Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Berhenti Berharap
“Lho, lho…”
Nina—salah satu staf perempuan di kelurahan—mendadak terlonjak dari kursinya. Suaranya yang melengking membuat Adam, yang baru saja masuk dari pintu belakang, spontan memekik kecil.
“Ngapain teriak-teriak, Nin? Kaget orang!” omel Adam sambil menutup pintu.
Nina masih berdiri dengan mata melebar, tangan kirinya menutup mulut, sementara tangan kanannya memegang ponsel yang masih menyala. Tatapannya tak lepas dari layar itu.
“Lihat apaan? Setan?” tanya Adam, separuh kesal, separuh penasaran.
“Gawat… gawat banget, Mas Adam. Pak Lurah mana?” tanya Nina gelisah.
“Pak Lurah tadi izin telat sebentar. Katanya mau nganter adik-adiknya sekolah dulu, ban motor mereka bocor.” Adam mendekat sambil mengerutkan dahi. “Emang kenapa sih?”
“Aduh… gawat, Mas…” Nina memandangnya dengan wajah cempreng panik.
“Gawat apaan, Nin?”
“Temanku kirim foto. Dia lagi di rumah sakit.”
“Foto apaan? Setan?” ulang Adam, makin tak sabar.
“Lebih serem dari setan. Nih!” Nina menyodorkan ponselnya.
Adam mengambilnya, dan begitu melihat apa yang ditampilkan layar, ia langsung berseru, “Eh buset! Ini emang lebih serem dari penampakan kuntilanak baju merah!”
“Makanya! Pak Lurah mana?” Nina kembali panik.
“Ya mana aku tahu…” Adam mulai gelisah. “Ini… harus kita laporin apa gimana?”
Nina menepuk dahinya. “Aku juga bingung, Mas. Ini Nadya ngapain coba? Pakai acara nemuin Mbak Jelita segala. Di rumah sakit pula!”
“Heran aku,” gerutu Adam. “Perempuan kok bisa segitunya. Suka boleh, tapi jangan sampai bikin ilfeel lah. Sudah ditolak halus nggak sadar-sadar. Ditolak keras, nanti baper.”
“Iya, Mas. Aku yang perempuan aja malu lihat tingkahnya,” dengus Nina. “Kemarin gosip sampai heboh satu kelurahan, sekarang malah datang ke rumah sakit. Untungnya ada warga yang nggak gampang termakan gosip murahan itu. Tapi ya gini jadinya… warga jadi berkubu.”
Memang setelah klarifikasi kemarin, sebagian warga mulai percaya bahwa Rian tidak melakukan hal tercela seperti yang digosipkan. Bahkan, beberapa sudah terang-terangan mendukung Rian–Jelita daripada Rian–Nadya. Meski begitu, tetap ada warga yang tetap keras menjodohkan Rian dengan Nadya.
Saat Nina hendak bicara lagi, suara langkah terdengar dari pintu depan.
“Pagi,” sapa seseorang.
Mereka berdua spontan menoleh.
Rian baru saja masuk, masih memasang wajah serius setelah perjalanan dari kedua adik kembarnya sekolah.
Adam dan Nina saling pandang seperti dua orang yang baru ketahuan menyembunyikan bom.
Rian mengerutkan dahi. “Ada apa? Dari tadi kalian heboh banget.”
*
*
*
“Silakan duduk.” Dengan suara tegas dan profesional, Jelita mempersilakan Nadya duduk di kursi tempat biasa ia menerima pasien.
Nadya melangkah anggun seolah ingin menunjukkan kepercayaan diri, lalu kemudian duduk. Jelita ikut duduk di kursinya, menyilangkan tangan di pangkuan dengan sikap tenang.
“Saya langsung saja, Mbak,” ucap Nadya ketika Jelita baru saja menarik napas untuk memulai percakapan.
“Mbak ada hubungan apa sama Mas Rian?”
Jelita tidak terkejut. Ia hampir bisa menebak isi pertemuan ini.
“Saya tidak punya hubungan apapun dengan Pak Lurah,” jawab Jelita datar.
Nadya mendongak sedikit, jelas tidak percaya. “Kalau memang tidak ada hubungan, kenapa kalian terlihat dekat? Sampai bisa jalan pagi bareng?”
Dengan tatapan tetap ramah namun kokoh, Jelita menjawab, “Saya tidak tahu apa definisi ‘dekat’ menurut Anda, Mbak Nadya. Kalau saya naik taksi, apakah itu berarti saya dekat dengan supir taksinya?”
