NovelToon NovelToon
HAZIM

HAZIM

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Haryani Latip

Awal pertemuan dengan Muhammad Hazim Zaim membuat Haniyatul Qoriah hampir terkena serangan Hipertensi. Meski gadis itu selalu menghindar. Namun, malangnya takdir terus mempertemukan mereka. Sehingga kehidupan Haniyatul Qoriah sudah tidak setenang dulu lagi. Ada-ada saja tingkah Hazim Zaim yang membuat Haniyatul pusing tujuh keliling. Perkelahian terus tercetus diantara mereka mulai dari perkelahian kecil sehingga ke besar.

apakah kisah mereka akan berakhir dengan sebuah pertemanan setelah sekian lama kedua kubu berseteru?
Ataukah hubungan mereka terjalin lebih dari sekadar teman biasa dan musuh?

"Maukah kau menjadi bulanku?"

~Haniyatul Qoriah~

🚫dilarang menjiplak

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Haryani Latip, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Nilai UAS

I will ask Allah to see

you twice, once here and once

Paradise

______________________________________________

Brak!

Haniyatul meletakkan tumpukan buku paket yang akan dipinjamnya.

"Mau dipinjam semua ini, mbak?" tanya seorang gadis yang bertubuh sedikit berisi dan pendek. Gadis itu menggantikan si gadis manis berlesung pipi yang biasanya menjaga perpustakaan.

"Iya," jawab Haniyatul seraya menyeka keringat yang membasahi dahinya.

"Saya pinjam selama seminggu ya, saya sudah minta izin dengan Ustazah Laidah," ujar Haniyatul.

"Oh, iya, mbak." Gadis itu membuka buku besar bercorak batik yang ada di hadapannya. Lalu, mencatat semua judul buku dan tanggal buku itu di pinjam oleh Haniyatul.

Sepuluh menit berlalu, tapi gadis bertubuh gendut itu masih juga mencatat judul buku yang akan di pinjam oleh Haniyatul, ia terlihat kelelahan karena buku yang di pinjam oleh Haniyatul ada sekitar tiga belas buah buku. Haniyatul yakin, gadis yang berada di hadapannya ini pasti akan menggerutu kesal di dalam hati.

"Sudah selesai, mbak," ucap gadis tersebut.

"Makasih." Haniyatul tersenyum. Kemudian mengangkat tiga belas buku paket yang tebalnya seratus lima puluh halaman.

Di perpustakaan hari ini terlihat ramai dengan para siswa yang mulai giat belajar untuk persiapan ujian akhir semester yang akan diadakan dua minggu ke depannya.

"Han, mau aku bantu?" tanya Ainul. Di tangan gadis itu juga sudah terdapat beberapa buku paket.

Haniyatul melirik kearah tangan Ainul. Kedua tangan gadis itu memegang beberapa buku paket, tapi tidak sebanyak buku yang di pinjam oleh Haniyatul.

"Makasih, aku bisa bawa sendiri kok," tolak Haniyatul. Ia tidak ingin merepotkan Ainul karena gadis itu juga sedang memegang buku.

"Sini aku bantu." Aydan menawarkan bantuan.

"Ti---"

"Jangan bilang tidak usah, buku-buku ini berat," ujar Aydan.

Haniyatul melirik kearah Ainul. Dan Ainul mengangguk seakan mengatakan, jika ia tidak keberatan.

Haniyatul pun patuh, ia memberikan beberapa buku paket yang di bawanya tadi pada Aydan. Setelah beberapa buah buku paket bersampul biru tua itu bertukar tangan, dengan sigap Aydan pun mengatur langkah tanpa menunggu kedua gadis tersebut.

Ainul melihat sosok Aydan yang kian menjauh darinya, namun yang menarik perhatiannya kala itu adalah gantungan kunci berbentuk Doraemon yang tergantung di tasnya. Karena sememangnya sudah waktu jam pulang, jadi lelaki itu memakai tas lalu pergi ke perpustakaan. Sama seperti yang dilakukan oleh Haniyatul dan siswa-siswa yang lain.

