Berselang dua minggu sejak dia melahirkan, tetapi Anindya harus kehilangan bayinya sesaat setelah bayi itu dilahirkan. Namun, Tuhan selalu mempunyai rencana lain. Masa laktasi yang seharusnya dia berikan untuk menyusui anaknya, dia berikan untuk keponakan kembarnya yang ditinggal pergi oleh ibunya selama-lamanya.
Mulanya, dia memberikan ASI kepada dua keponakannya secara sembunyi-sembunyi supaya mereka tidak kelaparan. Namun, membuat bayi-bayi itu menjadi ketergantungan dengan ASI Anindya yang berujung dia dinikahi oleh ayah dari keponakan kembarnya.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka, apakah Anindya selamanya berstatus menjadi ibu susu untuk si kembar?
Atau malah tercipta cinta dan berakhir menjadi keluarga yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Tak Semenakutkan Itu
Anindya berbalik badan, tanpa sengaja rambutnya yang panjang tersibak disusul oleh senyumnya yang mengembang sempurna menatap pria yang sedang berdiri tegak dengan wajah datar tepat di belakangnya.
Praduganya yang meleset membuatnya tidak jadi kecewa lantaran ternyata Arsatya menepati ucapannya.
Namun, berbeda. Melihat Anindya yang terlihat bahagia dengan senyum puasnya, Arsatya langsung membuang muka. Bukan karena kesal melihat ekspresi ceria di wajah cantik itu, tetapi senyuman Anindya begitu mengganggu.
Entah apa yang menyebabkan Arsatya tidak bisa menatap wanita itu lebih lama atau dia akan merasa tidak nyaman berlama-lama bertatapan dengan pemilik netra berbulu mata lentik itu.
“Cepat turun!” perintahnya tanpa menunggu Anindya yang sedang mendekat.
Arsatya berjalan mendahului, dia menuju ke ruangan keluarga. Namun, Anindya tidak setuju seharusnya bukan di sana.
“Ke ruang makan saja,” ajaknya yang tidak mendapat penolakan dari Arsatya karena memang itu hal kecil yang tidak perlu disanggah oleh pria itu.
“Bicara apa?” ucap Arsatya yang memulai saat keduanya sudah berada di meja makan dan dia langsung menarik kursinya.
“Sebentar, tadi Anin buat fuyunghai udang. Semoga masih enak,” jawab Anindya yang lantas membuka lemari penyimpanan makanan dan menarik piring berisi fuyunghai buatannya.
“Aku sudah makan,” kata Arsatya memutuskan bahkan sebelum Anindya menawarkan.
“Kapan? Maksudku, Mas belum makan malam, kan? Temani aku makan malam,” kata Anindya bukan lagi menawarkan, tetapi permintaan.
“Kamu baru makan malam? Semalam ini?” tanya Arsatya sejenak ia melihat ke dinding yang menunjukkan pukul setengah dua belas malam.
Anindya mengangguk, “Iya, baru sempat.”
“Baru sempat? Kenapa bisa? Tidak baik makan malam di jam segini, tidak usah!” tegas pria itu melarang. Kalau pun bukan seorang dokter pun, semua orang akan berpikir dua kali untuk menikmati makan malam di waktu menjelang tengah malam seperti itu.
“Tapi, aku lapar,” lirihnya sendu. Rela tidak rela jika urung menikmati fuyunghai buatannya. Padahal, itu sudah sangat menggoda di matanya.
“Ya sudah, makanlah. Jangan sampai tidak makan, tapi tidak untuk diulangi besok lagi,” cicit Arsatya. Percaya tidak percaya, Anindya tersenyum setelah mendengar persetujuan itu, tidak tahu karena diizinkan makan atau merasa ada sedikit perhatian di sana.
“Kamu juga makan, Mas. Aku yakin pasti kamu juga belum makan, kan? Ayolah, mubazir ‘kan kalau tidak dihabiskan,” ujar Anindya. Namun, Arsatya tetap menggeleng, tangannya malah menjangkau teko berisi air putih di dekatnya.
Tidak peduli pada penolakan itu, dia tetap menyajikan potongan fuyunghai di atas piring dan meletakkannya di hadapan pria itu. Malah, dia lantas menyiramkan saus di atas piring itu.
“Kau tidak dengar apa kataku sebelumnya?” herannya Arsatya yang lagi-lagi seperti tidak didengar saat Anindya terus melakukan apa yang menurutnya benar.
Tentu, bukan Anindya jika dia tidak memaksa.
Bukan Arsatya jika ucapannya diingkari sendiri. Dua orang yang teguh dalam pendiriannya.
“Ayo, cepat. Mau bicara apa?” tanya Arsatya setelah meneguk segelas air putih dari gelasnya.
Anindya bungkam, dia santai menikmati makanannya dengan menatap pria di depannya yang tidak pernah menatapnya dengan benar, “Tidak, sebelum Mas memakan masakanku,” kukuh wanita itu.
“Nggak, nanti bisa gemuk. Rawan penyakit,” ujarnya sama sekali tidak menyentuh makanan di depannya.
“Mas tahu tidak adab di meja makan? Susah payah aku menyajikan, mudahnya kamu menolaknya. Sejak kecil kita diajarkan supaya tidak boleh mengecewakan orang yang sudah membuatkan makanan, terlebih ini masakan–” ceramah Anindya.
“Iya, diamlah. Tidak usah cosplay jadi ustazah,” ucapnya nyinyir pada sang istri. Segera ditariknya piring itu mendekat dan mengambil garpu yang Anindya sodorkan.
