Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18. Asisten Meresahkan
18
Suasana di rumah besar milik produser ternama itu tampak hening malam itu. Lampu gantung di ruang tengah memancarkan cahaya kekuningan yang lembut, memantulkan kilau marmer dan keindahan arsitektur klasik yang menjadi kebanggaan pemiliknya.
Patrick yang telah resmi menjadi asisten pribadi Ayumi, baru saja selesai berolahraga di area gym pribadi. Kaosnya basah oleh keringat, dan nafasnya masih sedikit berat. Ia menuju dapur kecil di sisi koridor, menuangkan air dingin ke dalam gelas besar, ketika suara langkah lembut terdengar dari arah kamar utama.
Ayumi muncul dari balik pintu, mengenakan gaun tidur satin berwarna violet yang memantulkan cahaya lampu dengan lembut. Rambutnya yang panjang terurai, namun sayang wajahnya tampak agak muram.
Patrick menoleh, sedikit kikuk.
“Mbak Ayumi? Belum tidur?”
Wanita itu tersenyum samar, tapi senyum yang tak benar-benar bahagia.
“Gak bisa tidur, Patrick. Aku… bosan, dan sedikit kesal.”
Patrick menaruh gelasnya di meja bar. “Kenapa, Mbak?”
Ayumi melangkah pelan mendekat. “Kadang aku ngerasa… seperti hidup dengan bayangan, bukan dengan seseorang yang sungguh hadir.”
Nada suaranya pelan tapi jujur. Tatapannya menunduk, seolah takut ucapannya terdengar terlalu pribadi.
Patrick mencoba menjaga jarak sopan, tapi ada rasa iba yang timbul melihat raut wajah wanita itu, mantan aktris yang dulu selalu bersinar di layar, kini tampak rapuh.
“Mungkin Bapak cuma sedang lelah. Usianya kan udah gak muda lagi.”
“Patrick,” potong Ayumi dengan nada lembut tapi tegas. “Kamu faham apa yang aku bicarakan.”
Ia menatap Patrick sejenak, lalu tersenyum getir. “Kadang orang yang paling punya segalanya justru kehilangan hal paling sederhana, kehangatan.”
Patrick terdiam. Ia bisa merasakan ada beban besar di balik kata-kata itu.
Beberapa detik kemudian, Ayumi menarik napas panjang lalu tersenyum, mencoba menutupi suasana.
“Ah, maaf. Aku bicara terlalu banyak, ya?”
“Gak apa-apa, Mbak.”
“Aku cuma butuh… rileks sedikit. Badanku pegal, mungkin karena stres juga. Kamu… bisa bantu pijat bahu ku sebentar?”
Nada suaranya lembut, hampir seperti permintaan biasa, tapi ada sesuatu yang membuat Patrick sulit menolak.
“Ehm… baik, Mbak. Tapi aku gak begitu pandai sih.”
“Santai aja. Gak perlu tegang gitu kalo sama aku. Lagian Bapak udah tidur kok.”
Ayumi tersenyum lagi, tapi tatapannya memuat makna yang tak sepenuhnya sederhana.
Patrick akhirnya berdiri di belakangnya, berusaha profesional. Ia mulai memijat pelan bahu Ayumi yang tegang. Meski jujur saja dalam hati ia merasa deg-degan sekaligus senang bisa menyentuh tubuh wanita itu.
Wanita itu memejamkan mata, menghela napas panjang. “Kamu punya tangan yang kuat. Pantas saja Aldrich dulu mempercayaimu.”
Patrick sedikit kaget mendengar nama itu yang selalu disebut.
“Mbak kayaknya gak bisa lupa ya soal Aldrich?”
“Iya dong.” jawab Ayumi dengan nada pelan namun tajam. “Aku emang gak bisa lupa. Orang seperti dia gak mudah dilupain.”
Matanya terbuka, menatap ke depan dengan sorot yang tak bisa ditebak, antara nostalgia dan dendam.
