"Jadilah adik maduku Lia!" Satu permintaan Alina kepada Melia yang membuat kisah persahabatan mereka diwarnai dengan perdebatan. Dan dari sinilah kisah mereka dimulai.
Alina terus berusaha mendesak Melia untuk memenuhi permintaannya itu. Berbagai penolakan yang dilakukan oleh Melia membuat Alina menghindarinya. Lalu bagaimanakah Melia menanggapi sikap Alina? Akankah Melia menyetujui permintaan Alina tersebut?
Ikuti terus kisah mereka yang ada dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ieie fla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
POV Raka - Menyetujui untuk menikah
POV Raka
___
Apa aku tak salah dengar? Tidak! Istriku itu masih meminta Melia untuk menjadi adik madunya. Ketika ku sela, dia pun juga menagih janjiku untuk menikahi Melia! Janji yang sebenarnya kuucapkan sebelum tahu apa isinya.
Bagaimana ini, aku tak mau menyakiti hati istriku lagi tapi aku juga tak mungkin menikahi Melia, apalagi saat tahu kondisi istriku yang tak baik-baik saja.
Tak dapat dipungkiri lagi, kami masih saja berdebat tentang keinginannya Alina. Dia bahkan mengungkapkan fakta-fakta bahwa aku tak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuannya, jadi dia ingin aku dan Aksa diurus oleh Melia.
Dia bahkan sudah berpikir terlalu jauh, jika dia sudah tiada. Oh tuhan aku takut sekali mendengarnya gemetar tubuh ini rasanya seolah-olah jiwa hendak keluar dari raganya. Tak bisa ku bayangkan jika itu terjadi.
Kami hanya bisa diam meresapi perkataan dan alasan yang diungkapkan Alina kenapa dia memilih Melia, yang kalau dipikir-pikir ada benarnya.
Betapapun kami membujuk Alina dan betapa aku mengatakan bahwa aku akan menerima apapun kondisinya, dia tetep kekeh dengan pendiriannya, bahkan ia hampir saja berteriak karena tak ada satupun dari kami yang menerima keinginannya itu.
Setelah terdiam beberapa saat aku menenangkannya dan mengakui bahwa aku mengerti semua alasannya, oleh karena itu ku bujuk lagi dia untuk memikirkan itu nanti, kini kita fokus dulu pada pengobatannya untuk melakukan biopsi.
"Aku mau melihat kamu menikahi Lia dulu Mas, baru aku mau melakukan biopsi!" Alamak ego Istriku tak mau dibantah.
Kami saling berpandangan tak tahu lagi harus bagaimana membujuk Alina. Alina lalu menarik tanganku lalu menyatukan nya dengan tangan Melia. Serr..jantungku berdetak lebih kencang saat menyentuh tangan Melia.
"Tolonglah Mas, nikahi Lia sekarang juga! Aku akan bahagia jika kamu melakukannya. Aku janji demi Allah setelah ini aku akan melakukan semua prosedur pengobatannya, aku akan lakukan apapun itu Mas! Aku mohon Lia!" Alina berbicara dengan penuh permohonan menghadap kepada ku dan Melia secara bergantian. Mulut ini kelu rasanya ya Allah tak kuasa aku menolaknya.
Akhirnya bunda pun menengahi lagi dan menelisik keinginan putrinya itu dengan mempertanyakan kesiapan Alina untuk berbagi suami dengan Melia. Dan ya benar, Alina sangat siap katanya. Sungguh sedih hati ini rasanya, nyatanya istriku mau membagi cintaku dengan yang lainnya.
Hingga bunda pun akhirnya mendukung keinginan putrinya dan juga ikut memohon kepadaku untuk menyanggupi kemauannya Alina. Tak bisa lagi aku berkata tidak, tak sanggup juga aku melukai Alina lebih jauh lagi. Aku benar-benar ingin dia sembuh dan apapun akan aku lakukan, walau harus menikahi Melia sekalipun.
Setelah kami semua menyetujui keinginan Alina, akhirnya dia mau juga di periksa oleh dokter. Alhamdulillah keadaan istriku sudah cukup stabil dan bisa melakukan biopsi secepatnya.
Dan yang lebih menenangkanku lagi yaitu pada malam harinyanya Dokter Mayang mengunjungi kami dan membawa kabar gembira, bahwa dia lusa memiliki jadwal kosong sehingga Alina dapat melakukan biopsi.
Aku sangat senang, akan tetapi seketika Alina mengingatkan ku kembali bahwa dia hanya akan melakukan biopsi setelah aku menikahi Melia seperti yang telah di sepakati.
Oleh karena itu aku dan bunda berkoordinasi dengan baik. Bunda mengatakan bahwa dia akan menghubungi omnya Melia sebagai wali dan mempersiapkan Melia sendiri sebagi pengantinnya. Sementara aku untungnya memiliki teman yang bekerja di kantor agama sehingga aku dapat mengurus pernikahan kami.
