NovelToon NovelToon
Incase You Didn'T Know

Incase You Didn'T Know

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:752
Nilai: 5
Nama Author: Faza Hira

Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14 (Part 2)

Waktu Ashar masuk. Bunga bangkit dari kasurnya. Ia merasa kotor, bukan hanya secara fisik. Ia mengambil wudhu di kamar mandinya. Air yang dingin terasa menenangkan di wajahnya.

Saat ia keluar dari kamar mandi, ia mendengar suara air dari kamar mandi Arga di seberang lorong. Laki-laki itu juga akan sholat.

Bunga menggelar sajadahnya di dalam kamar, menghadap kiblat. Saat ia mengangkat tangan untuk takbir, ia tahu bahwa di kamar sebelah, Arga juga sedang melakukan hal yang sama.

Mereka sholat di waktu yang sama, di apartemen yang sama, terpisah oleh dinding tipis. Ritual yang seharusnya menyatukan, kini justru menyoroti betapa terpisahnya mereka.

Saat ia duduk tahiyat akhir dan mengucap salam, ia berdoa.

Ya Allah, Bunga tahu Bunga salah. Bunga sudah bohong. Maafkan Bunga. Tapi Bunga nggak suka dibentak. Bunga nggak suka didiamkan seperti ini. Bunga nggak tahu harus bagaimana. Tolong... tolong lembutkan hati Mas Arga. Bunga nggak mau sendirian di sini.

Doa itu tulus. Dan untuk pertama kalinya, ia sadar. Yang ia takuti bukanlah amarah Arga. Yang ia takuti adalah kehilangan Arga. Kehilangan kehadirannya. Kehilangan rasa aman yang, meski ia benci mengakuinya, kini menjadi candu baginya.

Malam tiba. Langit Jakarta berubah dari oranye menjadi hitam pekat, dihiasi lampu-lampu kota.

Bunga belum makan apa-apa sejak makan siang opor yang menyedihkan itu. Perutnya keroncongan.

Ia memberanikan diri keluar kamar lagi.

Apartemen itu sunyi senyap. Lampu ruang tamu menyala redup. Pintu kamar Arga masih tertutup. Apa laki-laki itu tidur? Atau dia sengaja tidak keluar?

Bunga berjalan ke dapur. Ia membuka kulkas.

Opor ayamnya sisa sedikit sekali. Cukup untuk dua suap. Ia menatapnya dengan sedih. Lalu matanya beralih ke... yoghurt stroberi. Yoghurt yang Arga belikan untuknya.

Hatinya terasa perih.

Ia menutup kulkas. Ia tidak mau makan opor sisa. Ia juga tidak mau menyentuh yoghurt itu.

Apa Mas Arga sudah makan?

Pikiran itu melintas begitu saja. Ia tahu Arga tidak keluar apartemen seharian. Ia juga tidak mendengar suara delivery makanan. Apa dia makan roti lagi?

Bunga membuka lemari dapur. Ia mengambil sebungkus mi instan. Makanan pelarian di saat darurat.

Saat ia sedang merebus air, pintu kamar Arga terbuka.

Jantung Bunga serasa berhenti. Ia membelakangi Arga, pura-pura sibuk dengan pancinya.

Ia mendengar langkah kaki Arga. Laki-laki itu berjalan ke dapur. Berdiri di belakang Bunga. Bunga bisa merasakan kehadirannya.

Arga membuka kulkas. Hening sejenak. Lalu kulkas ditutup.

Bunga menoleh sedikit.

Arga sedang memegang... kotak yoghurt stroberi itu.

Laki-laki itu berjalan ke meja makan. Ia duduk di sana. Tepat di kursi yang sama dengan Bunga tadi siang. Ia membuka tutup yoghurt itu dan mulai memakannya dengan sendok. Sendirian. Dalam diam.

Bunga menatap punggung Arga. Laki-laki itu makan yoghurt kesukaan Bunga. Apakah itu sebuah pesan? 'Kamu bukan siapa-siapa, bahkan makanan kesukaanmu pun akan saya makan?'

Atau... apakah dia memang hanya lapar dan itu satu-satunya yang terlihat menarik?

Keheningan itu terlalu berat. Udara di apartemen terasa tipis. Suara air mendidih di panci Bunga terdengar seperti raungan.

Bunga tidak tahan lagi.

Ia mematikan kompor. Ia berbalik.

"Mas Arga..."

Suaranya lirih, nyaris tidak terdengar.

Arga berhenti. Sendoknya menggantung di udara. Ia tidak menoleh.

"Mau sampai kapan kayak gini?" tanya Bunga, suaranya bergetar.

Arga diam.

"Bunga... Bunga nggak bisa," lanjut Bunga. "Bunga nggak bisa tinggal di sini kalau... kalau kita kayak gini."

