NovelToon NovelToon
Muslimah Gen Z: Iman,Cinta, Dunia.

Muslimah Gen Z: Iman,Cinta, Dunia.

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Identitas Tersembunyi / Teen Angst / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu / Berondong
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: syah_naz

Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.

Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.

Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah.
lanjut? 🤭

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

adikku yang tak mengenalku

"Oohh… gue kira ada apa-apa sama lu,” ucap Zio sambil tertawa kecil.

Syahnaz pun ikut terkekeh, berusaha agar suaranya terdengar normal supaya Zio tidak curiga.

“Ouhiya, gue hampir lupa. Lu jadi nggak daftar di Universitas bayangkara? Biar kita bareng daftar, Naz,” ujar Zio santai.

“Iya jadi lah… masa nggak,” jawab Syahnaz cepat.

> “Yaudah, Zio, aku matiin dulu ya. Aku lagi bikin kue, nanti hangus,” ucap Syahnaz, berusaha terdengar wajar padahal jantungnya berdetak kencang.

Tepat saat itu, tangan Reyhan menyentuh pundaknya dari belakang.

“Ouuh iya iya, nanti aja kita lanjut ngomongin, ya,” ucap Zio sebelum telepon terputus.

Begitu panggilan berakhir, Reyhan langsung merebut ponsel Syahnaz dari tangannya.

Tatapan matanya tajam.

> “Siapa lu?” tanyanya datar, dingin.

“...Itu, temen,” jawab Syahnaz gugup.

“Temen apa temen?” nada suaranya rendah, seolah menekan.

Syahnaz mengerutkan alis.

> “Iya temen! Emang kenapa sih?” suaranya sedikit meninggi, menahan emosi.

> “Apasih sebenarnya yang dia mau dari aku? Nggak jelas banget nih orang,” batinnya kesal.

“Lu nggak mau pulang?” tanya Syahnaz akhirnya, hati-hati.

Reyhan mendekat, menundukkan kepala hingga bibirnya hampir menyentuh telinga Syahnaz.

> “Lu ngusir gue?” bisiknya pelan tapi menusuk.

Bulu kuduk Syahnaz langsung meremang.

> “Ya Allah… nih orang kalau ngomong bikin merinding mulu,” batinnya, kesal sekaligus takut.

“Gue mau tidur di sini,” ucap Reyhan datar.

Syahnaz sontak membelalak.

> “Hah!? Tidur di sini!? Nggak, nggak boleh! Enak aja! Aku dari tadi udah sabar, ya, ngadepin kamu!” serunya, berdiri dan menatap Reyhan dengan berani.

“Dan sekarang kamu mau aku diem aja!? Semaunya banget sih kamu!” lanjutnya sambil menunjuk dada Reyhan.

Reyhan hanya terkekeh geli, bukannya marah.

> “Akhirnya, keluar juga sifat aslinya,” ucapnya dengan senyum tipis.

Syahnaz masih menatapnya dengan kesal, jari telunjuknya mendorong dada Reyhan dengan gemas tapi penuh emosi.

Di dalam hati Reyhan, ada keinginan kuat untuk mencubit pipi Syahnaz — tapi ia menahan diri.

> “Malah ketawa? Nggak jelas banget, nih orang,” gerutu Syahnaz kesal sambil melipat tangan di dada.

> Setelah beberapa detik saling tatap, Syahnaz akhirnya mendengus kesal.

“Ahaa… pulang gih sanaaa!! Aku mau tidur!” ucapnya sambil merengek seperti anak kecil yang ngambek.

Reyhan hanya melipat tangan di dada, wajahnya tetap datar.

> “Gue mau tidur di sini,” ujarnya tanpa goyah sedikit pun.

Syahnaz refleks mendorong dada Reyhan dengan sekuat tenaga. Tapi tubuh Reyhan sama sekali nggak bergeming.

> “Akhhh! Kayak patung aja, berat banget sih kamu!!” keluhnya frustasi.

Reyhan malah tertawa pelan melihat usaha Syahnaz yang sia-sia sejak tadi.

