NovelToon NovelToon
TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Obsesi / Identitas Tersembunyi / Sugar daddy
Popularitas:8.3k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.

Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.

Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

LUKA TIDAK DAPAT DI HINDARI

Dengan perlahan, Nayara mendorong pintu toko buku The Hollow Quill. Bunyi lonceng kecil di ambang pintu menggema lembut, namun ruangan itu sunyi. Pandangannya menyapu rak-rak kayu yang dipenuhi buku tua, berharap menemukan Jayden tetapi sosok pria itu tak terlihat.

“Sedang mencari sesuatu, Nona?” suara seorang pria terdengar dari arah kasir. Ia berdiri di tempat yang biasanya dijaga Jayden, menatap Nayara dengan penuh selidik.

Nayara menoleh cepat, sedikit terkejut mendapati wajah asing di balik meja kasir. Bukan Jayden pria itu lebih tua beberapa tahun, dengan rambut hitam yang diikat rapi dan kemeja abu-abu sederhana.

“Aku… sedang mencari Jayden,” jawab Nayara pelan, suaranya ragu.

Pria itu tersenyum tipis, lalu menyandarkan kedua tangannya di meja. “Jayden? Dia tidak masuk hari ini. Ada yang bisa kusampaikan padanya?”

Nayara terdiam sejenak, merasakan ketidaknyamanan merayap dalam dirinya. Ada sesuatu yang aneh dari cara pria itu menatapnya seolah ia tahu lebih banyak daripada yang diucapkannya.

Nayara hanya menggeleng pelan. “Tidak perlu,” katanya singkat, lalu berbalik menuju pintu. Lonceng kecil kembali berdenting ketika ia mendorongnya, meninggalkan aroma buku tua dan tatapan pria asing itu yang masih mengikutinya hingga ke luar.

Udara sore menyambutnya dengan dingin, membuat langkahnya terasa semakin berat. Ada rasa hampa yang tak bisa ia jelaskan seolah kepergian Jayden menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar ketidakhadiran.

Nayara melangkah cepat menuju stasiun, seakan ingin lari dari bayangan toko buku yang baru saja ditinggalkannya. Begitu menaiki kereta sore, ia memilih duduk di dekat jendela. Tatapannya kosong menembus kaca, mengikuti bayangan kota yang perlahan menghilang di balik senja.

Ia tahu, pulang ke kediaman Fredricka bukanlah pilihan mudah. Hubungan mereka sudah lama renggang, nyaris beku. Setiap percakapan selalu berakhir dengan nada tinggi, setiap tatapan seringkali terasa seperti pisau yang mengiris hati. Namun, di tengah kekhawatirannya tentang kehidupannya, hanya ke rumah itu ia bisa kembali.

Kereta berguncang, suara roda besi beradu di rel terdengar berulang-ulang, menyatu dengan degup jantung Nayara. Entah apa yang menantinya di sana pertengkaran lain, atau mungkin, sedikit jawaban.

Kereta akhirnya berhenti menjelang malam. Nayara turun dengan langkah lelah, udara dingin menyergap tubuhnya. Dari stasiun kecil itu, ia berjalan menyusuri jalan sempit yang gelap, lampu jalan redup hanya sesekali menerangi langkahnya.

Perkampungan kumuh di pinggiran Sevilla menyambutnya dengan bau lembap dan suara anjing menggonggong dari kejauhan. Dinding-dinding rumah reyot berdiri berdesakan, catnya mengelupas, sebagian atapnya bocor dan ditutup plastik seadanya.

Di situlah ia dan Fredricka tinggal selama ini tempat yang lebih menyerupai penjara sunyi ketimbang rumah. Setiap kali kakinya melangkah pulang, Nayara selalu merasa hatinya semakin berat. Malam itu pun sama, bahkan lebih menyesakkan, karena ia tahu akan kembali berhadapan dengan ibunya.

Begitu tiba di rumah, Nayara langsung mendapati pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Di ruang tengah keluarga, Fredricka tengah bercumbu mesra dengan salah satu pelanggannya, seakan tidak peduli pada keberadaan putrinya sendiri.

Nayara menggeleng kesal, lalu bersuara lantang.

“Bisakah kalian lakukan itu bukan di sini?” serunya penuh amarah.

Fredricka, yang merasa terusik, menoleh dengan tatapan tajam. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis, seolah kedatangan Nayara hanyalah gangguan tak berarti.

“Mau apa kau kemari, anak bodoh? Pergilah. Jangan ganggu aku sedang bekerja.”

“Bekerja, kau bilang? Itu yang kau sebut bekerja sebagai wanita murahan?” Nayara membalas dengan suara bergetar, namun penuh amarah.

Tatapannya beralih pada pria asing yang duduk di samping ibunya. “Dan kau, Pak! Keluar dari rumah ini sekarang juga!” bentaknya.

Pria itu terperanjat, wajahnya pucat. Tanpa banyak bicara, ia meraih pakaiannya lalu terbirit-birit meninggalkan rumah, menyisakan keheningan menegangkan di ruang tengah.

