NovelToon NovelToon
If I Life Again

If I Life Again

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / CEO / Time Travel / Fantasi Wanita
Popularitas:851
Nilai: 5
Nama Author: Ws. Glo

Apakah kamu pernah mengalami hal terburuk hingga membuatmu ingin sekali memutar-balik waktu? Jika kamu diberikan kesempatan kedua untuk hidup kembali di masa lalu setelah sempat di sapa oleh maut, apa yang akan kamu lakukan terlebih dahulu?

Wislay Antika sangat mengidolakan Gustro anggota boy band terkenal di negaranya, bernama BLUE. Moment dimana ia akhirnya bisa datang ke konser idolanya tersebut setelah mati-matian menabung, ternyata menjadi hari yang paling membuatnya hancur.

Wislay mendapat kabar bahwa ibunya yang berada di kampung halaman, tiba-tiba meninggal dunia. Sementara di hari yang sama, konser BLUE mendadak dibatalkan karena Gustro mengalami kecelakaan tragis di perjalanan saat menuju tempat konser dilaksanakan, hingga ia pun meregang nyawanya!

Wislay yang dihantam bertubi-tubi oleh kabar mencengangkan itu pun, memilih untuk mengakhiri hidup dengan melompat dari gedung. Namun yang terjadi justru diluar dugaannya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ws. Glo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

IILA 06

Di dalam kamarnya yang minimalis namun terkesan mewah, Gustro tampak terbaring di atas ranjang dengan tangan menyilang di dahi. Lampu gantung redup menyorot ruangan dengan warna kuning temaram, dan hanya suara detik jam dinding yang mengisi keheningan malam itu.

Pikirannya tidak sedang tenang.

Sosok gadis bermata sipit yang baru dikenalnya beberapa waktu lalu, dengan suara yang gemetar dan wajah yang tulus namun dipenuhi air mata berkali-kali muncul dalam benaknya. Wislay. Gadis itu, yang secara tiba-tiba meneriakinya dengan permintaan yang sangat ganjil.

Flashback.

"TUNGGU!"

Suara itu keras dan mendesak, membuat Gustro yang baru saja berjalan pergi, menolehkan kepalanya.

Di belakangnya, Wislay berlari kecil sambil terengah-engah. Napasnya berat. Wajahnya memerah. Ia menghentikan langkahnya beberapa meter dari Gustro.

"Berikan aku nomor teleponmu!" katanya dengan mata berkaca-kaca.

Alis Gustro berkerut. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap Wislay dengan pandangan bertanya.

"Kenapa?" tanyanya datar.

Wislay menelan ludah. Ia menunjuk ke arah coffee shop kecil yang kebetulan ada di area sekitaran situ. "Bolehkah kita bicara sebentar di sana? Aku janji nggak lama..."

Gustro sempat diam. Namun akhirnya mengangguk tanpa ekspresi. Ia mengikuti Wislay masuk ke coffee shop itu.

Di Dalam Coffee Shop.

Mereka duduk di pojok ruangan yang agak sepi. Pelayan mengantarkan dua minuman—kopi hitam untuk Gustro, Thai Tea buat Wislay.

"Aku heran, kenapa kau tiba-tiba minta nomor telepon?" tanya Gustro, ketus dan tanpa basa-basi. Suaranya dingin. Ekspresi wajahnya tidak bersahabat. "Segitunya kau terobsesi kepadaku?"

Pertanyaan itu seperti tamparan. Wislay sedikit terdiam, jantungnya nyaris berhenti. Tapi ia mencoba tersenyum meski hatinya berdesir.

"Bukan... bukan karena itu," katanya pelan namun serius. "Aku tahu ini kedengarannya aneh, tapi... aku minta nomor kamu karena aku ingin melindungimu."

Gustro menaikkan sebelah alis. "Melindungiku?"

"Ya," Wislay menunduk sebentar, lalu menatap mata Gustro dalam-dalam. "Sebenarnya... itu semua karena aku sudah bermimpi buruk tentang kamu. Mimpi yang sama, berulang-ulang."