Setiap tahun, ketika ujian akhir semester akan diadakan, perpustakaan pasti akan penuh dengan para siswa, baik pada waktu istirahat atau ketika jam-jam pulang.

"An, tidak apa jika Aydan membantuku?" tanya Haniyatul. Ia khawatir kelak Ainul akan cemburu seperti tempo dulu saat liburan musim hujan di pantai.

"Tidak mengapa, lagian orang mau berbuat baik masa dilarang? Aku juga bukan siapa-siapanya," sahut Ainul. Ia melirik kearah tas Haniyatul. Matanya melebar ketika melihat gantungan kunci berbentuk Doraemon tergantung di tas ransel temannya. Gantungan kunci itu mirip sekali dengan gantungan kunci milik Aydan tadi.

"Han, gantungan kunci ini beli di mana?" tanya Ainul.

Haniyatul menghentikan langkah kakinya, ia menoleh kearah Ainul. "Kenapa?" Haniyatul balik bertanya. Ia berusaha menutupi rasa paniknya. Haniyatul tidak ingin jika Ainul sampai tahu bahwa gantungan kunci itu adalah pemberian dari Aydan.

"Tidak, bentuknya bagus, imut lagi, cocok juga yaa di jadikan gantungan tas," Ainul berkilah. Padahal, bukan itu yang ingin di ucapkannya.

"Oh, awalnya inginku jadikan gantungan kunci sepeda, tapi aku sudah punya gantungan kunci beruang buat sepeda santaiku, jadi gantungan kunci ini dijadikan gantungan tas saja," ujar Haniyatul. Ia menghela napas dan cepat-cepat menukar topik pembicaraan, " Yuk! Pulang," ajak Haniyatul. Ia membiarkan pertanyaan Ainul tadi tak berjawab.

Kedua gadis itu pun beranjak untuk pulang. Sebelum keluar dari perpustakaan, Haniyatul sempat melirik sekilas kearah Zaim. Lelaki itu terlihat fokus mengerjakan beberapa soal Matematika.

Haniyatul melirik arloji yang terpasang di tangan kanannya.

"Sudah pukul 05:30 sore," gumamnya. Kemudian menyusul langkah kaki Ainul.

Zaim sememangnya laki-laki yang pintar dan memiliki sikap ambisius yang tinggi. Tahun lalu saja Zaim meraih juara umum dengan nilai yang tertinggi di jurusan IPA dan Haniyatul mendapat tempat kedua. Dan UAS tahun ini, kemungkinan besar laki-laki itu akan meraih juara umum lagi selaku siswa berprestasi yang meraih nilai tertinggi se-IPA. Dan peserta yang mendapat nilai tertinggi akan di berikan cenderamata berupa piala berwarna emas bagi juara satu, perak bagi juara dua, dan perunggu bagi juara tiga.

***

Cklit

Lampu belajar dinyalakan, padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Suasana sunyi, tiada bintang satu pun di langit. Dan bulan juga enggan menampakkan diri. Sepertinya langit mendung malam ini, tapi tidak pula sampai turun hujan.

Ainul membuka buku diarinya. Kemudian, menumpahkan setiap kata hatinya pada sebuah lembaran kertas.

Entahlah, aku tidak tahu apa sebenarnya yang aku khawatirkan, dan apa yang aku takutkan, dia bukan siapa-siapa. Bukan milikku atau milik siapa pun, lantas mengapa aku begini. Terlalu khawatir jika gadis yang menjadi pilihannya adalah sahabatku sendiri.

Ainul memijit kedua pelipisnya. Lalu membuka pula buku catatannya. Menelaah satu persatu materi pembelajaran. Meski hatinya saat ini tidak sedang baik-baik saja.

Adakalanya rasa sakit yang bersarang di hati harus diabaikan, karena langkah kita masih jauh, harus berjuang dengan cara sendiri. Dan bukan hanya untuk membahagiakan diri sendiri. Tapi, untuk membahagiakan orang-orang yang disayangi.