> “Gue cuma mau tidur di sini, ngejagain lo,” katanya santai sambil menahan tawa.

> “Nggak! Laki-laki dan perempuan itu nggak boleh bareng di tempat tertutup kayak gini, tahu nggak!? Bisa jadi fitnah! Apalagi kalo sampe tidur bareng!” sergah Syahnaz cepat dengan ekspresi panik bercampur malu.

Reyhan hanya menaikkan sebelah alisnya.

> “Ayolah, Kakak yang ganteng… keluar, yaaa~” ucap Syahnaz dengan nada manja, mencoba membujuk dengan cara terakhir.

Ketika Reyhan tetap diam di tempatnya, Syahnaz pura-pura menangis.

> “Ayolah, Kak Reyhan… keluar yaa… huhuhu…” rengeknya, lengkap dengan air mata tipis di pelupuk mata.

> “Ummi… ada orang asing masuk apartemen Syahnaz, Ummi…” ucapnya lagi dengan suara gemetar, seperti anak kecil yang minta tolong.

Reyhan langsung mendekat dan berjongkok di hadapan gadis itu.

> “Heyy… ngapain kayak gitu? jangan bawa bawa ummi yaa...” ucapnya lembut tapi bingung.

Syahnaz buru-buru menghapus air matanya dan menunjuk ke arah pintu.

> “Pulang sana…” katanya pelan tapi tegas.

Reyhan menghela napas berat, lalu berdiri.

> “Yaudah, gue pulang… tapi lo jangan nangis lagi,” ucapnya dari dekat sebelum melangkah pergi dengan langkah perlahan, lalu keluar pintu dgn hati hati.

Begitu suara pintu tertutup, Syahnaz langsung bergegas memutar kunci, memastikan semuanya terkunci rapat. Napasnya masih tersengal, jantungnya berdegup tak beraturan.

> “Astagfirullaah… ya Allaah, lindungi aku…” gumamnya pelan, masih bergetar.

Ia berjalan perlahan ke arah sofa, lalu mengambil bingkai foto sang abiy — Hanafi. Wajah teduh itu seolah menatapnya dengan kasih yang menenangkan.

> “Abiy… kalau Abiy masih ada, pasti Syahnaz nggak bakal sepenakut ini,” bisiknya lirih.

Air matanya menetes tanpa suara. Dengan lelah dan rasa takut yang masih menyelimuti, ia memeluk foto itu erat-erat, seakan memeluk sosok ayah yang selalu membuatnya merasa aman.

Tak butuh waktu lama, kelopak matanya terasa berat. Di tengah remang lampu apartemen, Syahnaz pun tertidur di sofa, masih memeluk foto abiy-nya dengan erat, seolah takut jika rasa tenang itu hilang begitu saja.

...***************...

Di sisi lain, suasana kamar Reyhan begitu sunyi dan kelam. Hanya lampu redup di sudut ruangan yang menerangi dinding berwarna hitam legam. Desain kamarnya bergaya modern, tapi suram—seolah mencerminkan isi hatinya yang kosong.

Ia melempar tubuhnya ke atas kasur empuk, menatap langit-langit kamar yang dihiasi lukisan galaksi berwarna ungu tua dan biru gelap.

> “Syahnaz Fakhira az-Zahra…” bisiknya pelan, bibirnya membentuk senyum samar.

Senyum yang menyimpan terlalu banyak cerita.

> “Ternyata kamu udah besar ya, Dek…” ucapnya lagi, pandangannya kosong menembus langit-langit.

Namun, senyum itu perlahan memudar. Tatapannya mulai redup, dan suara lirihnya berubah getir.

> “Kenapa… kamu baru nyari aku setelah enam belas tahun?”

Keheningan menjawab. Hanya suara jam dinding yang terdengar berdetak lambat.

> “Apa sebenarnya yang terjadi dulu… waktu aku dibawa pergi?” gumamnya.

