"Aku mau jadi Istri Om!" kalimat itu meluncur dari bibir cantik Riana Maheswari, gadis yang masih berusia 21 Tahun, jatuh pada pesona sahabat sang papa 'Bastian Dinantara'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galuh Dwi Fatimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hubungan Tanpa Status
Bastian tertegun. Ia menoleh kembali, dan tepat saat itu… Riri maju ke arahnya. Tanpa ragu, ia menarik kerah jas Bastian dan menempelkan bi-birnya pada bi-bir pria itu.
Mata Bastian membesar, tubuhnya kaku sesaat. Tapi Riri tak bergeming. Ci-uman itu singkat namun begitu dalam, seolah semua perasaannya selama ini tumpah dalam satu momen. Diantara Hujan, dalam dekap malam, dan degup jantung mereka yang seakan berhenti.
Bastian refleks memegang bahu Riri, bukan untuk mendorong gadis itu menjauh, tapi juga bukan untuk menariknya semakin dekat. Tangannya bergetar, antara ingin melawan dan menyerah pada getaran yang sama sekali tidak asing. Sekian detik yang terasa begitu panjang diantara mereka.
Ketika akhirnya Riri melepaskan ci-umannya, napasnya terengah. Wajahnya memerah, tapi sorot matanya mantap. “Aku sayang sama Om… Aku serius.” bisiknya pelan, hampir seperti doa yang takut tak terkabul.
Bastian menatapnya dalam. Ada pergulatan jelas di mata pria itu—antara logika yang keras dan hati yang mulai runtuh perlahan.
“Riri… kamu…” Bastian tak bisa melanjutkan. Ia memalingkan wajahnya, kali ini bukan karena ingin menghindar, tapi karena takut Riri melihat bagaimana hatinya benar-benar mulai goyah.
Hening masih mengisi ruang sempit mobil itu. Hanya suara hujan deras yang mengguyur kaca, seakan menjadi saksi bisu pergulatan batin keduanya.
Bastian masih menunduk, mencoba menata napasnya yang terasa tak beraturan. Ci-uman Riri barusan… terlalu jujur, terlalu dalam untuk diabaikan. Selama ini ia selalu berusaha membentengi diri, menolak getaran yang diam-diam tumbuh setiap kali gadis itu tersenyum atau memandangnya dengan mata penuh ketulusan.
“Om…” suara Riri pelan tapi mantap, memecah keheningan. “Aku nggak minta jawaban itu sekarang. Tapi aku juga nggak mau terus diperlakukan seolah perasaanku ini salah.”
Bastian mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya menumbuk mata Riri dan kali ini, ia tak mengelak.
“Riri…” Bastian menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan. “Om ini bukan pria muda. Om punya masa lalu. Banyak hal yang mungkin kamu belum tahu. Dan Om… terus terang, Om juga bukan orang yang gampang untuk jatuh hati dan membuka diri.”
Riri menatapnya tak berkedip. “Aku nggak peduli masa lalu Om. Yang aku tahu, perasaan aku sekarang ini nyata. Aku sadar semua risikonya, Om. Tapi aku nggak mau mundur.”
Bastian terdiam lagi. Hujan makin deras, tapi dalam dirinya, tembok yang ia bangun pelan-pelan mulai retak. Ia menyandarkan tubuh ke kursi, lalu tersenyum tipis—senyum yang tidak lagi kaku seperti biasanya.
“Om nggak bisa janji apa-apa, Ri,” ucap Bastian akhirnya. “Tapi Om juga… nggak bisa pura-pura nggak ngerasain apa-apa.”
Mata Riri membesar. Ada cahaya kecil yang menyala di sana.
“Jadi… Om nggak akan nyuruh aku buat ngejauh lagi?” tanya Riri dengan suara ragu-ragu, tapi penuh harap.
Bastian menatapnya lembut, lalu menggeleng pelan. “Nggak, Ri. Mungkin… Om terlalu lama nutup hati. Dan kamu, Riri… kamu bikin Om ngerasain lagi hal-hal yang udah lama Om lupain.”
Riri spontan tersenyum bahagia. Hatinya seperti melompat-lompat. “Berarti… aku boleh kan tetap deket sama Om?”
Bastian mendengus kecil sambil mengusap tengkuknya, gugup tapi hangat. “Kita jalanin pelan-pelan ya, Ri. Om nggak mau kamu nyesel.”