Gustro bersandar ke kursi. "Maksudmu? Kau mimpi yang bagaimana?"

"Aku mimpi kamu kecelakaan," jawab Wislay, suaranya bergetar. "Dan kamu... meninggal."

Gustro tidak menyahut. Tatapannya tidak berubah. Tapi pikirannya bergerak liar.

"Aku pernah kehilangan seseorang di masa lalu karena aku mengabaikan mimpiku sendiri," lanjut Wislay. "Seseorang yang sangat berharga bagiku... aku bermimpi dia jatuh sakit dan meninggal. Tapi aku pikir itu hanya mimpi. Lalu... dia benar-benar pergi."

"Dan kau pikir mimpi tentang aku juga akan jadi kenyataan?"

Wislay mengangguk. "Aku nggak tahu apakah kamu percaya atau tidak, tapi... aku nggak bisa diam saja. Setidaknya, ini adalah salah satu caraku untuk menebus dosa-dosaku di masa lalu."

"Menebus dosa? Di masa lalu pula. Gadis yang aneh."

Hening. Gustro menatap kopi di depannya. Lalu kembali menatap Wislay.

Beberapa detik kemudian, ia menarik ponselnya dari saku jaket. Ia menulis sesuatu di kertas kecil dan menyerahkannya pada Wislay.

"Tapi dengan satu syarat," katanya tegas. "Jangan pernah sebar nomor ini ke siapapun. Termasuk ke temanmu, keluargamu, siapapun."

Wislay mengangguk cepat. "Aku janji. Seribu kali pun aku janji."

Gustro menyipitkan mata. "Lalu, jika memang ada kemungkinan kalau aku akan mati... dengan cara apa kau mau melindungiku dari kematian itu?"

Pertanyaan itu membuat Wislay menelan ludah. Tapi kali ini, sorot matanya sangat yakin.

"Dengan cara apapun. Aku nggak tahu bagaimana caranya sekarang, tapi aku akan tetap ada di sekitarmu. Aku akan cari tahu tentang apa saja yang bisa mengancam hidupmu. Aku nggak akan diam. Aku bakal melindungi kamu... apapun resikonya."

Ucapan itu begitu tulus, membuat Gustro sempat terdiam. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Tapi jauh di dalam dirinya, ada getaran aneh. Ada kehangatan yang tidak biasa. Tetapi ia belum menyadari perasaan apa demikian.

Ia malah menyeringai dan berspekulasi, "sepertinya gadis ini benar-benar gila. Namun biarlah. Seenggaknya ada orang yang rela berkorban demiku. Jadi aku tidak boleh menyiakan-nyiakan kebaikan tersebut."

"Kenapa kau... sepeduli itu terhadapku?" tanyanya memastikan.

Wislay tersenyum. Kali ini senyumnya bukan senyum pengagum. Itu adalah senyum orang yang traumatis karena pernah kehilangan.

"Sebab kamu adalah seseorang yang sangat berharga, Gustro."

Kembali ke Kamar Gustro.

Gustro membuka mata. Ia menatap langit-langit kamar, lalu menoleh ke nakas di samping ranjang. Di sana, secarik kertas berisi surat Wislay yang diberikan berbarengan dengan susu kotak rasa coklat dan bertuliskan kata-kata motivasi, terlipat rapi. Ia mengulurkan tangan, memegangnya.

"Berharga, ya?" gumamnya sambil tersenyum samar. "Gadis aneh..."

Ia lantas menempelkan kertas yang usang itu ke dinding menggunakan isolatip, lalu memejamkan mata.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya... Gustro mencoba percaya bahwa di luar sana, ada seseorang yang sungguh-sungguh ingin menjaga dan melindunginya. Bukan karena ketampanan ataupun popularitas. Tapi karena... dia dianggap berharga.

Dan itu... rasanya sangat baru baginya.

...****************...

...****************...

Malam itu, saat Wislay baru saja pulang kerja dan berjalan menyusuri lorong kost, ia menyeret langkah lelah menuju kamarnya. Namun pandangannya tiba-tiba teralihkan pada satu kamar di pojok lorong, kamar kosong yang biasanya tidak berpenghuni.

