NovelToon NovelToon
Ini Cinta 365 Hari Atau Cinta 669 Masehi?

Ini Cinta 365 Hari Atau Cinta 669 Masehi?

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Transmigrasi ke Dalam Novel / Fantasi Wanita / Peramal / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Naniksay Nay

Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.

Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.

Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 – Kilas Balik 1

Wisnu berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi tak bisa. Bahkan bibirnya pun seperti enggan menuruti perintah otaknya. Ia sadar, namun rasanya seolah jiwanya sedang “menempel” pada tubuh orang lain. Berat, asing, dan penuh luka. Dia tahu itu bukan tubuhnya, tapi setiap rasa sakitnya terasa nyata.

Sebuah suara lembut menyentuh telinganya, hangat sekaligus asing.

“Kisanak, kau tak apa?”

Samar-samar, Wisnu merasakan tubuhnya disangga. Dengan susah payah, ia mengangkat kepalanya. Pandangannya kabur, tapi ia bisa melihat sosok seorang gadis muda menolongnya untuk duduk.

“Aaakh…” Wisnu meringis, kedua tangannya refleks mencengkeram betis yang nyeri bagai diiris-iris.

“Bu…!” gadis itu berseru. Suaranya jernih, penuh kepanikan. “Cepat ke sini!”

Tak lama, seorang perempuan setengah baya mendekat. Wajahnya teduh, tatapannya penuh kebijaksanaan. Dengan tenang ia memeriksa kondisi Wisnu.

“Kita lepaskan dulu jerat babinya, Nak,” ucapnya sambil menepuk bahu gadis itu. “Baru kita bisa sembuhkan luka pemuda ini.”

“Apakah… kakinya patah, Bu?” suara sang gadis bergetar, cemas.

Perempuan itu menggeleng perlahan. “Tidak, Puspa. Hanya terjerat cukup dalam.”

“Lalu kenapa ia sampai tidak sadarkan diri begini?” tanya Puspa lagi, matanya tak lepas dari wajah Wisnu.

“Karena rasa sakitnya terlalu hebat. Tubuhnya kaget, itulah yang membuatnya pingsan.”

Wisnu ingin bertanya—di mana aku? siapa mereka?—tapi bibirnya hanya bisa bergerak sedikit, sementara rasa sakit di kakinya semakin menusuk. Pandangannya kembali berkunang, antara sadar dan tidak.

Pagi yang Asing

Entah sejak kapan Wisnu tertidur. Yang ia ingat hanya rasa sakit menusuk di kakinya, lalu gelap. Namun ketika membuka mata, ia mendapati dirinya sudah berada di sebuah gubuk kecil berdinding anyaman bambu. Tubuhnya hanya berbalut sehelai lusuh yang melilit pinggang.

Suara lembut menyambutnya.

“Kau sudah bangun? Ini… makanlah dulu. Sedikit saja tidak apa-apa, untuk mengisi tenaga.”

Seorang gadis meletakkan piring gerabah di depannya. Nasi putih dan lauk sederhana mengepul hangat.

Wisnu—atau entah siapa dirinya saat itu—mengangguk pelan. Tangannya gemetar ketika menerima piring itu, matanya justru terpaku pada gadis di hadapannya. Sederhana, manis, dengan tatapan tulus yang membuat dadanya berdebar.

“Terima kasih…” Ia ragu sejenak, lalu tanpa sadar bibirnya meluncurkan kata yang bukan ia rencanakan. “Namaku… emm… Wira.”

Nama itu keluar begitu saja, tak bisa ia hentikan.

Gadis itu tersenyum kecil. “Wira, kau sungguh beruntung. Untung aku dan Ibu lewat hutan untuk mencari ramuan obat. Kalau tidak, mungkin kau sudah bermalam di sana… bersama hewan buas.”

Wira menelan ludah. “Terima kasih… Emm, kalau boleh tahu, siapa namamu?”