Bunyi lembaran kertas masih saja terdengar, meski penghuni rumah sudah melelapkan mata, namun tidak bagi Haniyatul. Ia masih terjaga dan mengerjakan beberapa soal Fisika. Jika tahun lalu ia kalah satu poin di belakang koma dari nilai Zaim. Dan tahun ini nilainya harus lebih tinggi dari laki-laki tersebut.

Dentingan jarum jam sudah menunjukkan pukul 12:00 malam, namun Haniyatul masih juga meneruskan kegiatannya, sepertinya ia tidak punya niat untuk berhenti sedetik pun dari memasang rumus-rumus Momen Inersia pada Benda Tegar.

Malam kian larut, namun mataku masih juga terbuka menahan kantuk. Aku benci pada diriku yang tak bisa menyerah. Lebih tepatnya aku tak punya pilihan selain terus berlari meski tubuhku di penuhi luka yang tak bisa terobat.

***

Klik!

Haniyatul mematikan alarmnya. Dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul 05:00 pagi. Ia bergegas bangun karena teringat belum melaksanakan shalat subuh. Dalam keadaan terhuyung-huyung, Haniyatul pun menuju ke kamar mandi.

Setelah selesai melaksanakan shalat subuh, Haniyatul pun beranjak keluar dari kamarnya dan menuju ke dapur. Sesekali terlihat ia menguap karena masih mengantuk.

"Han, sudah shalat subuh, nak?" tanya Aida. Ia menyalakan kompor gasnya untuk memasak air.

"Sudah, bu," sahut Haniyatul pula. Ia mengambil segelas air putih lalu duduk di atas kursi.

"Semalam tidur pukul berapa?" Aida menyelidik.

"Hampir pukul satu, bu." Haniyatul melanjutkan kegiatannya meneguk air minumnya.

"Pantas saja, tadi malam ibu bangun, lampu kamar kamu masih menyala," ujar Aida.

Sememangnya tadi malam Haniyatul sempat beberapa kali menyalakan lampu kamarnya ketika mencari buku kelas sepuluhnya karena materi kelas XI ada yang saling berkaitan dengan materi kelas X.

"Iya, bu, tidak lama lagi UAS, jadi harus rajin belajar," ucap Haniyatul. Ia beranjak dari kursi dan menuju ke wastafel untuk mencuci gelasnya.

"Tuh, bawa mata kamu hitam, kayak panda. Untung saja kamu sekolah siang, jadi sebelum ke sekolah tidur dulu sebentar," titah Aida. Diikuti anggukan oleh Haniyatul.

Pukul 12:00 siang.

Setelah tadi malam mempelajari Fisika. Kini, Haniyatul beralih pula untuk mempelajari Al-qur'an Hadis dengan menghafal surah-surah pendek. Padahal tidak lama lagi ia akan berangkat ke sekolah. Ia hanya tidur lima belas menit saja. Kemudian kembali melakukan kegiatan belajarnya.

Aida membuka pintu kamar anaknya. Perlahan ia menggelengkan kepalanya ketika melihat anaknya masih belajar. Sepertinya omongan Haniyatul beberapa hari lalu, bahwa ia ingin mendapatkan posisi juara umum se-IPA bukanlah candaan atau omong kosong semata.

***

Langkah kaki Haniyatul melaju. Kemudian berlari dengan cepat. Tergesa-gesa menuju ke perpustakaan. Bukan hanya Haniyatul saja yang berlari, tetapi beberapa siswa juga melakukan hal yang sama karena ingin mendapat tempat duduk di perpustakaan.

Kursi dan meja yang tersedia di perpustakaan hanya sekitar sepuluh meja dan kursi. Sudah tentu, tidak bisa menampung jumlah keseluruhan siswa.