Kini hanya ada Nayara dan Fredricka, berdiri berhadapan. Tatapan keduanya saling mengunci, penuh kebencian yang tak lagi bisa ditutupi.

“Beraninya kau mengusir pelangganku,” desis Fredricka dengan nada menusuk.

Nayara mendekat, matanya berkilat marah. “Aku tidak tahan lagi, Bu! Setiap orang di kampung ini membicarakan kita bukan, membicarakan kau! Aku malu setiap kali melangkah keluar rumah. Kau tahu rasanya dipandang hina hanya karena kelakuan ibuku sendiri?”

Fredricka mendengus, menyilangkan tangan di dada. “Biarlah mereka bicara. Lidah manusia memang tak bisa dikekang.”

“Bukan begitu!” Nayara membentak, suaranya pecah. “Aku yang harus menunduk setiap saat jika bertemu mereka, menanggung semua cibiran dan tatapan jijik. Aku sudah berusaha keras agar ibu bisa hidup layak, tapi kau malah mempermalukan dirimu… dan mempermalukan aku!”

Tatapan mereka saling beradu, penuh luka. Bagi Nayara, itu adalah jeritan hati seorang anak yang mendambakan kehormatan. Bagi Fredricka, itu hanyalah rengekan yang tak ia anggap penting.

Plak!!

Tiba-tiba, tamparan keras mendarat di pipi Nayara, membuat kepalanya terhuyung ke samping. Rasa perih menjalar, tapi yang lebih sakit adalah pengkhianatan dari tangan yang seharusnya melindunginya.

Fredricka menatap putrinya dengan mata berapi-api.

“Kau tahu, Nayara? Aku muak padamu! Setiap kali aku melihatmu, yang kulihat hanyalah bayangan pria brengsek itu!”

Napasnya terengah, suaranya meninggi penuh kebencian.

“Gideon, bajingan itu dia yang membuatku rusak! Dan karena dia… dan juga karena kehadiran kau, aku kehilangan semua yang seharusnya menjadi milikku. Warisan itu, hidupku, masa depanku… hancur seketika!”

Kata-kata itu menusuk Nayara lebih dalam daripada tamparan di wajahnya. Air matanya menggenang, tapi ia menolak menunjukkannya pada wanita yang berdiri di hadapannya.

Nayara terdiam, dada naik turun menahan sesak. Kata-kata ibunya bergema di kepalanya, menikam jauh ke dalam hati. Untuk sesaat, ia tak mampu menahan air mata yang akhirnya jatuh membasahi pipinya yang masih perih karena tamparan.

Dengan suara lirih namun penuh kepedihan, ia berkata,

“Kadang aku menyesal… menyesal dilahirkan ke dunia ini. Kalau saja aku tidak ada, kau tidak akan perlu melihat wajah yang begitu kau benci.”

Nayara mengangkat wajahnya, menatap ibunya dengan mata yang buram oleh air mata. “Aku menyesal harus hidup begini, Bu. Menjadi beban, menjadi sumber amarahmu… aku lelah.”

Ruangan itu seketika hening. Hanya suara napas tertahan yang terdengar, sementara di antara mereka menganga jurang yang semakin dalam jurang antara seorang ibu yang larut dalam dendam dan seorang anak yang merasa tak pernah diinginkan.

Nayara tak sanggup lagi menatap wajah ibunya. Dengan langkah terhuyung, ia berlari menuju kamarnya. Pintu itu dibanting keras hingga bergema ke seluruh rumah, seakan ingin memutuskan semua ikatan yang mencekiknya.

Di balik pintu, Nayara akhirnya tak bisa menahan diri. Isak tangisnya pecah, bahunya berguncang hebat. Ia meratapi hidupnya kemalangan yang tak pernah ia pilih, dilahirkan sebagai anak yang tak pernah diinginkan. Setiap kata hinaan ibunya terngiang, menoreh luka yang lebih dalam dari tamparan mana pun.

Ia menutupi wajah dengan kedua tangannya, berbisik lirih di antara tangis,

“Kenapa aku harus ada? Kenapa aku harus lahir dari rahimnya?”

Namun yang lebih menakutkan baginya bukan hanya kebencian ibunya, melainkan jeratan Kaelith bayangan gelap yang terus mengintai dari balik kehidupannya. Jeratan itu begitu mematikan, seperti rantai tak kasatmata yang membuatnya merasa takkan pernah bisa benar-benar bebas.

Tangis Nayara mereda perlahan, berganti dengan keheningan yang mencekam. Matanya yang sembab menatap kosong ke langit-langit kamar, tapi pikirannya terjerat pada satu nama yang tak pernah bisa ia lupakan, Kaelith.

Ia teringat pertama kali jeratan itu mengikatnya. Seperti jaring halus, perlahan melilit tanpa ia sadari, hingga kini telah menjadi belenggu yang mencekik. Kaelith bukan sekadar nama; ia adalah bayangan yang menghantui setiap langkah Nayara, membuatnya merasa tak pernah punya pilihan atas hidupnya sendiri.