Seorang pemuda tampak sibuk memasukkan koper besar ke dalam kamar tersebut. Ia mengenakan hoodie hitam dengan kupluk yang menutupi hampir seluruh wajahnya.

Wislay berhenti berjalan. Dahinya mengernyit.

"Itu kamar kosong, kan?" batinnya.

Namun yang lebih mengusik pikirannya adalah bahwa kost ini... khusus wanita. Lalu kenapa ada pria di sana?

Tak ingin menyimpan rasa penasaran terlalu lama, ia buru-buru mengetuk pintu kamar Rani yang berada tepat di seberangnya.

Rani yang baru selesai mandi dan masih mengenakan handuk di kepala, membuka pintu.

"Kenapa, Lay?" tanyanya dengan alis terangkat.

"Ada cowok masuk kamar kosong ujung sana," bisik Wislay sambil menunjuk.

Rani mengintip dari balik pintu dan melihat pemuda ber-hoodie itu baru saja meletakkan tas ranselnya. "Lah? Ini kan kost khusus cewek ya? Kok bisa?"

"Itu juga yang bikin aku bingung," sahut Wislay cepat. "Kita tanya ke Ibu Kost aja besok, ya? Siapa tahu dia nyasar atau mungkin... nyamar?"

Rani tertawa kecil. "Nyamar jadi cewek? Ya kali... Tapi oke, kita tanya besok aja. Jangan bikin gosip malam-malam. Aku mau nonton dulu."

"Oke, selamat nonton."

Tepat saat Wislay hendak membalikkan badan, pemuda ber-hoodie itu menatapnya. Bibirnya tersungging senyum tipis. Sebentar. Tapi cukup untuk membuat Wislay terlonjak kaget.

"Kenapa?" tanya Rani.

"Nggak... nggak apa-apa. Sampai ketemu besok, ya."

Wislay buru-buru masuk ke kamarnya, menutup pintu, dan menyandarkan tubuhnya ke belakang pintu. Dadanya berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Kenapa dia senyum seperti itu? Apa aku mengenalnya? Atau hanya perasaanku saja?"

Ia tak tahu. Tapi senyum itu... terasa familiar dan misterius. Membuatnya sulit untuk tidak memikirkan siapa sebenarnya penghuni baru kamar pojok itu.

Dan pada malam yang dingin tersebut, Wislay masih terduduk di atas tempat tidurnya dengan tubuh kaku. Pikirannya melayang-layang, masih dihantui oleh sesosok pemuda misterius yang berada di kamar pojok kost itu. Dadanya berdegup kencang. Jelas sekali, ia tidak tenang.

Namun ketegangan itu mendadak terpecah ketika ponselnya berdering. Layar ponsel menampilkan nama: Mamaku.

Dengan buru-buru dan sedikit gugup, Wislay menjawab panggilan itu. Suara sang ibu terdengar hangat di telinganya, membuat hatinya sedikit tenang. Namun hanya untuk sejenak.

"Lay... Mama mau bilang sesuatu sama kamu. Mama yakin ini adalah jalan terbaik untuk kamu dan adik-adikmu," ucap ibunya ragu-ragu dari seberang.

"Iya Ma, ngomong aja... Ada apa?"

"Mama pengen ikut arisan, Nak. Bu Atun ngajakin, katanya putaran pertama bisa cair besar. Bisa bantu-bantu bayar uang sekolah Adi dan Joli juga, serta kebutuhan dapur."

Sekujur tubuh Wislay langsung kaku. Pandangannya kosong. Nafasnya seolah tertahan.

"A... arisan?" Wislay tergagap, tubuhnya gemetar. Air mata menggenang begitu cepat di pelupuk mata.

Ia terdiam beberapa saat. Namun detik berikutnya, suaranya pecah.

"Jangan Ma! Tolong jangan! Wislay mohon... jangan ikut arisan!" serunya sambil menangis tersedu-sedu.

"Wislay... kenapa, Nak? Mama pikir ini bisa membantu."