Setibanya Haniyatul di pintu perpustakaan. Benar saja, sebagian meja dan kursi sudah bertuan. Hanya tiga kursi yang masih kosong. Itu pun di hadapan Zaim, Aydan, dan Mukhlis. Karena sememangnya tidak ada yang berani duduk di hadapan ketiga laki-laki itu. Bukan karena takut, lebih tepatnya mereka merasa sungkan karena ketiga laki-laki itu merupakan siswa berprestasi di sekolah.

Dengan raut wajah datar dan tanpa sungkan-sungkan, Haniyatul mengambil posisi duduk di hadapan Aydan. Di sebelah kanan Aydan terdapat Zaim dan sebelah kiri lelaki itu pula terdapat Mukhlis.

"Tumben gabung, Han," ucap Mukhlis.

"Terpaksa," sahut Haniyatul. Ia mengambil beberapa buku dari tasnya.

Mukhlis melihat sekelilingnya, tidak terdapat kursi kosong selain kursi yang ada di hadapan mereka bertiga. Sontak Mukhlis menoleh kearah Zaim. Laki-laki tersebut sedang tersenyum ketika mendapati Haniyatul sedang berada di hadapannya.

"Han, belajar apa?" tanya Zaim.

"Ssssshtt." Haniyatul merapatkan jari telunjuknya ke bibir.

Zaim terdiam. Tidak ingin mengganggu konsentrasi Haniyatul. Ia hanya mengamati saja ketika Haniyatul membuka buku paket Matematika.

Oh, belajar Matematika ternyata, batin Zaim.

Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya Haniyatul membuka bicara. "Lis, Ainul mana? Kok tidak kelihatan dari tadi," ujarnya.

"Tuh, sepupunya ada, coba tanyakan saja ke sepupunya." Mukhlis menunjuk ke arah Zaim dengan menggunakan dagu.

Haniyatul terdiam. Haniyatul tahu Mukhlis sengaja berkata demikian agar Haniyatul mau mengajak Zaim bicara.

"Ainul sakit, badannya panas," ucap Zaim. Tanpa melihat ke arah Haniyatul dan masih juga mengerjakan soal pilihan gandanya.

Serempak Haniyatul dan Aydan menoleh ke arah Zaim. Terlihat raut wajah kaget di antara mereka karena kemarin Ainul baik-baik saja. Dan sekarang tiba-tiba gadis itu sakit.

Haniyatul tidak menanggapi ucapan Zaim tadi. Walaupun sebenarnya ia juga penasaran dengan kondisi temannya itu. Tapi, egonya terlalu tinggi untuk mengajak Zaim bicara.

Diam-diam, Haniyatul memperhatikan Zaim yang sedang mengerjakan soal pilihan ganda Biologi.

Haniyatul melirik arlojinya. Tidak lama lagi akan masuk matapelajaran pertama. Gadis itu menutup bukunya. Namun, sebelum pergi ia menatap ke arah Zaim sebentar. "Soal nomor dua puluh kamu salah, jawabannya D yaitu Tubulus Distal, tempat terjadinya proses Augmentasi dan kemudian keluar menjadi urine sesungguhnya."

Zaim melihat kembali soal nomor dua puluh yang berbentuk gambar. Ia memukul perlahan jidatnya. Ternyata anak panah yang menunjuk kearah lengkungan yang berbentuk seperti usus itu adalah Tubulus Distal.

Tanpa mendengar ucapan terima kasih dari Zaim. Haniyatul pergi begitu saja.

"Dasar cewek cuek," gumam Zaim. Senyumannya mengembang. Kemudian ia memperbaiki kembali jawabannya yang salah tadi.

***

Brak!

Tiba-tiba saja Suraya datang menabrak bahu Haniyatul. Membuat gadis itu meringis kesakitan.

"Maaf," ucap Suraya. Padahal tindakannya tadi itu sangat disengaja. Setelah selesai shalat Asar, Suraya melihat Haniyatul berjalan sendiri, biasanya gadis itu akan berjalan bersama Ainul, tapi kali ini Ainul tidak hadir ke sekolah karena sakit. Jadi, ini peluang yang baik agar Suraya bisa mengerjai Haniyatul semaunya.

