Kumpulan kisah misteri menceritakan tentang cerita legenda misteri dan horor yang terjadi di seluruh negeri berdasarkan cerita rakyat. Dalam kisah ini akan di ceritakan kejadian-kejadian mistis yang pernah terjadi di berbagai wilayah yang konon mwnjadi legenda di seluruh negeri bahkan banyak yang meyakini kisah ini benar-benar terjadi dan sebagian kisah masih menyimpan kutukan sampai sekarang, Di rangkai dalam kisah yang menyeramkan membuat para pembaca seperti merasakan petualangan horor yang menegangkan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqbal nasution, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1d. Kisah Jembatan Seunapet
Malam sudah semakin larut, namun Yoga masih duduk di kursi reyot sebuah rumah judi gelap di pinggiran kota. Wajahnya pucat, keringat menetes deras dari pelipis. Di hadapannya, tumpukan uang sudah habis di sapu lawan main. Tangannya bergetar, hanya tersisa segenggam receh dan sisa hutang yang menumpuk.
"Sudah kalah banyak kau Yoga... gak usah maksa," ejek seorang bandar. "Bayar hutangmu, atau jangan pernah kembali."
Yoga menelan ludah. Ia berdiri dengan langkah gontai, meninggalkan meja dengan wajah penuh amarah. "Dasar sial! Semua gara-gara setan itu... sejak kejadian itu hidupku hancur!" geramnya sendiri, menendang kursi hingga terjungkal.
Ia lalu keluar dari rumah judi dan menyalakan motornya menembus malam yang semakin larut. Jalanan kota yang lengang terasa aneh, suara anjing melolong panjang terdengar dari kejauhan. Yoga mengendarai motornya dalam kondisi mabuk bercampur emosi, melintasi jalan gelap yang menembus hutan.
Sesampainya di jembatan Seunapet, kabut tebal turun mendadak. Mesin motor tiba-tiba mati. Lampu padam, meninggalkan Yoga dalam kegelapan pekat.
"Bangsat sialan! Kenapa harus di sini lagi?!" teriaknya gusar, mencoba mengengkol motor berulang-ulang.
Namun sebelum mesin berbunyi, terdengar suara langkah pelan dari atas jembatan... duk... duk... duk... seperti kaki telanjang melangkah di papan kayu.
Yoga menoleh. Dari balik kabut, muncul sosok Halimah. Rambut panjangnya basah menempel di wajah, gaun putihnya robek dan berlumuran darah. Tapi kali ini, ia berdiri sambil menunduk. Kepalanya perlahan terangkat, menampakkan wajah hancur, mata kosong, dan mulut sobek yang meneteskan darah hitam.
"Yoga..." suara itu bergetar, lirih namun menusuk--membuat bulu kuduk Yoga merinding. "Saatnya giliranmu yang harus membayar..."
Yoga mundur panik, meraih batu dan melempar ke arah sosok itu. Batu hanya menembus tubuhnya, dan Halimah tetap melangkah maju. Tiba-tiba papan jembatan bergetar keras, suara kayu berderit seperti akan patah.
Yoga berlari, tapi dari arah berlawanan muncul bayangan lain--bukan Halimah, melainkan tubuh Yudi dan Jamal yang pucat, mata melotot dengan wajah hancur penuh darah. Mereka mendekat sambil tubuh berlumuran darah.
"Ikut dengan kami... Yoga..." suara mereka serak, serempak.
Yoga menjerit histeris, tubuhnya gemetar hebat. Ia berlari ke pinggir jembatan, tapi langkahnya tergelincir. Sebelum sempat bangkit, arwah Halimah sudah berada tepat di atasnya, wajahnya mendekat--begitu dekat, hingga Yoga bisa mencium bau anyir darah dari napasnya.
Mulut Halimah terbuka lebar--terlalu lebar - hingga rahangnya terbelah, lalu ia menelan kepala Yoga hidup-hidup. Jeritan Yoga terputus seketika. Tubuhnya bergetar hebat sebelum akhirnya terkulai, darah muncrat membasahi papan jembatan.
Ketika pagi datang, warga kembali gempar, seorang petani menemukan tubuh Yoga tanpa kepala--tergantung di sisi jembatan dengan usus terburai. Kepalanya tak pernah ditemukan.
Kabar menyebar begitu cepat. Orang-orang desa sekitar begitu yakin: arwah Halimah sedang menagih nyawa, satu persatu akan jadi korban dengan cara paling mengerikan.
*****
Kematian teman-teman mereka membuat Gibran dan Ibnu tak bisa tidur tenang. Malam demi malam, keduanya mendengar bisikan dari balik kegelapan, pintu kamar kos mereka terbuka sendiri, bayangan rambut panjang terpantul di cermin, meski tak ada siapa-siapa di sana.
