Devina adalah seorang mahasiswi miskin yang harus bekerja sampingan untuk membiayai kuliahnya dan biaya hidupnya sendiri. Suatu ketika dia di tawari dosennya untuk menjadi guru privat seorang anak yang duduk di bangku SMP kelas 3 untuk persiapan masuk ke SMA. Ternyata anak lelaki yang dia ajar adalah seorang model dan aktor yang terkenal. Dan ternyata anak lelaki itu jatuh cinta pada Devina dan terang-terangan menyatakan rasa sukanya.
Apakah yang akan Devina lakukan? apakah dia akan menerima cinta bocah ingusan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tami chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tersengat listrik.
Devi berjalan perlahan menaiki tangga menuju kamar Devan. Dia membuka pintu kamar Devan perlahan dan mengintip ke dalam kamar. Di depan meja belajar tak terlihat, Devi pun melongok makin dalam dan dilihatnya Devan diam berbaring di ranjangnya.
"Dev... kalau kamu sakit, kita bisa undur belajarnya..." ucap Devi.
Devan tampak diam sambil memejamkan matanya. Tangannya terus memijat keningnya dan sesekali alis Devan bertaut seperti sedang menahan sakit.
"Di mana yang sakit, Dev?" tanya Devi sambil berjalan perlahan mendekati Devan.
Devi mengulurkan tangannya dan menyentuh kening Devan, terasa sedikit hangat memang.
"Kamu demam... sebentar aku bilang Tante Luci-" Devi hendak berjalan menjauh, tapi tiba-tiba tangannya di raih Devan. Devan menarik Devi agar duduk di samping ranjangnya.
"Jangan, nanti kalau Mamah tau aku demam, dia pasti bakal panggil dokter lagi! Bisa-bisa aku di suntik lagi!" ucap Devan sambil menatap Devi.
Devi mendesah, "baiklah, aku kompres dulu aja..." ucap Devi sambil berjalan keluar dari kamar.
"Jangan sampai Mama tahu!" ingat Devan.
"Iya bawel!" kesal Devi.
Devi berjalan menuruni tangga, dan sempat terkejut karena melihat Om Aldrich dan tante Luci sedang berciuman di dapur. Devi langsung menghentikan langkahnya, lalu berjalan mundur dengan mengendap-endap kembali ke lantai atas.
"Astaga..." Devi mengelus dadanya yang terus berdebar karena melihat kejadian barusan. Kedua orang tua Devan masih begitu mesra dan romantis walaupun sudah tak muda lagi.
Benar-benar membuat Devi sangat iri.
Dari kecil dia tak pernah merasakan kehidupan keluarga yang harmonis, bisakah kehidupan pernikahannya kelak seperti orang tua Devan? yang tetap harmonis dan romantis sampai tua nanti?
"Harus! Anak-anak ku kelak harus hidup dengan bahagia..." gumam Devi sambil memasuki kamar Devan.
"Mana kompresnya?" tanya Devan saat melihat kedatangan Devi namun tak membawa apapun.
"Ahh.. itu..." Devi mendekati Devan, "di bawah ada Papa sama Mama kamu... lagi... lagi.. apa ya namanya, lagi mesra-mesraan jadi aku nggak enak mau ganggu..." ucap Devi sambil tersenyum kaku.
"Ck! Mama sama Papa malu-maluin aja!" gumam Devan sambil kembali memijat pelipisnya. "Mereka tuh pasangannya bucin, sampai tua juga tetap bucin! heran!"
"Aku justru iri! aku ingin punya pasangan yang bucin sampai tua, aahh.. indahnya..." Devi menangkup kan kedua tangannya di depan dada sambil berhayal dia menikah dengan lelaki yang sangat mencintainya hingga tua nanti, tapi siapa lelakinya?
Devi terkekeh, lalu menatap Devan.
Nggak mungkin dia, kan! jangan halu Devi!!
"Kenapa?" tanya Devan bingung karena terus di tatap Devi.
"Nggak! nggak apa-apa, oh iya sebentar..." Devi berlari kecil ke arah tas ranselnya yang di letakkan di meja belajar, mengambil sebungkus tisu basah lalu mendekati Devan.
Dia menarik selembar tisu basah lalu meletakkannya di dahi Devan.
"Kompres sementara," ucap Devi sambil mengedipkan sebelah matanya.
Devan terkekeh, "ada-ada saja..."
"Mmh.. ngomong-ngomong... kamu tipe cowok kaya Papa kamu? yang bakal bucin sama pasangannya?" tanya Devi penasaran.
Devan melirik Devi, lalu mengangkat bahunya.
"Kok? maksudnya gimana?"
"Ya aku belum tau... belum pernah mencobanya," ucap Devan acuh.
"Belum pernah mencoba apa?"
"Belum pernah jatuh cinta sampai bucin..." Devan menekan tisu basah yang menempel di dahinya, "Tisunya sudah kering..." ucapnya.