“Seandainya aku bisa bebas darimu…” bisiknya getir.

Namun dalam hati kecilnya, Nayara tahu, keluar dari jeratan Kaelith sama saja dengan menantang maut. Setiap orang yang pernah mencoba melawan, lenyap tanpa jejak. Dan ia… hanyalah seorang gadis yang bahkan tak mampu mendapat kasih dari ibunya sendiri.

Air mata kembali membasahi wajahnya, lebih tenang kali ini, namun jauh lebih menyakitkan. Di tengah kesunyian malam, Nayara hanya bisa terbaring, menanggung beban yang terlalu berat untuk usianya.

Lelah karena tangis dan luka batin yang menyesakkan, akhirnya Nayara terlelap di ranjangnya. Namun tidur itu tidak membawa ketenangan justru menyeretnya ke dalam mimpi buruk yang gelap.

Di hadapannya, bayangan Kaelith muncul. Tubuhnya samar di balik kegelapan, namun suara tawanya terdengar jelas, bergema di setiap sudut mimpi. Tawa dingin, penuh penghinaan.

“Nayara…,” suaranya menulari udara dengan ancaman yang merayap. “Kau pikir bisa lari dariku? Kau pikir bisa bebas? Lihat ini.”

Tiba-tiba sebuah layar besar menyala di belakangnya, menampilkan potongan video yang membuat darah Nayara membeku. Ia mengenali wajahnya sendiri di sana rekaman aib yang tak seharusnya dilihat siapa pun.

“Jika kau berani menentangku,” Kaelith berbisik tajam sambil mendekat, “aku akan sebarkan video ini. Semua orang akan tahu siapa dirimu sebenarnya. Kau akan hancur, Nayara. Lebih hancur dari ibumu yang kau benci itu.”

Nayara menjerit, mencoba menutup telinganya, tapi tawa Kaelith semakin keras, semakin menusuk. Kegelapan menelannya, bersama rasa takut yang melumpuhkan.

Lelah karena tangis dan luka batin yang menyesakkan, akhirnya Nayara terlelap di ranjangnya. Namun tidur itu tidak membawa ketenangan justru menyeretnya ke dalam mimpi buruk yang gelap.

Di hadapannya, bayangan Kaelith muncul. Tubuhnya samar di balik kegelapan, namun suara tawanya terdengar jelas, bergema di setiap sudut mimpi. Tawa dingin, penuh penghinaan.

“Nayara…,” suaranya menulari udara dengan ancaman yang merayap. “Kau pikir bisa lari dariku? Kau pikir bisa bebas? Lihat ini.”

Tiba-tiba sebuah layar besar menyala di belakangnya, menampilkan potongan video yang membuat darah Nayara membeku. Ia mengenali wajahnya sendiri di sana rekaman aib yang tak seharusnya dilihat siapa pun.

“Jika kau berani menentangku,” Kaelith berbisik tajam sambil mendekat, “aku akan sebarkan video ini. Semua orang akan tahu siapa dirimu sebenarnya. Kau akan hancur, Nayara. Lebih hancur dari ibumu yang kau benci itu.”

Nayara menjerit, mencoba menutup telinganya, tapi tawa Kaelith semakin keras, semakin menusuk. Kegelapan menelannya, bersama rasa takut yang melumpuhkan.

Nayara terbangun dengan teriakan yang tercekik di tenggorokannya. Nafasnya memburu, dadanya naik turun cepat, dan tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya liar menatap sekeliling kamar yang remang, memastikan Kaelith benar-benar tidak ada di sana.

Namun rasa takut itu masih mencengkeram, seakan tawa Kaelith masih bergema di telinganya. Jemarinya gemetar saat meraih selimut, berusaha menutupi tubuhnya yang menggigil.

“Tidak… jangan,” bisiknya lirih, air mata kembali mengalir di pipinya. “Jangan lakukan itu padaku…”

Ia memeluk dirinya sendiri erat-erat, berusaha meredakan ketakutan yang terus menghantui. Namun bayangan video itu, ancaman Kaelith, dan perasaan tak berdaya menempel seperti noda yang tak bisa ia hapus.

Di luar jendela, malam Sevilla terus berlanjut dalam keheningan, seolah tak peduli pada seorang gadis yang terjebak dalam jeratan gelap yang hampir melumpuhkan jiwanya.

1
Widia Ar
udh dah kata gua mah nay nurut aja jadi cewe manis itu laki mau nya lu gitu nay pasti bakal dikasih dunia dan seisinya percaya dah Iyah kan othor .
Widia Ar
thor keren ihh tambah gemes Ama mereka berdua.
Widia Ar
the best
Widia Ar
thor semangat yah aku selalu menunggu mu
Seraphina: Terimakasih kak🥹
total 1 replies
Intan Marliah
Luar biasa
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!