Seraphina Luna — supermodel dengan kehidupan yang selalu berada di bawah sorotan kamera. Kalleandra — pria asing yang muncul di malam tak terduga.
Mereka bertemu tanpa sengaja di sebuah klub malam. Sera mabuk, Kalle membantu membawanya pulang ke apartemennya. Tanpa disadari, dua wartawan melihat momen itu. Gosip pun tercipta.
Seketika, hidup mereka berubah. Gosip itu bukan sekadar cerita — ia memaksa mereka untuk mengambil keputusan yang tak pernah terbayangkan: menikah. Bukan karena cinta, tapi karena tekanan dunia.
Di balik cincin dan janji itu tersimpan rahasia dan luka yang belum pernah terungkap. Akankah cinta lahir dari dari gosip… atau ini hanya akhir dari sebuah pertunjukan?
"Di balik panggung, selalu ada cerita yang tak pernah terucap."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amariel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MASION DE LUXE: PARIS GALA
"Kadang, cahaya paling terang datang dari seseorang yang sedang berusaha menutupi gelap di dalam dirinya.
--- Seraphina Luna
Jam empat pagi. Bandara Soekarno–Hatta belum sepenuhnya hidup, tapi Sera sudah berdiri di depan kaca besar terminal internasional. Cahaya putih dari lampu atap menyorot wajahnya yang flawless tanpa usaha. Dingin. Tenang. Tapi matanya kosong — seperti kaca bening yang tidak memantulkan siapa pun.
Di belakangnya, koper berlogo Gucci limited edition berserakan, suara roda gesekannya terdengar seperti gema kesibukan yang terlalu dini.
Sira sibuk menatap layar ponsel, bicara cepat dalam bahasa Inggris ke klien Maison de Luxe.
Bian? Tentu saja, sedang berdebat dengan petugas bagasi.
"Eh, kalau koper Gucci ini sampai ditimbang lebih, gue bakal protes ke Tuhan, Ra. Nih tas nggak berat, yang berat tuh beban hidup gue!”
Sera menoleh pelan, separuh senyum menggantung di bibirnya. Itu bukan tawa, lebih seperti bentuk sopan dari rasa lelah.
Kalle tidak datang mengantar..!!
Dan itu — entah kenapa — jauh lebih menyakitkan daripada perpisahan mana pun yang pernah Sera jalani. Jujur saja Dia sudah tahu sejak semalam, tapi tetap hati kecilnya berharap lebih.
"Aku ada panggilan darurat. Pasien trauma kepala anak kecil lima tahun. gak bisa ku tinggalkan." Kalimat itu terlalu profesional untuk sebuah perpisahan.
Sera menunduk, jemarinya mengepal di balik jaket trench putihnya.
Dulu dia pikir cinta bisa menunggu. Tapi ternyata pekerjaan Kalle lebih cepat dari semua janji. Satu yang menjadi alarm agar hatinya tak goyah, bahwa pernikahan ini hanya sementara.
Di belakangnya, dunia berjalan seperti biasa.
Bian sibuk mengeluh soal koper, suaranya melengking.
Sira — manajer mereka — menatap tanpa ekspresi, bicara cepat lewat ponsel.
"Yes, Mr Delacroix, we'll arrive at nine. No, she doesn't drink coffe before rehearsal, she need clear skin for the line-up board.
Sera memutar kepala pelan.
Kalle..pria itu benar-benar tidak datang. Akan tetapi sebuah pesan singkat sebelum boarding untuknya di kirim pria itu.
"Jangan lupa makan. Kabari aku kalau sudah sampai. Pulang dari Paris aku jemput kamu."
Dia tidak membalas. Hanya menatap layar ponselnya lama-lama, lalu mematikannya.
Pesawat lepas landas saat Jakarta belum sepenuhnya terjaga.
Di kursi bisnis yang nyaman, Sera bersandar, menatap keluar jendela. Lampu-lampu kota perlahan mengecil seperti serpihan bintang yang tenggelam di laut gelap.
Dari jauh, Indonesia mengecil di bawahnya — seperti kenangan yang mulai memudar.
