.

Resepsi bergulir bak film mahal: pelayan bertray canapés, huckleberry hilir mudik, tawa basa‐basi menguap di chandelier. Kami berjalan dari meja ke meja; Tristan memperkenalkan aku kepada direksi, dubes, influencer. Aku melengkungkan senyum yang dipelajari—tidak palsu, tapi belum murni.

Di setiap jabat tangan, kutatap mata tamu—mencari secuil empati. Sebagian ada. Sebagian hanya kalkulasi pasar. Yang penting, satu juta rupiah per meja mengalir ke Panti Mawar Putih.

Saat orkestra istirahat, Tristan mengundangku ke balkon VIP. Angin malam menyibak veil, menari di lampu kota jauh di bawah.

“Kenapa kau menciumku?” suaranya hampir dinaungi tak percaya.

Aku memegang pagar besi bercahaya. “Karena untuk pertama kali, aku ingin menandai panggung ini dengan pilihanku sendiri, sebelum kamera mendikte versi mereka.”

Tristan berdiri sejauh dua senti, meniru batas yang kami sepakati di perpustakaan. “Aku takut itu hanya bagian dari sandiwara yang kau benci.”

“Bagian dari sandiwara, ya,” aku mengakui, “tapi naskah barusan kutulis sendiri.”

Sekilas bayangan haru melewati wajahnya. “Kau tahu, waktu bibirmu menyentuhku, rasanya seperti lampu sorot padam, hanya ada dua orang.”

Aku tersenyum tipis. “Lampu padam segera. Dua jam hampir habis.”

Tristan melihat arlojinya. “Empat puluh menit lagi. Kita gunakan untuk ngobrol saja. Tanpa tamu.”

Aku mengangguk. Kami menyandarkan sisi tubuh ke pagar, jarak dua senti di antara lengan masih sakral.

“Apakah kau menyesal?” tanyanya tiba‐tiba.

“Menyesal apa?”

“Menciumku sebelum luka sembuh.”

Aku menggeleng. “Sebuah luka kadang butuh disentuh lembut agar rasa kebas tak berubah jadi mati rasa. Tadi, sentuhan itu mengingatkan bahwa bibirku masih mampu memilih.”

Angin membawa aroma mawar putih, bunga center‐piece di ballroom. Kami diam, membiarkan lagu akustik kembali mengalun dari dalam.

$$$$

Usai resepsi, jam dinding suite hotel menandai pukul hampir sebelas. Gaun telah berganti kimono satin, tetapi corsage hydrangea masih kugenggam—biru bercampur merah pudar, warna tanah belum mutlak. Cermin besar memantul wajahku, sisa riasan memudar.

Tristan mengantar sampai depan pintu kamar. Ia menunduk, melepaskan dasi. “Aku di kamar sebelah. Kalau butuh apa pun—ketuk sekali.”

Aku menahan daun pintu. “Kalau ketuk dua kali?”

“Dua kali artinya butuh kopi tanpa bicara,” ia tersenyum lelah.

Tiga? tanyaku lewat alis terangkat.

“Tiga berarti aku boleh mendekapmu—bukan malam ini, mungkin suatu hari.”

Aku mengangguk. Tangan kami hampir bersentuhan; dua senti tetap sakral. Dan saat pintu kututup, kudengar langkahnya mundur perlahan.

Sendirian, aku duduk di tepi ranjang, bouquet hydrangea di pangkuan. Di fikiran, ciuman tadi menempel lembut—tak mencabik, tak membakar. Hanya menandai bahwa luka boleh dipeluk asal tak ditekan.

Kulihat bayangan di jendela: perempuan dalam kimono satin, memegang bunga setengah layu, mata masih berkabut tapi bukan kosong. Bibir yang tadi berani mencium demi kehendak sendiri, kini membentuk lengkung kecil—bukan senyuman penuh, tapi janji bahwa senyum sepenuhnya mungkin tumbuh.

Dan di tengah malam Jakarta yang akhirnya hening, aku berbisik pada diri sendiri: mungkin cinta lahir bukan pada awal ciuman, tapi pada keberanian menuliskan naskah di tengah panggung yang tak pernah kita pilih.

.

.

.

Bersambung

1
Kutipan Halu
wkwk menyala ngk tuhhh 😋😋
fjshn
ngapain takut rora? kan Tristan kan baikkk
fjshn
tapi sama sama perintah dongg wkwk tapi lebih mendalami banget
fjshn
sejauh ini baguss banget kak, and then Aurora sama lea gadis yang hebat aku sukaaa semangat buat kakak author
Kutipan Halu: semangat jugaa yaa buat kamuu, mari teru perjuangkan kebahagian hobi kehaluan ini 😂😂
total 1 replies
fjshn
datang ke rumah aku aja sini biar aku punya kakak jugaa
Kutipan Halu: autornya ajaaa ngk sih yg di bawa pulang wkwk😋😋
total 1 replies
fjshn
bjir keren banget dia bisa tauu
fjshn
woww bisa gitu yaa
fjshn
wadihh keren keren pencuri handal
fjshn
hah? sayang? masa mereka pacaran?
fjshn
alam pun merestui perjanjian kalian keren kerennn
fjshn
aduh leaa kasih tapi dia mandiriii
Kutipan Halu: diaaa punya susi kecantikan dan sikap manis tersendirii yaa kann 😂😇
total 1 replies
fjshn
keren nih Aurora, auranya juga menyalaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!