Pernikahan Briela dan Hadwin bukanlah hubungan yang didasari oleh perasaan cinta—
Sebuah kontrak perjanjian pernikahan terpaksa Briela tanda tangani demi kelangsungan nasib perusahaannya. Briela yang dingin dan ambisius hanya memikirkan keuntungan dari balik pernikahannya. Sedangkan Hadwin berpikir, mungkin saja ini kesempatan baginya untuk bisa bersanding dengan wanita yang sejak dulu menggetarkan hatinya.
Pernikahan yang disangka akan semulus isi kontraknya, ternyata tidak semulus itu. Banyak hal terjadi di dalamnya, mulai dari ketulusan Hadwin yang lambat laun menyentil hati Briela sampai rintangan-rintangan kecil dan besar terjadi silih berganti.
Akankah benar-benar ada cinta dari pernikahan yang dipaksakan? Ataukah semuanya hanya akan tetap menjadi sebuah kontrak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cha Aiyyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PEMBELAAN HADWIN
"Apa kau hanya akan diam saja? Coba katakan sesuatu!" Nyonya Martha selaku nyonya rumah di kediaman Lewis menatap Briela. Kilat matanya belum berubah.
Briela menunduk, kedua tangannya saling bertaut. Wanita itu berpikir jika sandiwaranya bersama Hadwin mungkin akan berakhir hari ini, Briela menguatkan diri untuk mengungkap semuanya. Rasa bersalahnya pada ibu Hadwin yang selalu bersikap baik dan lembut pada Briela membuatnya ragu untuk segera mengungkapnya. Setidaknya Briela butuh menata kalimat dan mempersiapkan diri untuk menerima konsekuensinya.
Briela membuang napas panjangnya melalui mulut, ia siap untuk berbicara. Namun belum sempat Briela mengucapkan apapun terdengar suara Hadwin dari belakangnya. Pria itu membawa tubuh tegapnya pada kerumunan yang menjadikan Briela sebagai pusat perhatian.
Hadwin melingkarkan tangan kanannya di pinggang ramping Briela, menarik tubuh Briela mendekat kepadanya. Briela mendongak, pandangan matanya bertemu dengan manik biru milik Hadwin. Warna biru terangnya sebiru lautan, memberi kesan yang menenangkan. Briela seketika merasa lega dan tenang.
"Ada apa Ibu? Apakah ada hal yang membuatmu kesal sehingga perlu menaikkan suaramu?" Deep voice Hadwin juga pandangan dingin dan yang sengaja ia tunjukkan, membuat suasana terasa mencekam.
"Tentu saja ada yang membuatku kesal." Nyonya Martha bersedekap dada. Entah disengaja atau tidak, ia tidak menjelaskan inti dari permasalahan yang sedang terjadi.
"Tidak adakah disini yang mau menjelaskan situasinya?" Hadwin menggertakkan giginya, sepertinya pria itu tahu apa masalahnya dan hanya memastikan saja.
Semua yang berdiri di sana terlihat ketakutan. Hanya nyonya Martha yang tampaknya masih menahan kesal. Briela sendiri lebih memilih untuk diam, wanita itu perlu menilai situasi terlebih dahulu.
Salah satu istri dari sepupu Hadwin angkat bicara. "Kata Anne, Briela hanya menikahi hartamu. Kami tadi sedang mengonfirmasi hal itu. Bukan begitu Bibi Martha?"
Wanita yang di sebut namanya tampak kaget, Hadwin mengerutkan kening. Ia tahu betul hal yang membuat ibunya sampai meninggikan suara. Ibunya bukanlah wanita yang akan mudah meninggikan suara, apalagi hanya tentang rumor yang belum pasti seperti itu.
Briela sendiri kebingungan mendapati ekspresi yang ditunjukkan nyonya Martha. Briela bergantian menatap Hadwin dan ibunya, wanita itu mencoba mencari jawaban pasti akan kebingungannya.
Hadwin menatap Anne dengan dingin, sudut matanya meruncing seperti jarum jahit. "Benar begitu, Anne?"
Anne menggigit bibir bawahnya. "Um, y-ya Kakak. Istrimu memang hanya menikahi hartamu. Dia tidak benar-benar mencintaimu Kakak Hadwin. Jangan tertipu olehnya!"
"Kau tahu dari mana jika istriku hanya menikahi hartaku?" Tatapan Hadwin sedingin Kutub Utara.
Anne bergerak gelisah, ia menoleh ke sana ke mari kembali mencari dukungan. Namun semuanya tampak membuang muka. Semua orang tahu jika Hadwin tidak pernah menoleransi kebohongan.
Anne semakin gelisah, ia belum menyiapkan jawaban apapun. Karena selama ini ia hanya menilai Briela sesuai perspektifnya saja, tanpa mengonfirmasi kebenaran yang ada.
"U-um s-soal itu aku melihatnya sendiri, tempo hari dia bersama seorang temannya berbelanja barang-barang mewah di pusat perbelanjaan. Dan jumlahnya sangat banyak, Kak."
Hadwin mendecih, lalu tersenyum meremehkan. Jika ada kontes memasang wajah menyebalkan, tentu Hadwin yang akan jadi pemenangnya.
"Kau pikir aku tidak tahu, hal itu?"