"It's okey," ujar Haniyatul. Kemudian ingin segera pergi.

"Eh, kamu ya, yang waktu itu digosipkan dengan Zaim?" Suraya menunjuk ke arah Haniyatul yang saat itu sedang menghentikan langkahnya.

Haniyatul mengerutkan dahinya. Hampir saja keningnya bertaut menjadi satu.

"Eh, benar kamu,"

Ucapan Suraya menarik perhatian banyak orang, gadis ini sengaja membahas kembali tentang gosip beberapa minggu yang lalu. Bahkan gosip itu sudah dilupakan oleh orang-orang.

Aydan memperhatikan dari jauh. Ia menyaksikan sendiri ketika Suraya sengaja menabrak bahu Haniyatul.

Raut wajah Haniyatul mulai memerah karena malu. Ia ingin pergi, tapi niatnya itu diurungkan ketika melihat kelibat Aydan sedang mendekatinya.

"Cukup Suraya!" bentak Aydan.

"Kenapa? Aku salah bicara?" Suraya berpura-pura bingung.

"Yuk! Han," ajak Aydan. Ia malas menghadapi sikap Suraya yang seperti itu.

"Apa kalian pacaran?"

Serempak Aydan dan Haniyatul menghentikan langkah mereka. Keduanya menoleh kearah Suraya yang sedang tersenyum sinis.

"Apa pacaran?" Aydan turut tersenyum sinis. Raut wajahnya kini benar-benar marah.

"Jangan bicara sembarang, menuduh tanpa bukti itu namanya fitnah." Zaim datang menghampiri ketiganya.

"Zaim," gumam Suraya.

Aydan menaikkan alis kanannya. Ia sungguh kesal melihat Suraya yang berpura-pura baik di depan Zaim.

"Maaf, aku tidak bermaksud begitu," Suraya membela diri.

"Jangan bilang maaf ke aku, tapi mohon maaflah pada Haniyatul dan Aydan," ucap Zaim. Mantap.

"Maaf, Han, Aydan." Suraya menundukkan wajahnya.

Sekali lagi Aydan tersenyum sinis, lantas mengatur langkah untuk pergi diikuti oleh Haniyatul dan Zaim.

***

Haniyatul duduk di ruang tamu. Menyalakan televisi dan menonton siaran malam ini. Besok libur, jadi ia memutuskan untuk bersantai malam ini, ia tidak ingin terlalu memberatkan pikirannya.

"Han, teman kamu telepon!" teriak Aida.

"Iya, bu," sahut Haniyatul.

"Nah." Aida mengulurkan gagang telepon pada Haniyatul.

"Assalamualaikum," ucap Haniyatul.

"Walaikumsalam," sahut suara diseberang.

"Ainul, kondisi kamu bagaimana? Baik-baik saja, kan?"

"Alhamdulillah, baik kok, cuma flu biasa." Ainul tersenyum. Seakan-akan Haniyatul sedang melihatnya.

"Alhamdulillah, aku kangen,"

"Aku juga, Han. Eh, aku dengar Suraya bikin keributan yaa." Ainul membaringkan badannya yang saat itu sedang berada di atas kasur.

"Iya, tapi untung saja ada Aydan dan Zaim,"

Ainul menundukkan wajahnya, "Aydan membantu mu?" tanya Ainul dengan suara perlahan.

"I--iya," sahut Haniyatul.

"Han, kamu suka Aydan?"

Haniyatul mengerutkan dahinya. "Suka bagaimana? Aku hanya menganggapnya teman, An."

"Benar? Hanya sebatas teman? Tapi barangkali dia suka dengan kamu," suara Ainul terdengar sedih.

"An, tidak mungkin,"

"Tidak ada yang tidak mungkin, Han,"

"Kemarin dia hanya bilang kami teman, tidak lebih dari itu," Haniyatul coba meyakinkan temannya.