"Nggak Ma! Nggak sama sekali! Itu semua hanya penolong sementara! Sisanya... sisanya bagaikan neraka, Ma! Wislay mohon... Mama jangan terlibat arisan, apalagi berhutang!" suara Wislay meninggi, penuh kepanikan dan duka.

Air matanya jatuh tanpa henti. Bayangan kehidupan masa lalunya terulang lagi di benaknya. Dimana sang ibu harus menanggung hutang akibat arisan bodong yang dibawakan tetangga. Hingga tekanan demi tekanan menghantam ibunya... dan berakhir pada kematian.

"Aku mohon dengar Wislay kali ini ya... Jangan, Ma. Jangan ikut arisan. Itu bukan solusi. Itu jebakan." Ia menunduk, menggenggam ponselnya erat-erat seakan menggenggam tangan ibunya.

Di seberang sana, suara ibunya mulai berubah lirih.

"Tapi Mama bingung, Lay... Kalau nggak arisan, dari mana lagi Ibu dapat uang tambahan? Gaji bapakmu tidak seberapa, akhir-akhir ini sering hujan jadi susah untuk menderes karet. Belum lagi uang sekolah adik-adikmu. Apalagi kamu sebentar lagi bakal kuliah. Mama takut uang yang sudah disiapkan buat kuliahmu, kepake begitu saja. Mama... Mama juga nggak tega kalau kamu harus kerja keras sendiri..."

Wislay mengusap wajahnya, berusaha menahan isak.

"Nggak usah pikirin aku, Ma. Aku janji, aku akan bayar kuliahku sendiri. Dengan uang hasil kerja keras aku. Nggak sepeserpun minta dari Mama dan Bapak. Demi Tuhan, aku janji."

"Tapi..."

"Dan satu lagi..." Wislay menyela dengan nada lebih tegas. "Untuk penghasilan tambahan, Mama cukup fokus sama ladang. Nanti hasilnya simpan, jangan diputar buat arisan atau semacamnya. Hutang-hutang yang ada dilunasi pelan-pelan. Kalau bisa, tabung sekecil apapun itu. Tetap simpan uang yang disiapkan untuk pendaftaran kuliahku. Jangan digunakan ke hal-hal yang tidak perlu. Aku akan pikirkan caranya supaya uang yang ada bisa jadi lebih banyak. Aku akan kabari Mama nanti harus ngapain. Tapi jangan pernah lagi... jangan pernah lagi ikut arisan atau ngutang sama siapapun, ya Ma?"

Hening beberapa saat.

Suara ibunya terdengar berat.

"Baik, Nak... Mama percaya sama kamu... Maaf ya, mama sempat nggak berpikir panjang."

Wislay tersenyum di tengah air matanya. "Terima kasih, Mama... Terima kasih sudah percaya. Aku sayang Mama."

"Aku nggak mau kehilangan Mama lagi..."

"Mama juga sayang kamu, Lay. Kamu anak baik... Anak yang kuat."

Percakapan mereka berakhir dalam keheningan yang emosional. Wislay menatap langit-langit kamar kost yang sempit itu, lalu menghela napas panjang. Di kehidupan kali ini... ia tidak akan membiarkan ibunya jatuh dalam perangkap yang sama. Tidak akan.

Ia menghapus air matanya, lalu membuka buku catatannya. Menambahkan satu poin lagi di halaman yang sama tempat ia menuliskan misi-misi hidup barunya:

9. Melindungi ibu dari jebakan sosial dan tekanan ekonomi.

Ia menekankan tulisan itu dengan garis biru dua kali. Dan bersumpah dalam hati... bahwa kali ini, ia akan menang.

~

1
Anonymous
ceritanya keren ih .....bagus/Bye-Bye/
Y A D O N G 🐳: Makasih lohh🥰
total 1 replies
😘cha cchy 💞
kak visual x dong juga. ..👉👈😩
😘cha cchy 💞
ini tentang lizkook kan...??
😘cha cchy 💞
kak kalo bisa ada fotonya kak biar gampang ber imajinasi...😁
😘cha cchy 💞: minta foto visual x juga nanti kak..😁🙏🙏
harus lizkook ya KK..😅😃
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!