Kakak macam apa yang tega menjual keperawanan adiknya demi melunasi utang-utangnya?
Di wilayahku, aku mengambil apa pun yang aku mau, dan jelas aku akan mengambil keperawanan si Rainn. Tapi, perempuan itu jauh lebih berharga daripada sekadar empat miliar, karena menaklukkan hatinya jauh lebih sulit dibandingkan menaklukkan para gangster di North District sekalipun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Pertama
...୨ৎ R A I N N જ⁀➴...
Remy mematikan lampu kemudian berbaring di belakangku. Dia selipkan satu lengannya di bawah bantal dan melingkarkan lengan lainnya di tubuhku, meletakkan lengan bawahnya di antara dadaku.
Jarinya membelai tenggorokan dan aku bisa merasakannya sedang mencium rambutku.
Dalam gelap, posisi kita terasa sempurna. Pikiranku pun dipenuhi dengan apa yang terjadi malam ini.
Emosiku tercampur aduk, dan aku enggak bisa fokus. Kini setelah gairahku memudar, ketakutan dan kebingunganku kembali berkobar. Cuma karena dia membuatku merasakan hal yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, bukan berarti dia tiba-tiba menjadi orang yang berbeda.
Remy masih salah satu Big Boss Marunda.
Dia masih kejam dan kejam.
Dia masih orang asing.
Suara-suara di dalam dan sekitar rumah besar ini sama sekali enggak familiar, aku merasa benar-benar enggak nyaman berbaring di atas seprai mahal ini. Bahkan bantal pun terasa aneh di bawah kepalaku.
Remy menghela napas, lalu suaranya bergema di belakangku. "Gimana menurutmu?"
"Aku harus adaptasi dengan banyak hal," kataku, mengakuinya.
"Apa maksudnya?"
Aku mencoba untuk mendapatkan posisi yang lebih nyaman, tapi kemudian bokongku bergesekan dengan tombak kejantanan Remy, merasakan betapa kerasnya dia, aku pun segera terdiam.
"Hah, apa yang tadi kita omongin?"
Dia tertawa terbahak-bahak. "Satu sentuhan titidku di pantatmu aja udah bikin pikiranmu kacau."
Wajahku terasa terbakar dan aku menempelkannya ke bantal. Remy menarikku keluar dari tempat persembunyian dan mendorongku telentang. Ia bergerak ke atasku, dan aku terpaksa merentangkan kakiku agar muat saat badannya mendorong tubuhku ke kasur.
Aku dapat melihat siluetnya di dalam kegelapan saat dia menatapku.
"Seberapa sakit?"
Alisku terangkat, merasa malu, aku pun berbisik, "Maksud kamu, di bawah sana?"
Dia dekatkan tangannya ke wajahku, jarinya membelai pipiku, aku pun menggelengkan kepala. "Ehm ... enggak parah, kok. Cuma sedikit tegang aja. Aku pernah ngalamin haid yang jauh lebih sakit."
Jujur saja. Rasanya enggak nyaman membicarakan hal pribadi seperti itu dengannya.
Tiba-tiba, dia mendorong tubuhnya menjauh dariku, bangkit dari tempat tidur, ambil celana olahraganya dari lantai dan memakainya.
Tanpa berkata sepatah kata pun, dia meninggalkan ruangan. Aku duduk di tempat tidur dan menatap pintu.
Kalau dia mau pakai celana, aku bakal pakai kaus.
Aku segera bangun dari tempat tidur dan ambil kausku sebelum menuju ke kamar mandi. Aku menyalakan lampu dan menutup pintu.
Setelah mengenakan baju, aku segera buang air kecil sebelum menuju wastafel untuk cuci tangan. Sambil mengusap air yang membasahi jari-jariku, aku melirik bayanganku di cermin.
Melihat bintik-bintik merah di leher, jejak Remy menghisap dan menggigit kulitku.
Aku mematikan keran dan mengeringkan tanganku sebelum mengangkat kaus dan melihat perut, pinggul, dan pahaku.
Gila.
Aku bisa melihat dengan jelas bekas tangannya di pinggulku karena kekuatan yang ia gunakan untuk memelukku. Tapi bekasnya terlihat berbeda dari yang ditinggalkan Amilio padaku. Jelas, karena Remy enggak menyakitiku.
Ya, kecuali waktu dia merampas keperawananku. Itu sakit banget sih, tapi aku enggak bisa menyalahkannya.
"Rainn." Aku dengar dia memanggil.
Aku cepat-cepat pakai kausku, dan saat aku membuka pintu, aku mendapati Remy sudah di di depan. Matanya menjelajahi tubuhku sebelum berhenti pada bekas yang ditinggalkannya di leher, lalu dia tersenyum bangga.
"Kenapa kamu ngelihatin aku kayak gitu?"
Aku menggeleng. "Enggak. Kamu cuma kelihatan beda kalau senyum."
Alisnya berkerut. "Beda?"
Aku enggak akan memberi tahu cowok ini kalau dia terlihat seksi saat tersenyum.
Aku berdeham dan menjelaskan, "Lebih bisa diterima."
Dia menatapku sejenak, lalu meraih tanganku dan meletakkan dua pil di telapak tanganku. "Ini untuk redaain rasa sakit. Minum aja."
Dia menunjuk ke Botol air di samping tempat tidur. Ada rasa hangat di hatiku karena dia cukup peduli untuk memastikan aku enggak merasakan sakit.