*********************
Udara Paris menusuk kulit. Dingin tapi manis, dengan aroma kopi, mentega, dan parfum mahal.
Bandara Charles de Gaulle tidak pernah sepi. Lampu putih, suara koper beradu, pengumuman dalam bahasa Perancis yang terdengar seperti puisi.
"Bonjour, madame."
Petugas bandara tersenyum.
Bian langsung mencondongkan tubuh, berbisik pada Sera.
“Ra, sumpah, suara dia aja udah kayak ajakan menikah.”
“Kamu aja yang haus,” balas Sera datar, tapi ujung bibirnya sedikit terangkat.
Sira, tanpa menunggu, langsung menarik koper besar. “Kagum boleh, tapi jangan lama-lama. Kita cuma punya dua jam buat mandi dan langsung fitting. Jetlag bukan alasan telat casting.”
Mereka naik ke mobil hitam panjang yang membawa ke hotel. Di sepanjang jalan, Sera menatap keluar — deretan bangunan klasik, café kecil, jalan berbatu, dan orang-orang dengan trench coat panjang serta kopi di tangan.
Paris. Kota yang hidup dengan kesempurnaan dan kesibukan yang anggun.
Hotel mereka, Hôtel de Crillon, tampak seperti istana kecil ada pilar tinggi, karpet tebal, dan aroma bunga segar di setiap sudutnya. Staff bersarung tangan putih menyambut dengan senyum lembut.
"Welcome, Mademoiselle Seraphina Luna."
Sera tersenyum ramah sembari menatap sekeliling.
Ada rasa takjub — kecil, tapi nyata.
Dia pernah tampil di banyak kota,Tokyo, Milan, Dubai. Tapi Paris selalu punya cara membuat manusia merasa kecil dan agung di saat bersamaan.
Kamar mereka besar, tapi dingin. Balkon menghadap jalan Rue de Rivoli, tirai krem menjuntai ke lantai. Di meja ada sebotol champagne dan kartu ucapan:
************************
Restu, pria muda itu sudah berdiri tegak. menunggu perintah untuknya.
"Coba kamu cari tahu soal kecelakaan Dela. Aku perlu informasi lengkap."
Dia mengangguk patuh. Nama Delani Sifa, sebetulnya bukan nama asing untuknya. bahkan sedikit banyak dia tahu apa yang terjadi di belakang hubungan Atasannya ini dengan si perawat muda.
"Tadi saya dengar sekilas dari Pras kalau Dela dalam keadaan hamil. Apa Bapak mau saya mencari tahu juga soal ini ?"
Adipati menghela nafasnya dalam-dalam. Sialan, perempuan itu benar-benar sangat menyusahkannya.
"Cari tahu semuanya, bila perlu tanya pada Pras juga. Tapi ingat, jangan sampai istriku mengetahui ini."
**************************
Hari pertama selalu sama. penuh ketegangan di balik backstage.
Fitting, rehearsal, dan tekanan.
Studio Maison de luxe terletak di Arrondissement kedelapan, bangunan bata tua dengan interior putih minimalis dan pencahayaan tajam.
Sera berjalan di atas lantai kayu dengan heels setinggi tujuh sentimeter.
Stylist menatap dengan mata elang, sementara make-up artist menekan pipinya dengan spons tipis.
"Less Shimmer, she's walking under spotlight." ujar MUA, aksennya berat.
"The white gown is for slot seven. Swarovski detailing,low back cut."
Sira berdiri di belakang, clipboard di tangan, mencatat seperti jenderal.
"Sera, kamu line-up nomor tujuh. Jangan telat di stylist run-through. Dan tolong jangan update Instagram, kita kerja sama eksklusif. Satu foto bocor, kontrakmu bisa dicabut.”
Sera hanya mengangguk. Dunia fashion tidak mengenal lelah. Bahkan napas pun punya waktu tersendiri.
Ritme hari-hari mereka diatur seperti metronom. Dimana pagi fitting. Siang rehearsal. Malam meeting.
"Model three, masuk line-up.”
“Backstage cue diubah, lighting rehearsal mulai lima menit lagi.”
“Siapa yang nyentuh gown merah slot tujuh?! Panjangnya beda!”