"Bahkan di saat Kakak Hadwin tahu pun dia— "
"Dia apa? Itu hanya perihal belanja, dan itu sepele, Anne. Uangku banyak." Hadwin tersenyum meremehkan. "Itu bukan suatu alasan yang bisa membuatmu untuk menilai istriku." Hadwin menatap lembut wajah Briela lalu kembali menunjukkan ekspresi dingin pada Anne.
"Tapi Kakak— "
"Tidak ada kata tapi. Siapapun kalian aku tidak akan menoleransi jika dikemudian hari aku mendengar kalimat serupa. Kalian tidak punya hak apapun untuk menilai istriku."
Semua orang saling bertukar pandang, seperti ingin melakukan protes namun tidak ada seorangpun yang berani membuka mulut.
Anne semakin gugup, ia berkeringat dingin. Briela melihat itu, hati kecilnya merasa iba.
"Sudahlah! Mereka tetap saudaramu, jangan terlalu mengintimidasi mereka!" ucap Briela.
"Baiklah sayang, aku akan menurutimu," sahut Hadwin dengan nada yang sangat lembut. "Istriku memang selalu baik hati," Hadwin mengecup pipi Briela.
Mata Briela membelalak, wanita itu merasa syok dengan apa yang sudah Hadwin lakukan padanya. Briela menatap Hadwin tanpa berkedip, sepertinya ia berniat protes. Ya— Briela harus protes nanti. Panggilan sayang dan bahkan kontak fisik yang sedikit berlebihan. Briela ingin protes tentang itu semua.
Hadwin tidak memberi ruang bagi Briela untuk protes tiba-tiba ia membalik tubuh Briela dan memeluknya dari belakang. Menyandarkan kepalanya di ceruk leher Briela. Aroma sakura dari sabun yang Briela pakai menyeruak masuk ke dalam indera penciuman Hadwin.
Semua orang yang berada di sekitar mereka satu per satu mulai meninggalkan tempat itu, menyisakan mereka berdua juga nyonya Martha yang menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan putra semata wayangnya.
Posisi Briela berhadapan tepat dengan nyonya Martha, Briela dapat dengan jelas melihat apa yang sedang nyonya Martha lakukan.
"Lepaskan aku! Kau tidak malu, ibumu melihat?" Briela mencoba masuk dalam sandiwara dadakan yang dimulai Hadwin.
"Ah, oke sayang. Kau pasti malu, kita lanjutkan nanti saat tidak ada orang yang melihat, oke!" Hadwin melepas pelukannya, ia sedikit memberi jarak pada Briela.
Briela lagi-lagi hanya bisa melotot. Dan, Hadwin— dia mengerling nakal pada Briela. Mengedipkan sebelah matanya lalu tertawa lebar.
Nyonya Martha memerhatikan semua perubahan ekspresi yang ditunjukkan puteranya. Dan tawa lebar yang penuh kegembiraan itu sudah lama nyonya Martha tidak melihatnya di wajah putranya. Namun, kini saat bersama Briela putranya itu kembali menunjukkan ekspresi itu.
"Apa yang kau lakukan tadi? sampai-sampai tersebar rumor pada menantuku. Kau sebesar itu, tapi tidak bisa melindungi istrimu." Nyonya Marta menarik tangan Briela den mengelus tangan Briela.
Briela mengerjakapkan matanya beberapa kali, ia bahkan menelisik wajah nyonya Martha pandangannya seolah mempertanyakan perihal keseriusan dari setiap perkataan nyonya Martha.
Briela tidak menyangka jika ternyata sejak awal nyonya Marta memang berada di pihaknya. Bahkan meski sudah sampai beredar rumor nyonya Martha masih membelanya. Dan saat ini ia bahkan memarahi putranya sendiri.
Sungguh sikap nyonya Martha mematahkan statement soal ibu mertua adalah musuh bagi setiap menantu wanitanya.
Mata Briela berkaca-kaca, setelah kepergian ibunya sepuluh tahun lalu Briela menemukan sosok ibu yang akan selalu berada di pihaknya. Ia mendapatkannya dari nyonya Martha.
"Jika lain kali aku melihat menantuku di sudutkan orang, aku akan benar-benar mencoret namamu dari daftar keluarga, lanjut nyonya Martha dengan tatapan sengit yang ia tunjukkan pada Hadwin.
"Tenang saja, Ibu! Tanpa kau ancam pun aku tidak akan pernah membiarkan hal seperti itu terjadi lagi," sahut Hadwin.
Perasaan Briela menghangat, selain ayahnya dan Jennifer kini Briela memiliki orang yang selalu memihaknya. Namun ia juga merasakan ketakutan di saat yang sama, ia takut jika sandiwara bersama Hadwin terbongkar hal itu akan melukai nyonya Martha. Membayangkannya saja sudah membuat Briela merasa sedih. Wajahnya terlihat murung.
"Ada apa, kau sakit?" Tangan Hadwin terulur memeriksa suhu tubuh Briela. "Katakan apapun yang membuatmu tidak nyaman!"
🥀🥀 Hai hai readers, penasaran nggak nih sama kisah Briela dan Hadwin? Akankah hubungan kontak keduanya akan terbongkar? Ikuti terus buat dapetin jawabannya 🥀🥀
sekertaris keknya beb. ada typo.