"Serius? Aydan bilang seperti itu?"

"Iya," Haniyatul menganggukkan kepalanya.

"Jadi, gantungan kunci itu, apa Aydan yang memberikannya padamu? Maaf aku lancang," ujar Ainul.

"Oh, gantungan kunci itu aku beli di toko buku," bohong Haniyatul. Ia tidak ingin melukai perasaan temannya.

Ainul terdiam. Lama terdiam, ia pun kembali berkata. " sepertinya aku sudah salah paham dengan kamu, Han."

Haniyatul memejamkan matanya. Ia menarik napas dalam-dalam. Bagaimana bisa ia berbohong pada gadis sepolos Ainul, tapi Haniyatul juga tidak ingin gadis itu kecewa.

Sebuah kebohongan menjadi bom waktu bagiku. Ia akan meledak kapan pun ketika kebenaran itu terungkap nantinya, namun jika waktu bisa di putar kembali, aku tetap akan mengucapkan kebohongan itu. Karena aku tidak ingin melukai sahabatku sendiri.

***

5 Oktober 2011

Tring! Tring!

Bel berbunyi menandakan ujian akhir semester pun akan di mulai. Para pengawas ruangan ujian memberi instruksi agar setiap siswa membaca doa belajar di dalam hati.

Haniyatul duduk di urutan paling depan, saling berhadapan dengan guru. Namanya sudah tertempel di atas meja, yang menandakan selama seminggu ke depannya ia akan duduk di urutan paling depan.

Ainul tidak satu ruangan dengan Haniyatul. Mereka dipisah, tapi kali ini Haniyatul satu ruangan pula dengan Mukhlis.

Lembaran kertas pun dibagikan, perasaan gugup menyelubungi hati. Haniyatul sudah belajar keras selama ini. Selebihnya ia serahkan pada Tuhan yang Maha Kuasa.

Setelah dua jam berlalu, para pengawas pun meminta agar semua siswa mengumpulkan lembaran jawaban mereka. Karena waktu sudah habis, maka para siswa pun bergegas mengumpulkan lembaran jawaban mereka karena takut jika Bu Aliza tidak menerima lembaran jawaban mereka nanti. Mengingat bahwa Bu Aliza orangnya sangat disiplin dengan waktu.

Haniyatul kembali duduk di tempatnya. Ia mengeluarkan botol air berwarna pink yang di bawanya dari rumah. Setelah meneguk air minuman tersebut. Ia baru teringat bahwa jawabannya nomor sembilan tertukar dengan jawaban nomor delapan.

Ia bergegas berdiri dari posisi duduknya. "Bu, maaf, bisa saya perbaiki sebentar jawaban saya, jawaban saya ada yang tertukar." Haniyatul memelas.

"Tidak bisa, waktu sudah habis," tegas Bu Aliza.

Melihat raut wajah Bu Aliza, Haniyatul sadar bahwa guru itu memang tidak bisa di ajak kompromi. Tidak seperti guru-guru yang lain.

Haniyatul kembali duduk di tempatnya semula.

Bel sekolah pun berbunyi, menandakan waktu untuk pulang, selama seminggu ini semua siswa di pulangkan pada pukul 11:00 siang. Lebih awal daripada yang biasanya.

Beberapa orang siswa telah beranjak pulang, dan bagi siswa yang piket, mereka mulai merapikan beberapa bangku. Sedangkan, Haniyatul masih mematung di tempat, sudah di pastikan untuk dua nomor jawabannya akan di berikan nilai satu karena salah. Masih untung jika gurunya berbaik hati memberikan nilai satu. Tapi, jika nol? Bisa-bisa ia tidak akan bisa mengalahkan Zaim dan merebut juara umum.

Mukhlis melihat Haniyatul dari kejauhan, Haniyatul tampak kaget dan frustasi. Ia ingin menyapa gadis itu, tapi ia khawatir jika nanti malah membuat suasana hati Haniyatul semakin memburuk. Jadi, Mukhlis lebih memilih untuk berlalu pergi begitu saja.

