Medeline Arcela Forza, dijual oleh Kakak tirinya di sebuah tempat judi. Karena hal itu pula, semesta kembali mempertemukannya dengan Javier Antonie Gladwin.
Javier langsung mengenali Elin saat pertemuan mereka yang tak disengaja, tapi Elin tidak mengingat bahwa dia pernah mengenal Javier sebelumnya.
Hidup Elin berubah, termasuk perasaannya pada Javier yang telah membebaskannya dari tempat perjudian.
Elin sadar bahwa lambat laun dia mulai menyukai Javier, tapi Javier tidak mau perasaan Elin berlarut-larut kepadanya meski kebersamaan mereka adalah suatu hal yang sengaja diciptakan oleh Javier, karena bagi Javier, Elin hanya sebatas teman tidurnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chyntia R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Kesepakatan (Javier POV)
Sejak aku jujur pada Elin terkait trauma yang ku derita, gadis itu tampak menjaga jarak padaku. Entah ini perasaanku saja atau memang Elin menghindariku.
Jika diawal aku yang selalu menghindar darinya agar tidak terlibat percakapan dan kontak fisik terlalu jauh, sekarang Elin juga melakukan hal yang sama.
Aku tidak tau apa yang mendasari Elin bersikap seperti itu padaku. Tapi, aku tidak suka dengan sikapnya yang kaku seperti ini. Padahal, aku sudah mulai terbiasa dengan dirinya yang riang dan supel seperti kemarin, nyatanya kini sikap Elin berubah menjadi seperti diawal lagi. Dia seperti membentengi diri.
"Harusnya aku senang dia menutup diri dariku. Bukankah aku sendiri yang memintanya untuk membuang rasa suka itu? Mungkin ini adalah cara Elin untuk melupakanku."
Begitulah batinku mengingatkan diri ini. Ya, memang aku pernah mengatakan padanya untuk membuang rasa terhadapku. Aku bahkan memintanya jangan memupuk perasaan itu. Jadi, perubahan sikap Elin sekarang adalah resiko dari permintaanku.
Tak masalah. Mungkin ini lebih baik jadi aku tak perlu repot memikirkan perasaannya yang terluka jika nanti aku memanfaatkannya.
"Kau mau mengunjungi ibumu lagi hari ini?" tanyaku saat bertemu Elin di pantry.
"Hmm, bolehkan?" tanyanya.
"Yes, of course. Jack akan menemanimu."
Elin mematut senyum. "Yah, lama-lama aku bisa menyukai Jack. Dia baik dan selalu menjagaku," tuturnya tanpa menatapku.
Namun ucapannya itu justru membuat mataku terbelalak. "Kau bilang apa tadi?" tanyaku ingin memastikan.
Elin malah menyengir. "Tidak, aku hanya membuat spekulasi random saja, Kak," katanya.
Aku menggeleng lantas tersenyum miring. "Jangan menyukai Jack, dia itu pecinta wanita," jelasku.
"Benarkah? Kalau begitu dia akan mengajariku banyak hal karena dia berpengalaman," celetuknya.
"What? Jangan macam-macam, Elin."
"Kau tidak berhak melarangku, Kak."
Aku melengos. Lalu bersungut-sungut pergi dari sana saat itu juga.
"Kau tidak menyentuh sarapanmu, Kak?" pekik Elin dari posisinya karena aku sudah berjalan ke arah pintu keluar.
"Tidak!" seruku membalasnya. Aku sudah tak berselera sarapan hanya karena pernyataan Elin yang membuatku kehilangan mood seketika.
Didepan Apartmen, aku bertemu dengan Jack yang menyapaku dan melihat wajahnya justru membuatku kembali emosi.
"Hari ini tidak usah menemani Elin ke Rumah Sakit," titahku pada Jack yang diangguki oleh pria itu.
Saat aku tiba di perusahaan, aku mendapat panggilan dari Elin. Ah, mau apa lagi gadis ini?
"Kak, aku mau ke Rumah Sakit, tapi Jack belum tiba sampai sekarang."
"Dia memang tak akan datang dan tidak akan menemanimu ke Rumah Sakit!"
"Kenapa? Lalu dengan siapa aku menjenguk ibu, Kak?"
"Tidak ada alasan. Tapi kau tetap bisa menjenguk ibumu nanti."
Aku memutus telepon sebelah pihak dan memikirkan siapa yang bisa mengawal Elin untuk menjenguk Bibi Arbei di Rumah Sakit.
"Sepertinya Jack tidak bisa lagi mengawal Elin, karena bisa saja Elin menyukainya." Aku bergumam sendiri didalam ruangan ku.
"... tapi, apa urusannya denganku? Jika mereka saling menyukai itu bukan urusanku, kan?"
Aku mengetuk-ngetuk meja. Menjadi kebiasaan disaat hatiku sedang gelisah.
"Jika Elin dan Jack benar-benar memiliki hubungan, sepertinya aku harus mencari partner lain untuk teman tidurku."
Aku menyandarkan tubu di sandaran kursi kebesaranku. Memikirkan tidak bisa menemukan partner yang seperti Elin lagi, cukup membuat kepalaku berdenyut nyeri.
"Elin tidak banyak tingkah. Dia tidak pernah merayuku bahkan tidak berani menyentuhku. Akan sangat sulit menemukan gadis sepolos dia lagi. Jika dia bersama Jack, apa mungkin Jack akan rela jika Elin tetap menjadi partner tidurku?"
Aku berpikir singkat dan langsung menemukan jawabannya.