Aku juga telah memberitahukan semua yang terjadi kepada ke dua orang tuaku. Papa dengan sangat bijak dapat menerimanya dan mengingatkan kewajibanku sebagai suami dari dua istri. Hanya mama yang awalnya terang-terangan sangat menentang keingianan Alina, akan tapi dia tak mau juga jika terjadi apa-apa pada menantunya itu, ibu dari cucunya. Sehingga dia pun ikut menyetujui, apalagi di depan papa. Lantas setelahnya ternyata mama diam-diam dibelakang papa mengirimiku pesan,
[Nikahi Melia untuk sementara saja sampai Alina sembuh, jangan pakai hatimu Raka. Ingat itu mama gak suka. Jangan bilang papamu!]
Mama ada-ada saja, pakai rahasia-rahasia segala. Tapi jika papa tahu pasti dia akan marah. Aku juga tahu tak mungkin aku pakai hati dengan Melia, ya Allah maafkan hamba-Mu ini. Bukan maksudku untuk mempermainkan pernikahan, tapi rasanya tak mungkin aku berpaling dari Alina. 'Maafkan aku Lia, mudah-mudahan kamu mengerti. Toh kamu juga tak menginginkan pernikahan ini'.
Malam semakin larut, aku pun meminta bunda pulang istirahat di rumahnya karena aku ingin menjaga istriku disini.
"Istirahat lah sayang, biar Mas yang jaga kamu." Ucapku kepada istri tercintaku. Ku pandangi lembut wajah cantiknya yang terlihat sedikit pucat.
"Mas juga istirahat ya." Jawabnya lembut. Lihatlah dia, dia hanya memikirkan orang lain saja.
"Kalau begitu kita tidur bersama ya, Mas pengen peluk kamu." Ku naiki kasur Alina yang cukup lah untuk kami berdua. Kupeluk erat istri tercintaku, ku kecup keningnya dan kuhirup wangi tubuhnya.
"Geli Mas." Ucapnya ketika aku mengendus lehernya.
"Mas kalau tidur di sini sempit tau." Ucapnya lagi manja.
"Biarkan sebentar saja sayang, Mas kangen." Ingin ku puas-puaskan rasanya memeluk istriku.
"Kenapa ih Mas, setiap hari juga ketemunya, masa udah kangen." kata-katanya sangat lembut terdengar di telinga.
Aku hanya mampu terkekeh kecil kepadanya. Sebenarnya ingin sekali aku berkata pada istriku ini, 'biarkanlah kita nikmati malam ini berdua saja sebelum besok akan ada orang ke tiga diantara kita'. Orang ketiga yang kau pilih sendiri untuk menjadi madumu.
"Emangnya ga boleh kangen sama istri sendiri?" Aku pun memberikan alasan lainnya agar istriku tidak sedih.
"Mas, besok.."
"Sudahlah sayang gak usah pikirkan besok, yang penting saat ini kamu bersamaku!" Ku potong langsung ucapan Alina. Tak mau lagi aku mendengar hal lainnya saat berdua bersama istri tercintaku.
"Maaf kan aku Mas, aku.." Lagi-lagi Alina ingin mengatakan sesuatu dan aku pun tak membiarkannya meneruskan perkataannya itu.
"Ssst.." ku kecup bibir istriku agar dia tak perlu lagi untuk meneruskan kata-katanya itu.
Hingga dia dalam diam terlelap di pangkuanku. Ku pandangi lagi wajah teduh istriku, ingin rasanya waktu berhenti saat ini jua. Perlahan ku lepaskan diri ini dari pelukan Alina, agar dia dapat dengan nyaman dalam tidurnya.
***
Saat pagi menyapa kurawat istriku dengan baik, ku suapi dia dan berusaha membuatnya gembira. Setelahnya aku pun pergi untuk mendapatkan dokumen Melia yang sudah ada di tangan bunda. Tentu saja aku pergi atas izin istriku.
Setelah itu aku langsung menemui temanku Yuda yang ada di kantor agama untuk membantuku mengurus pernikahan ke dua ku ini. Sebenarnya aku hanya ingin menikah siri saja tanpa harus mengurus surat ke kantor agama, akan tetapi bunda menolaknya, apalagi permintaan om nya Melia juga harus ada surat-suratnya. Jadilah mau tak mau aku mengurusnya.
Lalu aku pun mengarahkan mobilku ke kantor untuk mengerjakan beberapa hal penting yang berkaitan dengan pekerjaanku. Dan sekalian aku pun meminta izin cuti hingga Biopsinya Alina selesai.
...
Bersambung
padahal ceritanya menark
entar tau rasa loh lakinya cinta mati ke lin... ahhh dia egois gak mikirin perasaan temennya bahagia apa enggak