***

Haniyatul tidak langsung pulang ke rumah, ia singgah di perpustakaan dan belajar. Namun, setelah dua jam berlalu, akhirnya gadis itu tertidur diatas tumpukan buku.

Zaim menyilangkan tangannya. Mengamati Haniyatul yang sedari tadi tertidur pulas. Ia menyandarkan tubuhnya di pintu perpustakaan. Di tangan kanannya terdapat kresek berwana putih yang berisi beberapa jenis minuman yang terdiri dari Nestle Bearbrand alias Susu Beruang, dan You-c1000.

Keringat membasahi dahi Haniyatul. Karena cahaya terik matahari mengenai wajahnya.

Zaim mendekati Haniyatul. Kemudian, menutup jendela yang terbuka lebar, agar cahaya matahari tak lagi mengenai wajah gadis ini. Kemudian ia menyalakan kipas agar Haniyatul bisa tidur dengan nyaman.

Si gadis berlesung pipi yang menjaga perpustakaan hari ini, hanya bisa tersenyum-senyum sendiri ketika melihat sikap manis Zaim.

Zaim mengeluarkan buku dan pulpen dari tasnya. Lantas menuliskan beberapa kata.

Jangan terlalu memaksakan diri.

Kemudian kertas itu dirobekkan dan di lekatkan dengan menggunakan selotip di atas botol minuman You-c1000.

Zaim tahu, Haniyatul sedang sedih karena tadi Mukhlis memberitahunya bahwa jawaban Haniyatul nomor sembilan tertukar dengan nomor delapan untuk soal Akidah Akhlak, tapi Bu Aliza tak membenarkan Haniyatul untuk memperbaiki jawabannya. Gadis ambisius sepertinya sudah tentu akan menganggap hal itu adalah kesalahan terbesar yang pernah di lakukannya.

Sebelum pergi, Zaim sempat tersenyum pada si gadis berlesung pipi sembari merapatkan jari telunjuknya ke bibir sebagai tanda bahwa tidak ada yang bisa mengetahui tentang kejadian hari ini.

Gadis berlesung pipi itu menganggukkan kepalanya menandakan ia mengerti.

_________________tobe continue_______________

1
Ai
mampir, Thor
Tetesan Embun: terima kasih 🥰🙏
total 1 replies
👑Queen of tears👑
bakal sad boy ini zaim 🥴
👑Queen of tears👑
aku bersama mu aydan,,sm² penasaran 🤣🤣🤣
👑Queen of tears👑
nyeeessss/Brokenheart/
👑Queen of tears👑
huhf,,,😤
👑Queen of tears👑
ehmmm🧐
👑Queen of tears👑
kannnn rumit cinta segi delapan itu🧐😎
👑Queen of tears👑
menyukai dalam diam itu sungguh menyiksa kantong
👑Queen of tears👑
temannya aydan,,,mmm cinta segi delapan ini🧐
👑Queen of tears👑
banting Hani🤣🤣
👑Queen of tears👑
nikotin mulai keluar🤣🙈
👑Queen of tears👑
no Hani
but Honey hehehe gak sayang juga sih tapi madu hahahahaha 🤣✌️
👑Queen of tears👑
dingin..dingin tapi peduli m kucing😍
mmm...jdi pengen dipeduliin 🙈
👑Queen of tears👑
hmmmm,,aku mulai menemukan radar disini🧐🧐😎
👑Queen of tears👑
cinta pada pandangan pertama,,dari merangkak naik kemata/Drool/
Rinjani Putri
hallo KK author ijin tinggalkan jejak bintang ya disini
Tetesan Embun: silakan kak, makasih🤗
total 1 replies
Floricia Li
ketat bgt aturannya 😭
Floricia Li
lucu bgt hani 😭😭
Floricia Li
heh ngapain ditarik 🤣🤣
Floricia Li
lucuu bgt masi ada kunang kunang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!