Nadya terdiam beberapa detik. Dirinya merasa tersindir atas omongan Jelita.
“Lalu soal lari pagi,” lanjut Jelita, “itu hanya kebetulan saya bertemu dengan Pak Lurah.”
“Kalau cuma kebetulan, kenapa warga bisa bergosip kalian punya hubungan?” serbu Nadya, suaranya meninggi.
“Mengenai gosip warga, kenapa tidak anda tanyakan langsung pada warga?” balas Jelita tanpa perubahan ekspresi.
Jawaban tersebut semakin memancing kekesalan Nadya. Sementara Nadya mulai emosional, Jelita tetap duduk tegak, seolah tidak tergoyahkan.
“Kalau memang nggak ada apa-apa, kenapa Mbak nggak klarifikasi? Kenapa Mbak diam? Gara-gara Mbak diem, warga jadi mikir yang aneh-aneh!” gerutu Nadya.
“Kenapa anda yang resah?” Jelita balik bertanya lembut namun menekan. “Saya yang digosipkan itu saja.. biasa saja. Sama seperti anda yang diam saja ketika warga menggosipkan anda hamil di luar nikah dengan Pak Lurah.”
Wajah Nadya memerah. “Jangan ikut campur masalah saya, Mbak!”
“Maka anda juga jangan ikut campur masalah saya,” jawab Jelita yang kini nadanya mulai mengeras. “Kalau anda punya masalah dengan Pak Lurah, selesaikan dengan beliau. Bukan mendatangi saya seperti ini. Saya tidak punya urusan apapun dengan kalian berdua.”
“Mbak kok jawabnya gitu, sih?” bentak Nadya, tapi suaranya terdengar mulai goyah.
“Karena apa yang saya ucapkan benar, Mbak Nadya.”
Jelita mengepalkan tangan di pangkuannya, menahan diri agar tidak terpancing emosi, namun matanya menatap langsung ke mata Nadya. Tajam… dan jelas tidak takut.
Suasana menjadi hening beberapa detik sebelum Nadya kembali bicara.
“Begini aja deh,” ujar Nadya akhirnya, mencoba mengambil alih kendali meski nada bicaranya terdengar ragu. “Tolong… Mbak jauhin Mas Rian. Jangan deket-deket lagi. Saya nggak mau orang salah paham. Saya cuma… nggak mau disakitin lagi.”
Jelita mencondongkan tubuh sedikit ke depan. Tatapannya dingin namun sangat terkontrol.
“Pertama,” ucapnya pelan namun tegas, “saya tidak mengejar Pak Lurah. Jadi saya tidak perlu ‘menjauh’. Kedua, bukan hak anda mengatur siapa yang boleh saya temui atau tidak.”
Nadya terlihat menelan ludah.
“Dan ketiga…” Jelita menegakkan duduknya. “Kalau anda khawatir warga salah paham, silakan bicarakan pada warga. Bukan pada saya. Saya tidak bertanggung jawab atas rasa cemburu anda.”
Wajah Nadya langsung pucat. Ia kalah telak.
“Mbak…” suaranya melemah, berbeda jauh dari anggunnya saat masuk tadi.
Jelita berdiri sambil tersenyum sopan. “Kalau tidak ada keluhan kesehatan, saya rasa pertemuan kita cukup sampai di sini.”
Nadya terdiam. Ia hanya bisa bangkit dengan wajah kesal bercampur malu. Jelas ia tidak berhasil mendapatkan apa pun dari Jelita, bahkan justru pulang dengan perasaan kalah.
****
Nyanyi dulu yoook...
Aku pulang... Tanpa dendam... Kuterima... Kekalahanku....
Wkwkwkwk
Jangan lupa sesajen buat author, ya. Biar retensinya bagus, jadi author bisa lanjut nulis cerita Jelita dan Rian ini. Cerita author satu lagi nggak lulus retensi, jadinya author sedih kan nggak bisa lanjut 😭😭
cabe setan 1 kg 90
rawit 1 kg 70.... ya allah.....😭😭😭😭😭 bawang merah 1 kg 50
Rian harus siapkan mental menghadapi papa Fadi dan kakek Doni
😁
Pak Lurah tolong ya diperjelas, statusnya Nadya buat pak Lurah itu apa. Jangan sampai warganya bergosip lagi lho😂