Banxue tidak pernah meminta kekuatan—apalagi anugerah terkutuk berupa Tubuh Surgawi—kekuatan kuno yang diburu oleh sekte-sekte suci dan klan iblis sekaligus. Ketika masa lalunya dihancurkan oleh pengkhianatan dan masa depannya terancam oleh rahasia, ia memilih jalan sunyi dan pedang.
Dalam pelarian, dikelilingi oleh teman-teman yang tak sepenuhnya bisa ia percaya, Banxue memasuki Sekte Pedang Azura… hanya untuk menyadari bahwa kepercayaan, sekali retak, bisa berubah menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang manapun.
Di tengah ujian mematikan, perasaan yang tak diucap, dan badai takdir yang semakin mendekat, Banxue harus memilih: berjuang sendirian—atau membiarkan seseorang cukup dekat untuk mengkhianatinya lagi?
Di dunia di mana kekuatan menentukan nilai diri, sejauh apa ia akan melangkah untuk merebut takdirnya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimlauyun45, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tugas sekte pedang Azura
Kamar Banxue diterangi hanya oleh cahaya lilin kecil di meja kayu. Tirai tipis berkibar perlahan ditiup angin malam, membawa aroma bambu dan tanah basah dari luar. Di luar terdengar suara jangkrik samar, namun di dalam kamar—hening mencekam.
Banxue duduk bersandar di dinding, rambut panjangnya terurai menutupi sebagian wajah. Matanya memandangi dinding kosong di depannya, tapi pikirannya jauh… tak terikat ruang.
Bayangan hutan bambu tadi masih membekas. Suara Jingyan, senyum sengaknya, tatapan matanya yang… entah sejak kapan terasa menembus pertahanan Banxue.
Ia mengepalkan tangan.
Kenapa kau... kenapa sekarang mulai masuk ke pikiranku seperti ini?
Tubuh surgawi. Status murid yang diawasi. Sekte yang makin mencurigainya. Teman-teman yang mulai retak satu sama lain.
Dan di tengah semua itu—ada Jingyan. Seorang mata-mata. Seorang klan Ji. Seharusnya musuh. Tapi…
"Dia... menyentuh bagian dari diriku yang paling aku sembunyikan," bisiknya lirih.
Banxue berdiri, berjalan ke cermin kecil yang tergantung di samping tempat tidur. Ia menatap pantulan dirinya. Mata yang tegas, wajah yang tampak dingin… tapi dalam sorotnya, ada sesuatu yang rapuh.
"Aku tidak boleh percaya," gumamnya. "Aku tidak boleh... tapi kenapa saat aku bicara dengannya, rasanya seperti... pulang?"
Tangannya meraba liontin kecil yang disematkan ibunya dulu, satu-satunya warisan dari sekte yang telah hancur. Di dalamnya tersembunyi lambang kuno—simbol tubuh surgawi.
"Aku ditakdirkan untuk berjalan sendiri. Tapi... kenapa kali ini aku ingin ada seseorang yang tinggal?"
Ia mengingat cara Jingyan menatapnya. Bukan dengan kasihan. Bukan dengan kekaguman berlebihan. Tapi dengan... pemahaman. Seolah Jingyan tahu rasanya dijadikan alat, tahu rasanya diawasi, tahu rasanya kehilangan arah.
Apa mungkin... aku bisa percaya padanya?
Tapi suara lain di hatinya membisikkan ancaman.
Bagaimana jika semua itu hanya akting? Bagaimana jika dia mendekat hanya untuk menjatuhkanmu dari dalam? Bagaimana jika... dia seperti semua yang lain?
Air mata nyaris jatuh, namun Banxue menahannya. Ia bukan gadis rapuh. Ia sudah belajar menahan sakit tanpa mengeluh sejak kecil. Tapi luka yang ini... berbeda.
Ia kembali ke tempat tidur, menarik selimut sampai ke dada, namun matanya tak tertutup.
Di benaknya, ia mengingat satu kalimat yang diucapkan Jingyan hari itu:
"Aku ingin membelamu bukan karena perintah... tapi karena pilihan."
Dan untuk pertama kalinya sejak sektenya hancur… Banxue berharap, sepenuh hati, bahwa kalimat itu bukan dusta.