"Tidak mungkin," pikirku.
Ah, apa yang ku pikirkan sekarang sepertinya pemikiranku sudah terlampau jauh. Bahkan Elin dan Jack tidak memiliki hubungan, kan? Maksudku belum dan ya ... jangan sampai terjadi atau ketenangan ku yang sekarang akan terancam musnah.
Aku tidak bisa memikirkan jika nanti aku harus mencari partner tidur lain yang akan menyusahkan. Seperti Gwen atau gadis lainnya yang pernah ku bayar untuk menemaniku.
Tangan mereka selalu liar dan seakan sengaja menggodaku. Mereka kira aku membayar untuk melakukan one night stand, padahal tidak begitu sebenarnya. Jadi, mereka akan merepotkan ku nantinya.
Yang jelas, sikap wanita-wanita itu akan berbanding terbalik dengan sikap Elin yang penurut.
"Aku tidak bisa melepas Elin bersama pria lain sebelum aku sembuh. Jadi, mari kita buat kesepakatan lainnya," gumamku dengan rencana yang kini terbersit.
...****...
"Kak? Kau sudah pulang? Aku tidak masak makan siang, karena aku mau ke rumah sakit menjenguk ibu." Elin terkejut saat melihat kepulanganku siang ini.
Elin melihat ke kiri dan ke kanan, seperti mencari sesuatu.
"Apa yang kau cari?" tanyaku memastikan.
"Jack. Dimana dia? Bukankah dia akan menemaniku ke Rumah Sakit?" tanyanya.
"Jack tidak ada. Dia banyak pekerjaan."
"Tapi, Kak? Kau bilang aku bisa menjenguk ibu hari ini."
"Ya memang."
"Kau mengizinkanku pergi sendirian?" Wajah Elin tampak semringah.
"Siapa bilang? Kau pergi bersamaku!"
Gadis itu terdiam, tak lama dia menatapku lekat. "Kau bercanda, kak?" tanyanya.
Aku mengendikkan bahu. "Aku serius, jika kau sudah siap kita berangkat sekarang," kataku datar.
Elin mengerjap beberapa kali sampai akhirnya ia mengangguk dan berkata,
"Aku sudah siap." Dia tampak malas-malasan. Kentara sekali tidak senang pergi bersamaku dan aku tidak menyukai responnya ini.
Sampai di mobil, aku melihat Elin yang terus menatap ke luar jendela. Dia tidak bersemangat.
"Kenapa? Kau sedih karena tidak bisa bertemu dengan Jack hari ini?"
Wajah itu menatapku dengan raut aneh. "Iya, aku sedih karena aku harus pergi bersama kakak bukan bersama Jack," katanya dengan nada yang dilebih-lebihkan.
Aku berdecak. "Sepertinya kau baru mengatakan menyukaiku seminggu yang lalu dan sekarang dengan gampangnya kau beralih pada Jack?" tanyaku dengan nada tak senang.
"Memangnya kenapa? Kan kau sendiri yang memintaku mengkaji ulang perasaanku. Jadi, sekarang aku sedang mengkajinya. Ku pikir Jack tidak buruk, jadi dia bisa ku jadikan kandidat untuk menjadi orang yang ku sukai selanjutnya."
"Dasar bocah. Bagaimana bisa kau berpaling dengan cepat?" gerutuku.
"Apa masalahmu, Kak? Aku menyukaimu salah. Aku mau menjadikan Jack sebagai orang yang ku sukai juga salah. Apa maumu sebenarnya?"
Aku terdiam. Ucapan Elin benar juga. Apa yang ku inginkan sebenarnya? Mumpung dia menanyakannya, lebih baik aku mengajukan kesepakatan yang sempat ku pikirkan saat di kantor tadi.
"Mauku adalah kau menyetujui sebuah kesepakatan denganku," kataku selanjutnya.
"Kesepakatan? Kesepakatan apa?"
"Selama kau masih menjadi partnerku, kau tidak boleh menjalin hubungan dengan lelaki manapun. Mau itu Jack atau siapapun."
"Kenapa? Jika Jack tidak masalah dengan semua ini, kenapa kau membatasinya? Aku bahkan baru mau pendekatan dengannya," kata Elin membuat mataku membeliak saat mendengarnya.
"Intinya tidak boleh!" ketusku sambil tetap fokus mengemudikan mobil menuju rumah sakit dimana Bibi Arbei dirawat.
"Dasar aneh! Disukai tidak boleh, menyukai orang lain juga tidak boleh." Elin menggerutu sekarang dan aku tersenyum puas karena hal ini.
"Jika kau melanggar kesepakatan ini maka kau akan ku kembalikan pada Aro."
"Apa? Kau bilang apa, Kak? Ini namanya pengancaman."
"No, Elin. Ini bukan pengancaman tapi ini namanya intimidasi."
"Sama saja!" desis Elin sembari memutar bola matanya.
"Kau setuju atau tidak?"
"Kapan kau sembuh? Aku mau segera terbebas darimu!" katanya keras.
Aku terdiam. Aku sendiri tak dapat memastikan kapan aku sembuh. Aku tidak bisa memberikan jawaban pada Elin terkait hal ini.
"Jalani saja semua ini, Elin. Tidak ada yang merugi, kan? Bahkan hidupmu terjamin dalam kendaliku."
Elin membuang muka, entah apa yang dia pikirkan sekarang. Tapi aku pikir dia mulai jenuh dengan semua ini. Atau, ada hal yang dia tutupi dan akulah yang salah memperkirakan?
...Bersambung ......