“Puspa,” jawabnya ringan. Senyumnya sehangat cahaya pagi yang menembus celah dinding bambu. “Tinggallah dulu di sini sampai pulih. Setelah itu barulah kau kembali ke desamu. Tapi… kau dari desa mana?”

“Ehm… dari desa agak jauh dari sini,” jawab Wira terbata, berusaha terdengar meyakinkan.

Puspa hanya mengangguk, tidak memaksa. “Tapi… kenapa seorang pemburu sepertimu bisa terjerat perangkap?”

Wira tersentak. “Kenapa kau tahu aku pemburu?”

Puspa terkekeh kecil. “Memangnya sedang apa kalau masuk hutan membawa panah?”

“O-oh… iya. Panahku?” Wira menoleh gelisah.

“Sudah kusimpan,” jawab Puspa singkat.

Raut lega menyapu wajah Wira. “Terima kasih, Puspa. Aku memang teledor… hanya karena mengejar seekor rusa, aku tak memperhatikan pijakanku.”

Puspa menatapnya, senyumnya samar. “Rusa memang lincah. Tapi memang, takdir punya caranya sendiri untuk mempertemukan orang-orang.”

Wira terdiam. menghabiskan makanannya dengan lahap.

Terpesona

Hari-hari berlalu, luka Wira perlahan sembuh. Kini ia sudah bisa berjalan dengan benar. Sebagai balas budi, ia berusaha membantu Puspa dan ibunya: membelah kayu bakar, menimba air, memanen sayur, hingga ikut menjual hasil ladang di pasar.

Pekerjaan itu terasa asing baginya. Tangan yang terbiasa memegang busur, keris, dan pedang kini harus belajar menggenggam cangkul dan ikat sayur.

Kadang ia merasa malu, kaku, bahkan kikuk. Namun setiap kali Puspa menoleh sambil tersenyum, rasa lelah itu lenyap, berganti hangat yang sulit dijelaskan.

Siang itu, pasar desa ramai oleh teriakan penjual dan hiruk-pikuk pembeli. Bau rempah, tanah basah, dan keringat bercampur menjadi satu. Wira berjalan di samping Puspa yang tengah memilih bahan untuk meracik obat.

“Puspa, apakah masih lama? Bolehkah aku izin berkeliling sebentar?” tanyanya hati-hati.

“Baiklah,” jawab Puspa sambil menoleh sekilas. “Tapi jangan jauh-jauh, segera kembali ke sini.”

Wira mengangguk, lalu melangkah menjauh. Namun matanya tiba-tiba membeku. Dari kejauhan, ia melihat empat sosok yang begitu dikenalnya, pakaian mereka berbeda dari penduduk desa, gerak-geriknya tegas, dan sorot mata mereka menyapu kerumunan.

Tanpa pikir panjang, Wira mendekat, lalu dengan cepat menarik salah seorang dari mereka ke belakang warung kosong.

“Kenapa kalian ke sini?” bisiknya tajam.

Prajurit itu segera menunduk. “Ampun, Pangeran. Hamba hampir mengerahkan seluruh prajurit untuk mencari Pangeran. Kami khawatir…”

“Aku baik-baik saja. Kembalilah kalian dulu ke Galuh.” Wira gelisah, matanya menoleh kanan-kiri memastikan tak ada yang mendengar.

“Tidak bisa, Pangeran. Bukankah Pangeran tidak boleh lebih dari satu purnama meninggalkan istana dengan alasan berburu?”

Wira terdiam sejenak, dadanya berdegup kencang. “Hmmm… beri aku waktu lima hari lagi.”

“Pangeran, kami akan dihukum oleh Baginda Raja jika kembali tanpa membawa Pangeran.”

Ia menarik napas dalam, lalu menunduk sedikit agar suara tak terdengar. “Baiklah. Dua hari saja. Kalian tunggu di perbatasan, jangan ada yang mengikuti. Aku akan menyusul.”

Tanpa menunggu jawaban, Wira segera meninggalkan mereka dan berlari kembali ke arah Puspa.