Tanpa sadar, setetes air mata jatuh membasahi pelipisnya. Ia cepat-cepat menyeka, tapi suaranya mulai bergetar.

> “Dan sekarang… Abiy udah ninggalin kamu untuk selamanya.”

Reyhan tertawa kecil, tapi suaranya terdengar hampa—seperti tawa yang keluar dari seseorang yang sudah terlalu lama hidup dalam bayangan masa lalu.

Ia memejamkan mata, dan di kegelapan itu, hanya satu wajah yang berputar di pikirannya: Syahnaz.

...***************...

pov : Reyhan Maheswara

Ketika aku mengejar musuhku siang itu, seorang gadis tiba-tiba menyeberang jalan. Aku refleks mengerem sekuat tenaga. Roda motorku berdecit keras, dan amarahku langsung memuncak.

Aku turun dengan langkah cepat, menatap gadis itu. Ia tampak ketakutan… namun yang membuatku heran, tatapannya mencoba menepis rasa takut itu.

Saat mataku bertemu matanya—aku terpaku. Mata itu… sama. Mata yang pernah kutatap belasan tahun lalu.

Jantungku berdegup kencang. Aku mencoba menepis perasaan aneh itu, tapi tanganku justru menggenggam tangannya—terlalu kuat. Ia berusaha melepaskan diri dan berhasil kabur.

Takdir seolah terus mempertemukan kami. Di parkiran itu, aku kembali bertemu dengan nya lalu mendekatinya. Ia ketakutan setengah mati, tubuhnya bergetar saat terpojok di dinding dingin. Aku mendekat, hanya sejengkal jarak antara wajah kami.

Saat itu aku bisa melihat jelas setiap inci wajahnya—mata, alis, hidungnya... semuanya sama seperti seseorang di masa laluku, namun waktu itu dia terlalu balita untuk mengingat ku. Aku ingin membawanya pergi, tapi suara lirihnya menghentikanku.

“Maafkan gadis lemah ini, Kak. Aku di sini sendirian... cuma ingin kerja buat kuliah, dan... mencari kakakku yang hilang.”

Deg. Dadaku terasa sesak, napasku tertahan. Aku bertanya pelan, siapa namanya.

“Syahnaz, Kak.”

Dunia seakan berhenti berputar. Tanganku yang mencengkeramnya pun kulonggarkan. Saat melihat kulit tangannya memerah karena genggamanku, aku merasa hancur. Dunia mendadak gelap, kepalaku berat—dan di saat aku hampir tumbang, dia menolongku.

Gadis itu menolongku.

Hingga malam ini, ketika aku melihatnya lagi di lampu merah. Aku mengikutinya diam-diam sampai apartemennya. Saat ia membukakan pintu, wajahnya pucat. Aku ingin memeluknya... tapi aku tak sanggup.

Aku hanya mendekat, memojokkan diri kami di sofa hingga wajah kami berhadapan. Pandangannya membuat dadaku sesak.

Aku berpura-pura tenang, lalu mengambil sebuah bingkai foto di atas meja TV. “Siapa orang ini?” tanyaku.

Ia menjawab pelan, suaranya bergetar, “Itu Abiy… Ayahku. Sudah meninggal enam bulan lalu.”

Dunia seketika runtuh. Foto itu... adalah Abiy. Dan gadis itu—adikku.

Aku tak bisa menahan air mataku. Aku ingin memeluknya, ingin menenggelamkan wajahnya dalam pelukanku. Tapi aku tak bisa. Yang bisa kulakukan hanyalah menatapnya... sambil menangis dalam diam.

Pada saat itu juga, dia memperhatikan wajah ku yang tampak aneh. Ada kilau bening di ujung mataku yg membuat dia bertanya.

> “Kamu kenapa menangis? Ini kan ayahku...”

ucapnya dengan nada heran, kepalanya sedikit miring menatap ku di depannya.

Andai saja dia tahu, batinku getir, kalau lelaki yang ada di foto itu... bukan hanya ayahmu, tapi juga ayahku. Tapi bagaimana aku bisa mengatakannya sekarang? Bagaimana jika kebenaran itu justru membuatnya ketakutan?