Riri mendekat sedikit, matanya berbinar. “Selama sama Om, aku nggak akan nyesel.”
Keduanya saling berpandangan lama. Tidak ada kata-kata lagi, hanya tatapan yang saling mengerti—tatapan yang menandai bahwa malam ini, sebuah celah kecil di hati Bastian akhirnya terbuka untuk Riri.
___
Sejak malam itu, ada sesuatu yang berbeda di antara keduanya. Tak ada pengakuan resmi, tapi setiap pertemuan menyimpan makna lebih dari sekedar atasan dan bawahan. Tatapan mereka sering bertemu diam-diam, seolah ada bahasa rahasia yang hanya mereka berdua pahami.
Pagi itu, kantor mulai sibuk seperti biasa. Riri datang dengan kemeja putih dan rok hitam sederhana, rambutnya diikat setengah. Ia membawa map berisi dokumen untuk meeting humas bersama Bastian.
Begitu masuk ke ruang meeting, Bastian sudah duduk di kursinya dengan jas rapi. Tatapannya sempat terhenti saat melihat Riri datang—sekilas, tapi cukup membuat jantung Riri berdetak lebih cepat.
“Pagi, Pak,” sapa Riri pelan sambil menyerahkan dokumen.
Bastian menerima dengan ekspresi tenang seperti biasa, tapi matanya berbicara lain. “Pagi, Riri,” jawabnya singkat. Namun sudut bibirnya menampakkan senyum kecil yang hanya terlihat olehnya.
Meeting berjalan seperti biasa. Tapi setiap kali Riri bicara, Bastian diam-diam memperhatikannya, mulai dari cara ia menjelaskan ide, senyum gugupnya saat ditanya senior lain, hingga matanya yang berbinar saat mendapat pujian. Ia seperti melihat sisi lain dari gadis itu… bukan sekadar anak sahabatnya, tapi seorang wanita yang sudah tumbuh dewasa.
---
Sore harinya, kantor mulai sepi. Sebagian besar karyawan sudah pulang. Riri masih di ruang humas, menyelesaikan laporan. Saat sedang fokus mengetik, suara langkah berat mendekat dari belakang.
“Belum pulang?” suara Bastian pelan.
Riri menoleh. “Eh, Pak? Aku lagi beresin laporan mingguan, tinggal dikit lagi kok.”
Bastian menyandarkan tubuh ke meja sebelahnya. “Kamu nggak harus ngerjain semuanya sendiri, lho. Kamu kan anak baru, kamu masih bisa minta bantuan sama yang lain.”
Riri tertawa kecil. “Aku mau buktiin ke Om kalau aku bukan cuma anak manja kayak dulu.”
Bastian menatapnya dengan ekspresi lembut yang jarang terlihat saat jam kerja. “Om tahu kamu bisa, Ri. Dari dulu Om udah liat itu.”
Hening sesaat. Riri kembali mengetik, sementara Bastian tetap di sana, hanya memandangi Riri diam-diam. Rasanya aneh… tapi nyaman. Seperti dua dunia yang seharusnya terpisah, tapi perlahan mulai mendekat.
---
Beberapa hari kemudian, saat coffee break di pantry…
“Om,” panggil Riri pelan sambil menyodorkan cangkir kopi. “Ini aku bikinin kopi. Aku ingat Om suka yang nggak terlalu manis.”
Bastian mengangkat alis, terkejut tapi senang. “Kamu inget?”
Riri mengangguk sambil menahan senyum. "Selera Om, bukan sesuatu yang gampang buat dilupain.”
Bastian menahan tawa kecil. “Bahaya kamu ini…”
“Kenapa bahaya?” Riri menatapnya polos, tapi sorot matanya menggoda.
Bastian hanya menggeleng pelan sambil menerima kopi itu. “Karena kamu bikin Om susah jaga jarak.”
Keduanya tertawa kecil. Sekilas, suasana terasa begitu natural.
"Lagian siapa suruh Om jaga jarak sama aku. Emang aku gigit?" Ucap Riri setengah bercanda, setengah serius.
"Kamu emang gak gigit, tapi kamu.. "
"ci-um" bisik Bastian di telinga Riri.
Membuat tubuh Riri membeku seketika. Hembusan nafas Bastian jelas terasa menyentuh kulitnya.
"Om... jangan gitu."
"Kamu yang mulai, Riri." ucap Bastian lembut.