Melihat seseorang di hadapannya yang lahap menikmati makanan hasil buatannya, Anindya merasa bangga saat pria itu tidak ragu saat menikmati suap demi suapnya. Sampai di akhir ia mengganti garpunya dengan sendok untuk menuntaskan suapan terakhir beserta dengan sausnya dengan posisi piring yang dimiringkan, habis tak bersisa.
Anindya terkekeh melihat orang yang sangat puas menikmati makanannya. Padahal, dia yang semula ogah-ogahan, kini malah terlihat kurang sampai mencari di bawah piringnya.
“Hehehe, ehem!” kekehan Anindya surut seketika saat dia yang tengah diperhatikan sadar dan menatap sekilas dengan judes padanya.
“Maaf. Bagaimana, enak, tidak?” ujar Anindya menjajakan pendapat.
“Tidak, tapi adabnya memang begitu,” alibinya.
Mengakui masakan itu enak? Tentu saja tidak mungkin karena dia menjunjung tinggi rasa gengsi.
Namun, matanya sesekali melihat pada piring Anindya yang masih tersisa separuh. Anindya membusungkan dadanya, “Kenapa? Mas mau aku buatkan lagi? Apa tidak rawan penyakit?” ujar Anindya menyindir.
Sekarang, Anindya mulai terbiasa dan dia merasa tidak semenakutkan itu berhadapan langsung dengan sang kakak ipar yang selama ini tampangnya garang nan mengerikan.
“Siapa yang memasak ini?”
“Aku, Anindya. Kenapa, enak ‘kan?” tanya wanita itu yang sudah sangat percaya diri dengan mengangkat tangannya untuk menyangga dagunya siap menerima pujian.
“Oh. Kalau Bi Ani yang memasak, maka besok dia tidak akan bekerja di sini lagi. Makanan ini tidak sehat, kolesterol tinggi, too oily,” ujarnya berkomentar seraya mengelap bibirnya dengan selembar tisu dan memperlihatkan seberapa banyak minyak yang menempel pada tisu itu.
Anindya sontak menarik mundur tubuhnya lesu, komentar baik yang dia harapkan sama sekali tidak ada yang keluar dari mulut pria itu.
Tanpa ada kata-kata lagi, keduanya diam. Anindya dengan wajah datar mengambil piring kotor itu untuk kemudian dicuci di wastafel.
“Taruh saja di sana, besok Bi Ani yang akan mencucinya. Istirahatlah,” ucap Arsatya.
Merasa jika wanita itu berubah ekspresi menjadi murung, entah mungkin sebab komentarnya pada masakannya. Jujur saja, pria itu merasa tidak enak hati, “Nin?” panggilnya melembut.
“Hem?” balasnya tanpa menoleh.
“Tadi telurnya lumayan, tapi jangan terlalu keseringan makan seperti itu dan tidak baik makan terlalu malam. Risiko tinggi terkena diabetes dan penyakit lainnya. Setelah ini jangan langsung tidur, tunggu beberapa saat atau nanti bisa terkena gerd,” ujar Arsatya persis seperti dokter yang sedang menceramahi pasiennya.
Wanita itu tersenyum setelah mendengar kata ‘lumayan’, meski setelahnya mendapat peringatan panjang lebar tentang bahayanya. “Iya, pak dokter,” jawab Anindya setelahnya.
Bahkan, kini mereka terlupa apa yang sebenarnya akan dilakukan di maja makan itu. Arsatya sadar, jika dia sudah terlalu banyak bicara. Tanpa aba-aba dia ingin segera pergi dari tempat itu, tetapi kemudian Anindya yang tersadar dengan tujuan awalnya memanggilnya.
“Mas, tunggu! Jadi, aku dibolehin pergi bimbingan tidak? Aku harap kamu tidak mengatakan jika itu mendadak,” ujar Anindya sebelum suaminya pergi dari ruang makan.
“Kemarin kamu sudah memberitahuku,” jawab Arsatya dengan kerutan di dahinya.
Anindya cemberut, “Iya, tapi kamu belum mengatakan boleh atau tidaknya.”
“Menurutmu?”
“Tidak tahu, sebab kamu belum menjawabnya,” ujar Anindya.
“Kamu yang tidak pernah bertanya sebelumnya, hanya memberitahu saja.”
“Oh iya juga,” kata hati Anindya mengakui
Anindya tersenyum, “Oh, jadi harus ada kalimat tanya dulu, nih? Baiklah. Yang terhormat, Bapak Arsatya Pramana, apakah Anda mengizinkan saya pergi ke Jogja untuk melakukan bimbingan pada lusa mendatang?” Anindya bertanya dengan menangkupkan kedua telapak tangannya, berujar secara formal selayaknya tutur bahasa yang paling agung untuk meminta izin supaya tidak ada lagi penolakan.
“Hem,” jawabnya singkat tanpa ekspresi. Lantas, berlalu pergi.
“Mas Satya, ada lagi!” Pekik Anindya sebelum pria itu melangkah lebih jauh.
“Anak kamu sudah bisa tengkurap sejak kemarin!” teriak Anindya yang ingin sekali memberikan kabar perkembangan si kembar pada ayahnya itu.
Kali ini Arsatya tidak memberikan sautan apapun, hanya saja pada bibirnya tercetak senyum simpul dengan penuh kebahagiaan saat mendengarnya.
“Terima kasih,” bibirnya bergerak sunyi, sesunyi embusan napasnya. Entah, berterima kasih pada siapa dan untuk apa. Hanya kata itu yang spontan terucap dari bibirnya.
maaf ya thor
gak cmn mewek kak, gemes,kesel pokoknya nano nano