Aku hanya diam. Berusaha menahan segala perasaan yang berdesakan dalam dada.

Lalu, tiba-tiba ponsel Syahnaz berdering. Suaranya memecah suasana sunyi di antara kami. Saat ia melihat layar ponsel, mataku sempat menangkap satu nama—Zio.

Darahku seolah berhenti mengalir. Zio.

Tangan kananku sendiri.

Jantungku berdegup keras. Rasanya campur aduk antara cemburu, heran, dan marah. Bagaimana mungkin mereka saling mengenal? Aku hampir saja meraih ponselnya, ingin membanting benda kecil yang mendadak terasa menyebalkan itu. Tapi aku menahan diri.

> “Angkat aja,” ucapku datar.

Aku ingin tahu... seberapa dekat mereka.

Syahnaz menatapku ragu, tapi akhirnya menuruti. Suaranya lembut saat berbicara di telepon, membuatku justru makin ingin tahu. Namun entah kenapa, setelah beberapa detik, aku tidak ingin pergi dari tempat itu. Ada sesuatu yang menahanku. Mungkin karena aku masih ingin memastikan bahwa dia baik-baik saja.

> “Ahh... pulang gih sanaa! Aku mau tidur!”

Ucapnya merengek, suaranya lucu seperti anak kecil yang sedang ngambek.

Aku hanya tersenyum kecil.

Gadis itu... ternyata masih sama seperti dulu.

Ia kemudian mendorongku kuat-kuat, tapi tubuhku nyaris tak bergeming. “Akhhh, kayak patung aja! Berat banget sih kamu!!” keluhnya dengan napas ngos-ngosan. Aku hampir tertawa, tapi kutahan.

Melihat ekspresinya yang mulai panik, aku tahu sudah waktunya berhenti. Apalagi ketika ia mulai merengek lagi, memanggil Ummi dengan suara yang nyaris tangis.

> “Ummi... ada orang asing masuk apartemen Syahnaz, Ummi....”

Seketika jantungku mencelos. Aku panik, bukan karena takut, tapi karena tidak ingin menakutinya lebih jauh. Akhirnya, aku menghela napas panjang.

> “Yaudah, gue pulang. Tapi jangan nangis lagi.”

Kutatap wajahnya sekali lagi sebelum berbalik pergi. Langkahku pelan, nyaris tanpa suara. Begitu pintu tertutup di belakangku, senyum kecil muncul di wajahku.

Hatiku... untuk pertama kalinya setelah enam belas tahun, terasa hangat.

Karena malam itu, aku akhirnya tahu — semua firasatku benar.

Syahnaz... gadis yang kutemui itu, benar-benar adikku yang dulu —

adikku yang dulu masih berumur dua tahun, dan kini tumbuh menjadi gadis yang begitu kuat, dan… menggemaskan.

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Goresan_Pena421
Kerenn, novel yang lain sudah duluan menyala, tetaplah berkarya Thor. untuk desain visual bisa juga pakai bantuan AI kalau-kalau kaka Authornya mau desain sendiri. semangat selalu salam berkarya. desain covernya sangat menarik.
Goresan_Pena421: sama-sama kka.
total 2 replies
Goresan_Pena421
☺️ kak kalau mau desain Visualnya juga bisa kak, buat pakai aplikasi Bing jadi nanti Kaka kasih pomprt atau kata perintah yang mau Kaka hasilkan untuk visualnya, atau pakai Ai seperti gpt, Gemini, Cici, atau meta ai wa juga bisa, kalau Kaka mau mencoba desain Visualnya. ini cuma berbagi Saja kak bukan menggurui. semangat menulis kak. 💪
Goresan_Pena421: ☺️ sukses selalu karyanya KA
total 2 replies
Goresan_Pena421
☺️ Bravo Thor, semangat menulisnya.
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.

Salam literasi.
Goresan_Pena421
wah keren si udh bisa wisuda di umur semuda itu....
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!