Dari kejauhan, ia melihat gadis itu tengah menawar rempah di lapak seorang pedagang tua. Senyum sederhana di wajah Puspa membuat langkah Wira semakin cepat.

Berat Meninggalkan

Puspa sibuk menata barang-barang milik Wira. Lipatan kain, sedikit ramuan obat, dan bekal sederhana ia letakkan rapi dalam bungkusan.

“Tidak perlu membawa banyak bekal, Puspa,” ucap Wira pelan.

“Bukankah desamu jauh? Daripada kau kelaparan di jalan.” Puspa menoleh, nada suaranya lembut tapi tegas.

Wira hanya tersenyum, menatap gadis itu lekat-lekat. Gadis sederhana, yang selama ini mengira dirinya hanyalah anak seorang saudagar atau lurah.

“Puspa,” bisiknya. “Kau tidak ingin ikut denganku?”

Gadis itu tertegun, lalu menunduk. “Akan dikata apa seorang wanita jika mengikuti lelaki yang bukan suaminya, Wira?”

“Kalau begitu…” Wira mendekat, suaranya lirih tapi tegas, “…bagaimana kalau aku jadi suamimu?”

Puspa tersentak. Dengan wajah memerah ia cepat-cepat melemparkan bungkusan pakaian Wira ke dadanya. “Dasar… bisa-bisanya merayu di saat seperti ini!”

“Aku serius, Puspa.” Tatapan Wira dalam, penuh kesungguhan.

Puspa menahan napas. Ada gemuruh aneh dalam dadanya, tapi ia tetap berusaha tersenyum tenang. “Pulanglah dulu. Jika setelah kau kembali ke rumah, lama tak bertemu, dan kau sudah melupakanku… berarti itu memang bukan cinta.”

Wira terdiam cukup lama, lalu menatap Puspa dalam.

“Baiklah,” ucapnya pelan. “Kalau sampai tiga purnama aku masih terus mengingatmu… apakah saat itu aku boleh kembali?”

Puspa tersipu. Pipinya merona, tapi ia tak menjawab. Hanya senyum tipis yang membuat Wira makin sulit beranjak.

Ia melanjutkan dengan suara yang lebih lembut, “Tapi...., Puspa… kau jangan menerima lamaran pemuda manapun. Beri aku waktu.”

Puspa akhirnya tertawa, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. “Sepertinya aku memang belum tertarik untuk menerima lamaran sembarang orang.”

Wira ikut tersenyum lega, meski hatinya masih berat.

Setelah berpamitan dengan Puspa dan ibunya, Wira melangkah menjauh dari gubuk dengan hati yang terasa ditarik-tarik.

Setiap beberapa langkah, ia masih sempat menoleh. Puspa berdiri di depan gubuk, melambaikan tangan dengan senyum yang sangat menawan.

Ibu Puspa menoleh pada anak gadisnya, lalu tersenyum bijak.

“Jika memang takdir, nak… dia pasti akan kembali.”

Puspa menoleh cepat. “Ibu bicara apa?” tanyanya, pura-pura tak mengerti.

Sang ibu terkekeh pelan. “Aku ini yang mengandung dan membesarkanmu. Kau pikir ibu tak tahu isi hatimu?”

Puspa menunduk, pipinya memerah.

“Ibu… ada-ada saja…” gumamnya pelan, sembari menatap punggung Wira yang kian menjauh.

Setelah cukup jauh meninggalkan gubuk Puspa, Wira menghentikan langkahnya. Ia menoleh sekali lagi, memastikan tak ada bayangan gadis itu yang menyusul. Dadanya terasa berat.

Seperti menipu, baru saja ia berani mengungkapkan cinta, tapi di saat yang sama ia sembunyikan siapa dirinya sebenarnya. Yang ia takutkan bukan sekadar rahasia terbongkar, melainkan bayangan Puspa yang akan menjauh jika tahu ia seorang pangeran.