Gibran, yang selama ini bersikap keras kepala, mulai kehilangan kewarasan. "Dia pasti datang balas dendam ke kita Ibnu. Aku sering melihat wajahnya di setiap sudut rumah... setiap aku menutup mata, bahkan kadang tiba-tiba muncul melalui cermin - ia berdiri di belakangku."
Ibnu menarik napas sambil menelan ludah, wajahnya makin pucat. "Kita harus ambil tindakan... harus cepat cari bantuan... seorang dukun atau paranormal. Hanya itu jalan yang terbaik agar kita terlindungi."
Akhirnya keduanya sepakat dan mencari informasi tentang keberadaan dukun terbaik.
Mereka berhasil menemui seorang dukun tua perempuan yang terkenal mampu menaklukkan mahluk gaib. Dukun itu di panggil Mak Inah. Rumahnya berada di pinggir hutan, penuh bau kemenyan, dengan deretan tengkorak ayam dan botol berisi cairan aneh tergantung di langit-langit.
Mak Inah menatap tajam, seolah merasa tahu rahasia kedua pemuda itu.
"Kalian membawa dosa yang sangat besar... arwah wanita itu bukan sembarang hantu, tapi roh penasaran yang menuntut balas hanya dengan darah. Kalian tak mungkin bisa lari. Tapi... kalian tak perlu takut... aku bisa menghentikannya."
Ia menyiapkan ritual khusus di tengah malam: lilin hitam dinyalakan melingkari mereka, kemenyan mengepul, dan bacaan mantera dilantunkan.
Ibnu dan Gibran duduk gemetar di tengah lingkaran, sementara mak Inah menyembelih ayam hitam sambil membaca mantera, darah ayam hitam menetes ke tanah.
Namun ketika bacaan mantera mencapai puncak, udara mendadak membeku. Lilin berkedip-kedip, satu persatu padam. Kabut hitam pekat masuk melalui jendela, memenuhi ruangan. Suara perempuan lirih terdengar, semakin lama suara itu semakin nyaring--keras, hingga berubah menjadi jeritan mengerikan.
"Tak ada yang bisa melindungi kalian... darah kalian adalah milikku!"
Lilin meletup satu per satu, menyemburkan api biru. Mak Inah berteriak, mencoba melawan dengan bacaan mantera-mantera ajaibnya, tapi tiba-tiba tubuhnya terangkat ke udara, lalu terhempas keras ke dinding. Darah memuncrat dari mulutnya, dan tubuh renta itu langsung tewas seketika dengan mata melotot tajam.
Ibnu dan Gibran menjerit ketakutan. Dari tengah lingkaran asap muncul sosok arwah Halimah, kali ini wajahnya lebih mengerikan dari sebelumnya - kulitnya terkelupas, matanya kosong penuh darah, dan aroma tubuhnya diselimuti bau busuk kematian.
Ibnu dan Gibran segera berlari, namun tiba-tiba Ibnu terpelesat dan jatuh sebelum mencapai pintu rumah. Namun Gibran berhasil melarikan diri meninggalkan Ibnu di dalam pondok bersama sosok Halimah.
Ibnu mencoba bangkit, namun pintu rumah tiba-tiba tertutup rapat. Ia merayap mundur ke sudut ruangan, wajahnya penuh keringat dan air mata. "Ampuni aku, Halimah! Jangan ambil nyawaku! Aku akan lakukan apa saja yang kau minta, tapi tolong ampuni aku."
Tapi Halimah hanya mendekat pelan, menunduk hingga wajahnya yang hancur dan berlumur darah hampir menempel pada Ibnu. Senyum lebar muncul di bibir sobeknya.
"Ampun... hi-hi-hi.." tawa Halimah membuat Ibnu makin ketakutan, "kata -kata itu yang kumohon pada saat kalian memperkosa lalu membunuhku...hi-hi-hi-hi."
Ibnu semakin ketakutan, ia bersujud sambil memohon, "Maafkan aku Halimah... Gibran yang memaksa kami berbuat jahat padamu, aku hanya ikut-ikutan tapi tak ada bermaksud berbuat jahat."
Hi-hi-hi arwah Halimah tersenyum bengis, "Terlambat... tak ada kata ampun..."
Jeritan Ibnu mengguncang malam, sebelum suaranya berhenti mendadak. Rumah pondok Mak Inah mendadak hening, hanya tersisa bau anyir darah dan kabut yang perlahan menghilang terbawa angin malam.
Keesokan harinya, salah seorang warga yang baru pulang dari Sholat Subuh di Masjid menemukan rumah dukun itu berantakan, darah berceceran di lantai, tapi tak ada tubuh atau mayat yang tertinggal di situ.
Tubuh Ibnu dan Mak Inah hilang entah kemana. Hanya satu hal yang tertinggal di tengah ruangan: sebuah jejak darah dan beberapa sesajen yang berserakan di lantai ruangan.