Aku jalan ke meja samping tempat tidur, buka tutupnya dan telan obatnya. Saat meletakkan botolnya kembali, aku melirik Remy dan mendapati dia mengamatiku seperti elang.
Meski tahu aku enggak akan bisa tidur nyenyak, aku kembali tidur.
Butuh waktu untuk terbiasa tidur sekamar dengan Remy Arnold.
Dia matikan semua lampu sebelum naik ke sampingku, sama seperti sebelumnya, dia membaringkanku dalam posisi miring dan mendekapku ke dadanya.
Dia selipkan tangannya ke bawah kausku, sekali lagi, meletakkan lengan bawahnya di antara dadaku.
"Tidur, Rainn!" gumamnya. Lengannya mengencang, aku pun mendapat pelukan.
Aku merasa makin bingung tentang Remy karena aku enggak pernah menyangka kalau dia bisa begitu peduli dan baik hati.
Aku tarik napas dalam-dalam, memejamkan mata, aku coba mengabaikan harapan yang tumbuh di dadaku.
Mungkin.
Mungkin saja suatu saat nanti dia akan menjadi suami yang baik.
Setelah begadang hampir sepanjang malam dan baru tertidur di dini hari, aku terbangun dalam keadaan terkejut.
Saat buka mata, aku melihat sekeliling dan meluangkan waktu sejenak untuk mengingat kalau aku lagi berada di kamarnya Remy.
"Ya, Tuhan," erangku sambil berguling telentang. Tubuhku pun terasa sakit sekali.
“Jangan kasih aku alasan bulshit itu!” Suara Remy menggelegar dari luar pintu kamar tidur. "Temuin bajingan itu dan bawa dia ke sini. Aku mau uang aku balik!"
Aku duduk, ketakutan.
Pintu terbuka dan Remy yang marah pun masuk. Ekspresinya gelap dan enggak kenal ampun, matanya dipenuhi dengan bahaya.
Aku terlalu takut buat bertanya ada apa, sementara mataku, yang dari tadi waspada, memperhatikan setelan mahal yang sudah dia pakai. Sepertinya dia sudah bangun berjam-jam yang lalu. Aku bahkan enggak sadar kapan dia bangun dari tempat tidur.
Dia jalan ke arahku, terus selipkan kartu kredit. Suaranya makin tajam, marah, terus dia mengeram, “Jangan minta izin tiap kali kamu mau beli sesuatu. Kartu itu enggak ada limitnya.”
Kepalaku langsung mengangguk cepat, tenggorokan kering, dan aku telan ludah karena takut banget sama auranya.
Begitu tatapan dia bertemu sama mataku, dia tanya, “Mana HP kamu?”
Aku langsung menggeleng. “Aku enggak punya.”
Kerutan di dahinya bikin dia terlihat makin menyeramkan. “Kamu becanda?”
Aku geleng lagi. “HP Aku rusak. Belum sempat beli yang baru.”
Aku merasa bersalah mengucapkan kebohongan itu. Aslinya, Amilio lah yang menghancurkan HPku gara-gara marah, dan aku memang enggak punya duit buat ganti yang baru.
Remy keluarkan napas pelan, terus bilang, “Benny bakal antar kamu beli HP. Kirim nomornya begitu udah dapat.”
“Oke,” bisikku, menelan ludah, “Makasih.”
Memperhatikan mafia sekejam dia, aku pun masih enggak percaya kalau ini orang yang sama yang tadi malam mengambil keperawananku.
Harapan kecil di hatiku sudah keburu layu, bahkan jadi abu sebelum sempat tumbuh. Aku tahu, cepat atau lambat, aku bakal lihat sisi monster yang sebenarnya dari dia.
Bisa saja dia bakal menyakitiku lebih parah dari Amilio dulu. Atau mungkin dia enggak bakal melakukan itu sama sekali.
Remy sempat memperhatikanku sebentar sebelum berbalik dan keluar dari kamar. Aku ambil napas panjang, baru sadar betapa tegangnya tubuhku selama ini cuma karena takut.
Tuhan, aku benar-benar enggak tahu bagaimana caranya bertahan hidup setelah menikah sama Remy Arnold. Apa yang engkau pikirkan, sampai merestui ini terjadi?
Aku menunduk, mengambil kartu itu, terus taruh di meja samping tempat tidur. Rasa sakit dan nyeri di tubuhku pun menyebar lagi begitu aku bangkit dari kasur.
Saat aku membereskan selimut, aku lihat noda merah di situ, dan pandanganku langsung terpaku.
Ada rasa campur aduk di dada, antara kenikmatan yang aku rasain tadi malam sama ketakutan tentang masa depan yang enggak jelas di rumah besar ini.
Tiba-tiba aku terbayang tubuh telanjang Remy, setiap lekuk ototnya dan setiap jejak yang ditinggalkannya di kulitku.
Aku ingat saat dia membenamkan miliknya ke dalam rahimku. Rasa sakitnya, rasa sesaknya, getaran aneh yang enggak bisa dijelaskan, semuanya masih berasa di dalam diriku.
Aku tutup mata, tempel tangan ke dada, terus menggeleng keras buat mengusir semua pikiran itu.
Cuma karena dia bersikap lembut tadi malam dan bikin aku merasakan hal yang luar biasa, bukan berarti dia tiba-tiba berubah jadi orang baik.
Dia masih orang yang sama seperti kemarin, dingin, berbahaya, dan bisa banget menghancurkanku kapan saja.