Bian menjadi hiburan satu-satunya.
"Ra, model Rusia itu makannya salad doang. Gue nggak kuat, sumpah. Butuh nasi padang versi Paris.”
Sera tertawa kecil, kali ini tulus. “Kalau ada rendang di sini, Gue juga ikut.”
Malamnya, dia duduk di balkon hotel, jubah sutra menghangatkan bahu.
Ponselnya bergetar — Kalle.
Dia menjawab.
“Kamu kelihatan capek,” suara Kalle datar, pelan.
“Capeknya bukan cuma di badan, Kal.”
“Kalau begitu jangan terlalu kuat.”
“Terlambat. Aku udah keburu jadi kuat.”
Keheningan panjang menyusul. Hanya suara angin Paris dan denting gelas wine dari kamar sebelah.
Sera menatap langit. Paris begitu indah… tapi malamnya terasa asing.
********************
Palais Garnier malam itu bersinar seperti istana emas.
Lampu chandelier bergoyang lembut, memantulkan ribuan pantulan cahaya di dinding marmer hitam. Kamera, flash, dan bisikan dalam berbagai bahasa memenuhi udara.
Backstage kacau — tapi dalam kekacauan itulah dunia fashion hidup.
"Model tiga, siap di line-up!”
“Di mana red silk gown slot tujuh?! Kenapa masih di steamer?!”
“Lighting rehearsal selesai, ten seconds cue untuk runway!”
Sera berdiri di depan cermin besar. Gaun putih panjang dengan potongan terbuka di punggung, berkilau karena ribuan kristal Swarovski.
Rambutnya digelung ke atas, make-up-nya minimal, hanya menonjolkan tulang pipi dan mata tajamnya.
Sira berdiri di belakang, menatapnya lama.
"Kalau kamu jatuh, jangan panik. Fashion show bukan soal kesempurnaan, tapi soal ilusi.” Sira mengingatkan.
Sera tersenyum kecil. “Ilusi. Aku udah ahli dalam itu.”
Musik dimulai — dentingan bass lembut, tempo meningkat.
Satu per satu model melangkah ke runway.
Dan ketika giliran Sera datang, dunia seperti menahan napas.
Lampu sorot menembak lurus padanya.
Langkahnya tenang, tubuhnya tegak sempurna.
Penonton terpaku, kamera berhenti sejenak.
Di detik itu, dunia tidak melihat kekosongan di matanya — hanya cahaya yang memantul dari kristal di punggungnya.
Dari jauh, Bian berbisik pada Sira.
"Ya ampun, dia bukan manusia. Dia manifestasi kartu kredit platinum.”
Sira hanya tersenyum kecil. “Itu kenapa aku nggak pernah takut taruh dia di posisi utama.
Lounge hotel penuh musik jazz dan kilau lampu hangat.
Champagne berderai, tawa bertebaran.
Media sibuk menulis headline, “Seraphina Luna — The Indonesian Diamond of Maison de Luxe.”
Tapi di tengah pesta itu, Sera duduk diam di sudut ruangan.
Matanya menatap jendela besar yang memperlihatkan langit Paris — penuh cahaya, tapi terasa hampa.
Dia tidak minum, tidak bicara.
Cuma diam.
Ponselnya bergetar.
Pesan dari Kalle:
"Jaga diri. Aku nggak suka lihat kamu kurus.”
Sera menatap layar itu lama, senyum tipis muncul di bibirnya. Tapi tidak ada balasan.
Di belakangnya, Bian datang membawa dua gelas wine.
"Minum, Ra. Dunia ini kadang lebih mudah ditelan kalau rasanya pahit sedikit.”
Sera menoleh. “Aku nggak haus.”
“Bohong. Semua orang haus. Cuma beda minumannya aja.”
Dia tertawa pelan, kali ini suaranya nyaris serak.
Lalu berdiri, melangkah ke balkon.
Angin malam Paris menampar wajahnya lembut, dingin, mahal.
Dari jauh, menara Eiffel berkilau.
Dan entah kenapa, di tengah semua cahaya itu, Sera merasa seperti satu-satunya orang yang benar-benar gelap.