Dari balik pepohonan, empat prajurit yang sebelumnya ia temui sudah menunggu. Salah satunya maju, menuntun seekor kuda hitam gagah, tubuhnya kekar, surainya berkilat diterpa cahaya matahari.

“Pangeran,” ucap prajurit itu sambil menunduk hormat.

Wira terdiam. Tatapannya menancap pada kuda itu, jemarinya nyaris ragu menyentuh tali kekangnya. Ada rasa enggan, seolah saat ia naik, semua yang baru ia temukan akan hilang.

Akhirnya, dengan tarikan napas panjang, ia menahan guncangan di dadanya. Lalu melangkah pelan, naik ke pelana.

“Kita kembali ke Galuh sekarang,” ucapnya lirih, lebih seperti menyakinkan dirinya sendiri ketimbang sebuah perintah.

1
SENJA🍒⃞⃟🦅
keris kak? bukan kujang?
SENJA🍒⃞⃟🦅
hmmm ini adegan yang lalu kan? ini dari sudut wisnu yang jadi wira 😳
SENJA🍒⃞⃟🦅
laaah kesurupan dia eh mimpi juga dia 🤣
SENJA🍒⃞⃟🦅
kok bisa main pergi gitu aja , kasian kan rendi 😤
SENJA🍒⃞⃟🦅
waddduh ...apa dia turunan jagatpati? weeeh 😳
SENJA🍒⃞⃟🦅
jadi ketagihan mimpi🤭
Irmha febyollah
lanjut kk
SENJA🍒⃞⃟🦅
ya balon gas yang tetiba gas nya dibuang yah .... pupus harapmu
SENJA🍒⃞⃟🦅
wah yah bagus itu jalurnya nay ikutin rendi aja kamu kan tinggal molor doang 🤭
SENJA🍒⃞⃟🦅
berdebar karena rendi atau wira? 😂😂😂
SENJA🍒⃞⃟🦅
modusmu diskusi padahal kencan 😂
SENJA🍒⃞⃟🦅
ihhh jagatpati, itu isterimu lhooo astaga jahatnya. kamu kencana durhaka banget ke ibu sendiri😤
SENJA🍒⃞⃟🦅
waaah penghinaan ini ngatain rajanya bodoh! wah hukum mati aja udah 😂
SENJA🍒⃞⃟🦅
hilih belangmu terlihat 😂 lagian wira ga mau sama anakmu lho 🤭
SENJA🍒⃞⃟🦅
bukannya dewi parwati dari kalingga yak? nanti mandiminyak sama parwati jadi penguasa kalingga utara atau bumi Mataram 🤭
Naniksay Nay: thx kak...

betul kak...
Pangeran Mandiminyak atau Prabu Suraghana atau Suradharmaputra emang berkuasa didua negara, yaitu Kerajaan Kalingga (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Kerajaan Galuh (di Tatar Sunda).

hanya saja disini biar bisa menggambarkan aja bahwa Sempakwaja dan Mandiminyak itu saling terkait...

sama kaya Pangeran Jantaka, saya tambahkan nama Wirabuana krn dibuat cinta2an biar ga diprotes ahli sejarah, masa resi love2an ....
total 1 replies
SENJA🍒⃞⃟🦅
udah banyak buktinya itu jagatpati, serang aja daerahnya kan sempakwaja penguasa Galunggung , ehh belom kejadian yah 😂
Naniksay Nay: 😭nggak bs kak.... bs2 dia di killkill jg sm pamannya
total 1 replies
SENJA🍒⃞⃟🦅
naaah ini jejak yang di hilangkan 😳
SENJA🍒⃞⃟🦅
hilih jahatnya kamu 😤 wira mana mau sama kau
SENJA🍒⃞⃟🦅
hmmm bener kan jahat dia ini si kencana 😳
Naniksay Nay: jangan ditemenin dia kak... bapaknya jahat🤭
total 1 replies
SENJA🍒⃞⃟🦅
hmmm kencana ini nampaknya jahat ini 🥺😳
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!