Devi kembali mengambil selembar tisu basah dan meletakannya di dahi Devan, lalu membuang tisu yang sudah kering tadi.
"Sudah enakan?" tanya Devi sambil duduk di tepi ranjang Devan, dia menatap Devan dengan wajah khawatir.
"Sementara nggak usah les dulu, sampai kamu benar-benar sembuh, ya?" ucap Devan.
Devan mendengus sambil membalas tatapan Devi. "Nggak mau... aku mau les..." ucap Devan. Devan menurunkan tangannya yang sejak tadi dia letakkan di keningnya, dan tanpa sengaja tangannya bersentuhan dengan Devi.
Mereka berdua langsung terdiam sambil terus bertatapan. Devi bahkan merasa waktu seperti berhenti berputar.
Devan menggerakan jari telunjuknya, bergerak perlahan makin mendekati tangan Devi, hingga akhirnya jari jemari mereka saling bertindihan.
Devi menelan salivanya. Tubuhnya terasa membeku dan tak bisa di gerakan.
Dia merasa ada sengatan listrik yang di salurkan dari tangan Devan ke seluruh tubuhnya. Dan perasaan apa ini, terus menggelitik perutnya??
"De-Devan... a-aku pulang saja, ya?" ucap Devi gugup.
"Nanti dulu," ucap Devan sambil meremas jemari Devi. Menautkan jari-jarinya di sela jari jari Devi, tangan mereka bertautan erat.
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Devi maupun Devan, mereka hanya saling bertautan tangan dan bertatapan dengan intens. Devan menarik tangannya yang menggenggam tangan Devi, meletakannya di dadanya, membuat Devi mau tidak mau memajukan tubuhnya.
"De-Dev..." gugup Devi.
"Sebentar aja..." ucap Devan sambil menuntun tangan Devi mengusap dadanya yang tampak naik turun dengan cepat. Devi bahkan bisa merasakan detak jantung Devan yang berpacu dengan cepat, persis seperti jantungnya sendiri.
Ternyata yang deg-degan sekarang bukan cuma Devi, baru dia tau jika Devan juga ternyata berdebar-debar.
"Tidurlah, aku akan di sini sampai kamu tidur," bisik Devi karena melihat wajah Devan memerah. Entah karena demamnya atau karena malu.
Devan melirik Devi dan mengangguk pelan lalu memejamkan matanya.
Entah mendapat keberanian dari mana, Devi mendekatkan wajahnya lalu mengecup kening Devan sambil berbisik, "semoga cepat sembuh."
Devan tersenyum sambil mengangguk pelan. Dan tak lama dia pun tertidur dengan lelap.
Devi menarik tangannya dari dekapan Devan dengan sangat perlahan, agar Devan tak terkejut dan bangun dari tidurnya.
Setelah itu dia menaikkan selimut hingga dada Devan lalu berjalan pelan keluar dari kamar Devan.
Devi turun dari lantai dua dengan sedikit berisik, agar tante Luci dan Om Aldrich tau. Dia tak mau mendapati kejadian semacam tadi, malu kan? terus kalau Devi kepengen dia harus bagaimana? nggak ada lawan mainnya juga. Devi terkekeh.
"Dev? sudah selesai lesnya?"
"Tante, Devan sepertinya kelelahan, dia tertidur jadi Devi nggak berani ganggu," ucap Devi.
"Oalah... ya sudah, besok aja lesnya ya?"
"Iya tante, Saya permisi dulu."
"Naik Ojol, ya? Hati-hati, ya!"
"Iya tante," Devi langsung berlari kecil keluar dari rumah Devan. Menaiki ojek online yang sudah menunggunya di dekat gerbang dan bergegas pulang.
Devi masih merasakan jantungnya berdebar tak karuan karena ulah Devan. Gila! bocah 15 tahun memegang tangannya dan itu sudah bisa membuat Olive salah tingkah super brutal begini.
"Jangan-jangan aku sudah nggak waras!" gumam Devi selama perjalanan pulang.
Saat sampai di kamar kosnya, ponsel Devi berdering dan Devi segera mengangkatnya. Di lihatnya Nama Devan terpampang di sana. Dengan tangan gemetar, Devi menekan tombol hijau.
"Ha-halo, Dev..."
"Sudah sampai rumah?" tanya Devan dengan suara parau.
"Sudah... kenapa kamu bangun? ada apa?"
"Besok, kita pergi, ya!" ucap Devan to the point.
"Ke mana?"
"Jalan aja, aku jemput jam 9." Lalu Devan menutup panggilan telponnya.
"Lah, aku besok ada kuliah..." Lalu Devi melihat kalender duduk yang ada di atas meja kecilnya. "Oh, besok libur ya... tapi kenapa ya Devan tiba-tiba ngajakin jalan? apa mungkin dia mau..."
Devi langsung menggelengkan kepala, membuang jauh semua hayalan indahnya.
Ingat Devi! Devan itu bocah! umurnya baru 15 tahun! apa yang kamu harapkan?!