Ia berjalan mendekati meja makan. "Bunga tahu Bunga salah. Bunga bohong. Bunga minta maaf. Beneran. Bunga janji nggak akan bohong lagi sama Mas."

Ini dia. Ia mengatakannya. Ia menyerahkan seluruh harga dirinya.

Arga masih diam. Ia menatap mangkuk yoghurtnya. Rahangnya terlihat mengeras.

"Bunga cuma..." Bunga melanjutkan, putus asa, "Bunga cuma takut Mas Arga marah. Bunga nggak mau Mas Arga mikir Bunga... cewek aneh. Bunga cuma pengen punya teman."

Keheningan menggantung selama sepuluh detik yang terasa seperti sepuluh tahun.

Akhirnya, Arga meletakkan sendoknya. Pelan.

Dia berbalik di kursinya, menatap Bunga. Wajahnya terlihat sangat lelah. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas di bawah lampu pantry.

"Saya," katanya, suaranya serak. Ia berdeham. "...Mas juga minta maaf."

Mata Bunga membelalak. Ia tidak salah dengar?

Arga tidak menatap matanya. Ia menatap ke lantai. "Kata-kata Mas semalam... keterlaluan."

Dia mengakuinya.

"Saya nggak berhak bilang kamu 'gampangan'. Saya juga nggak berhak bilang kamu 'bukan siapa-siapa'. Itu... salah. Mas... emosi."

Bunga merasakan air matanya kembali jatuh. Tapi kali ini bukan karena sakit hati. Ini adalah tangis lega.

Tembok es di antara mereka retak.

"Kenapa... kenapa Mas Arga seemosi itu?" tanya Bunga pelan, memberanikan diri. "Sampai... sampai Mas bilang gitu?"

Arga akhirnya mengangkat wajahnya. Matanya bertemu dengan mata Bunga. Ada sesuatu di sana. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar marah. Ada... ketakutan?

"Mas nggak suka dibohongi, Bunga," katanya. "Terutama sama kamu."

Ia berhenti sejenak. "Dan Mas..." Ia terlihat ragu. "Mas nggak suka ide ada cowok lain yang mentraktir kamu. Dan minta kamu kabari dia."

Itu adalah pengakuan paling jujur yang pernah Bunga dengar darinya. Itu bukan logika seorang 'kakak'. Itu adalah... sesuatu yang lain. Sesuatu yang posesif.

"Mas Arga... cemburu?" tanya Bunga lagi. Kali ini bukan dengan nada menuduh, tapi dengan nada ingin tahu yang tulus.

Arga menatapnya lama.

"Mungkin," jawabnya pelan. "Mungkin Mas cemburu. Mungkin Mas cuma nggak suka ada yang mengganggu 'proyek' Mas."

"Proyek Sarjana?"

"Ya."

Keduanya terdiam. Udara tidak lagi sedingin es. Kini terasa... hangat. Canggung, tapi hangat.

"Jadi... kita baikan?" tanya Bunga, suaranya terdengar kecil seperti anak-anak.

Arga menatap yoghurt stroberinya. Lalu ia menatap mi instan Bunga yang setengah jadi di atas kompor.

Ia menghela napas. Ada senyum yang sangat tipis, nyaris tak terlihat, di wajahnya. Senyum lelah.

"Masakan kamu masih ada sisa?"

"Opornya... habis," kata Bunga. "Mas Arga makan yoghurtnya."

"Ini nggak enak," kata Arga, mendorong yoghurt itu. "Terlalu asam."

Bunga tahu Arga bohong lagi.

"Tapi... Bunga bisa buatin telur dadar. Sama nasi," tawar Bunga.

"Telur dadar," ulang Arga. Ia terlihat mempertimbangkannya. "Pakai cabai rawit."

"Siap!" kata Bunga.

Ia berbalik ke dapur, menyalakan kompor lagi. Air untuk mi instannya ia buang. Ia mengambil telur dan cabai dari kulkas.

Arga tidak kembali ke kamarnya. Ia tetap duduk di meja makan, laptopnya tertutup. Ia memperhatikan Bunga memasak dalam diam.

Perang dingin telah berakhir. Tidak ada pemenang. Hanya ada dua orang yang terluka, yang sama-sama tahu bahwa 'perjanjian' mereka jauh lebih rumit dari yang mereka bayangkan.

Bunga memecahkan telur ke dalam mangkuk. Tangannya tidak lagi gemetar.

1
indy
Ceritanya bikin senyum-senyum sendiri. arga latihan sekalian modus ya...
minsook123
Suka banget sama cerita ini, thor!
Edana
Sudah berhari-hari menunggu update, thor. Jangan lama-lama ya!
Ivy
Keren banget sih ceritanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!