Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Rasanya pasti enak banget, kan, kalau kepala kamu diusap-usap kayak gini? Apalagi, sudah tiga hari tiga malam kamu nggak tidur demi jagain aku yang makin lama makin ngerepotin aja. Jujur, suasana malam ini nyaman banget karena kamu ada disini. Yah, kamu emang ada di samping aku tiap hari, sih. Tapi, sayangnya kita nggak bisa kayak gini lebih lama lagi.
Mau berdoa sebanyak apapun juga, sepertinya penyakit kanker darahku ini sudah ada di tahap yang benar-benar nggak bisa diobati. Walaupun keajaiban Tuhan itu memang ada, tapi aku lebih percaya kalau takdir kematianku itu lebih nyata.
Nael, ketahuilah kalau aku nggak bisa nahan air mata setiap ngebayangin kamu kesepian di rumah waktu aku udah nggak ada lagi di dunia. Aku yakin, kamu pasti kecewa berat karena segala doa dan usaha kamu buat nyembuhin penyakit ini ternyata nggak ada hasilnya sama sekali.
“Makasih banyak, ya, sayang.” Cuma itu saja yang bisa terucap untuk mengapresiasi segala usahamu selama ini. Aku harap kamu dapat mendengarnya dari dalam alam mimpi yang indah itu.
“Ughh…” Rasa nyeri di seluruh badanku sepertinya sudah datang untuk meneror lagi. Hah… nganggu orang mesra-mesraan aja.
Tapi, rasa sakit ini sepertinya mau mengingatkan untuk segera membuat sebuah peninggalan yang bakal diingat sama suamiku tercinta. Tujuannya jelas biar dia nggak berpaling ke wanita lain, walaupun aku udah meninggal. Enak aja Nael nikah sama cewek lain setelah dirawat dari zaman SMA. No way!
Maaf, ya, sayang, aku mau nulis sesuatu dulu buat kamu, jadi harus berhenti dulu diusap-usapnya.
“Mmnnn…” Oh no! Bayi gede ini ngerengek waktu tanganku ngambil buku harian di meja samping kasur. Bentar, ya, aku harus nulis ini sekarang karena udah nggak punya waktu lebih lama lagi.
Ketika tutup pulpen terlepas, aliran air dari mataku juga ikut semakin deras. Benar-benar sulit rasanya untuk meninggalkan kehidupan bersama Nael yang penuh bahagia ini. Tapi, mau bagaimana lagi. Kalau takdir sudah berkehendak agar aku pergi lebih dulu, maka nggak ada pilihan lain lagi.
Tanpa membuang waktu lagi, aku langsung menulis pesan terakhir yang menjadi peninggalan untuk suamiku tercinta. Rasanya kebetulan sekali pesan ini ditulis pada lembaran terakhir buku harian, seakan kematian sudah merencanakan ini semua.
Kepada suamiku tercinta, Emanuel ‘Nael’ Nathaniel.
Terima kasih banyak karena selama 7 bulan terakhir kamu udah berjuang demi kesembuhanku dari penyakit mengerikan ini. Tapi, sayangnya, aku harus pergi duluan untuk menikmati indahnya alam surga. Bukan berarti segala usaha yang kamu lakukan itu belum maksimal, tapi ini semua adalah kehendak semesta yang nggak bisa kita lawan. Jadi, jangan ngerasa bersalah atas kematianku.
Sebagai permintaan terakhir, aku ingin kamu tetap jadi orang yang baik seperti sekarang. Tetaplah jadi orang yang baik, adil, dan suka membantu orang-orang di sekitar, kayak yang biasa kamu lakuin. Walaupun dunia rasanya nggak adil, bukan berarti kamu juga harus berubah jadi orang yang jahat. Ingat, kamu itu praktisi hukum yang ikut menegakkan keadilan di masyarakat, lho. Jadi, jangan kehilangan jati diri kamu.
Selain itu, aku harap kamu selalu mengenangku sebagai seorang istri terbaik yang pernah kamu miliki. Itu artinya, kamu nggak boleh nikah lagi sama cewek lain, ya! Kalau kamu berani nikah lagi, bakal kugentayangin nanti!
Itu aja harapanku sama kamu, Nael. Intinya, aku cuma pengen kamu tetap hidup sebagai orang yang baik kayak sekarang ini.
I Love You to the Heaven’s Door. Aku mencintaimu hingga ke pintu surga.
-Felicia Putri Helena
Semoga kamu bisa baca setiap kata yang kutulis itu, ya, sayang. Soalnya tintanya jadi luntur karena terus-terusan dihujani air mata, hehehe.
Buku harian itu kuletakkan kembali di atas meja, sebelum memandangi wajah tampan Nael untuk yang terakhir kalinya. Tanganku lalu bergerak ke arah kepala yang tertidur di pinggiran ranjang untuk mengelus setiap helai rambutnya lagi. Sesekali, bibir kering ini juga tidak tahan untuk memberinya beberapa kecupan hangat.
Hanya berduaan bersama suami tersayang di tengah kesunyian malam adalah sesuatu yang paling aku butuhkan sebelum bertemu kembali dengan Sang Pencipta.
“I love you so much, sayang. Terima kasih atas segalanya.”