Esok Harinya...
Di balai utama, lima murid berdiri di hadapan para tetua sekte. Banxue di tengah, diapit oleh Fengyu dan Linrue di satu sisi, Wayne dan Jingyan di sisi lain. Kelima mereka berdiri tegak, namun aura tegang tak bisa disembunyikan.
Tetua Mo melangkah maju. Wajahnya serius, suara beratnya bergema di aula batu yang luas.
"Kalian berlima telah menunjukkan kemampuan melebihi murid biasa. Namun hari ini, Sekte tidak memanggil kalian untuk pujian." Ia memandang mereka satu per satu. "Kita punya masalah yang lebih besar."
Sebuah gulungan peta terbuka di atas meja batu. Tetua Lang menunjuk ke arah bagian barat daya peta.
"Desa Suyin. Perbatasan kabut bambu. Sudah dua hari ini, laporan dari para penjaga spiritual di sana menunjukkan adanya aktivitas qi yang menyimpang. Sejenis kabut hitam. Dan… mantra pemikat jiwa."
Banxue menegakkan kepala. "Kultus Jiwa Terbalik?"
Tetua Hua mengangguk. "Kemungkinan besar. Mereka sudah lama mencoba menembus batas sekte dari sisi lemah. Dan sekarang, mereka mulai menyentuh kehidupan rakyat biasa."
Tetua Qian menambahkan, "Kami tidak bisa mengirim pasukan besar. Jika kita terlihat menyerang secara langsung, mereka akan menghilang ke dalam bayangan, seperti biasa. Itu sebabnya... misi ini dipercayakan pada kalian."
Linrue terlihat terkejut. "Kami berlima… saja?"
Wayne melangkah maju. "Kami bukan pengecut. Tapi apa tak ada tetua yang mendampingi?"
Tetua Mo menatapnya. "Kami akan mengawasi dari jauh. Tapi kepercayaan penuh kami jatuh pada kalian."
Fengyu menyipitkan mata. "Dan jika kami gagal?"
"Desa itu bisa jatuh. Dan Sekte akan dianggap lemah," jawab Tetua Lang tanpa ragu.
Suasana mendadak sunyi. Angin dari jendela batu menyapu ujung jubah para tetua dan murid.
Banxue maju setengah langkah. Suaranya pelan, tapi tegas. "Kami akan berangkat. Malam ini juga."
Para tetua saling pandang. Lalu satu per satu mereka mengangguk.
"Kami sudah menyiapkan gulungan pelindung, jimat anti hipnosis, dan artefak deteksi aura," ujar Tetua Hua. "Tapi kalian harus tetap waspada. Kultus Jiwa Terbalik… tidak bermain bersih."
Jingyan yang sejak tadi diam, hanya menatap Banxue. Dia benar-benar berdiri paling depan… bahkan tanpa diminta.
Wayne melirik Jingyan sejenak, lalu berkata, "Kalau kita berangkat, kita berangkat sebagai satu kesatuan. Tidak ada yang tertinggal."
Fengyu menambahkan, "Tidak ada rahasia juga. Siapa pun yang menyimpan sesuatu… lebih baik mengaku sekarang."
Semua mata perlahan melirik Jingyan.
Tapi Jingyan hanya tersenyum kecil. "Aku menyimpan banyak rahasia. Tapi untuk misi ini—aku akan jadi orang pertama yang berdiri di garis depan jika dibutuhkan."
Banxue tak mengatakan apa-apa. Tapi ia mengangguk perlahan, seolah memberi kepercayaan kecil yang tak diucapkan.
Tetua Mo menutup pembicaraan. "Kalian punya waktu satu jam. Kumpulkan apa yang kalian butuhkan. Di luar balai ini, dunia tidak peduli apakah kalian murid atau tidak. Yang mereka butuhkan… adalah pelindung."
Kelima murid membungkuk serempak. Mereka bukan lagi sekadar murid. Hari itu, mereka ditetapkan sebagai utusan Sekte Pedang Azura—dengan misi pertama mereka: menghadapi kegelapan yang merayap dari bayangan, dan melindungi jiwa-jiwa yang tak mampu melawan.