Patrick hanya bisa terdiam, berusaha fokus pada pijatannya, tapi pikirannya melayang. Ia tahu Ayumi belum benar-benar selesai dengan masa lalunya. Dan entah mengapa, ia merasa sedang terjebak di tengah badai yang baru mulai berhembus.
Ayumi menoleh sedikit, menatap Patrick dengan senyum samar.
“Terima kasih, Patrick. Malam ini aku bisa tidur lebih tenang.”
Patrick mengangguk pelan. “Sama-sama, Mbak.”
Namun saat wanita itu melangkah kembali ke kamarnya, Patrick sadar, tatapan mata yang sempat tertuju padanya barusan bukan tatapan biasa. Ada sesuatu yang tersembunyi di sana, campuran kesepian, hasrat, dan rencana yang belum sepenuhnya terungkap.
Dan ia tahu, malam itu hanyalah awal dari hubungan yang akan membawa keduanya pada pusaran masalah yang lebih dalam.
***
Langit sore di vila tepi pantai itu mulai berubah warna. Hembusan angin membawa aroma laut yang lembut, berpadu dengan cahaya oranye yang masuk lewat jendela besar ruang tamu.
Usai berpamitan, Allen tersenyum tipis lalu bergegas, hampir berlari kecil menuju kamar. Langkahnya cepat tapi hati-hati. Ia tahu, waktunya tidak banyak. Sejak satu jam lalu ia mulai terasa tidak nyaman, tanda bahwa menstrual cup yang ia pakai sudah harus diganti.
Begitu sampai di kamar, ia menutup pintu perlahan dan menarik napas panjang. Wajahnya menegang, dadanya berdebar. Semua gerakannya refleks, cepat dan terlatih. Ia membuka tas kecilnya, mengeluarkan pouch berisi perlengkapan pribadi, lalu berjalan ke arah kamar mandi dengan langkah terburu-buru.
Namun, baru saja ia memutar gagang pintu kamar mandi, suara berat yang familiar terdengar di belakangnya.
“Allen.”
Suara itu membuatnya membeku di tempat.
Ia menoleh perlahan, dan benar saja, Koko Liang berdiri di ambang pintu kamar yang setengah terbuka. Wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya menelusuri ruangan, lalu berhenti pada benda kecil yang sempat jatuh dari tas Allen, pouch berwarna pastel dengan logo kecil yang tak asing.
Allen refleks memungutnya cepat, menyelipkannya di balik tubuh. Tapi tatapan Liang sudah cukup membuat darahnya berdesir.
“Kenapa buru-buru banget?” tanya Liang datar, tapi matanya memicing. “Dari tadi kamu kelihatan gelisah.”
“Eh, gak, Ko. Cuma… perut ku agak sakit. Mungkin kelamaan di luar, gak biasa sama udara pantai,” jawab Allen cepat, berusaha tersenyum.
Liang melipat tangan di dada, langkahnya maju perlahan ke dalam kamar. “Masuk angin, ya?” Ia menatap ke arah tas yang terbuka di ranjang.
“Kamu bawa banyak banget perlengkapan buat orang yang katanya cuma asisten lapangan.”
Allen berusaha tertawa kecil. “Saya orangnya rapi, Ko. Semua barang harus siap.”
Liang tidak menjawab. Tatapannya bergeser sebentar ke arah tangan Allen yang masih menutupi pouch itu. Ada sedikit jeda, lalu ia tersenyum samar, senyum yang sulit ditebak apakah ramah atau menyelidik.
“Kalau sakit, bilang. Jangan dipaksa kerja. Aku bisa bantu ngomong ke Aldrich.”
Allen mengangguk cepat. “Iya, Ko. Terima kasih.”
Liang memandangi wajah Allen sejenak, terlalu halus untuk ukuran pria. Gerak tubuhnya juga tidak seperti kebanyakan laki-laki, terlalu hati-hati, terlalu lembut. Tapi ia tak ingin membuat suasana aneh.
“Sudah, istirahat. Besok pagi kita snorkeling lagi, kalau kamu sudah baikan.”
Setelah berkata begitu, Liang berbalik meninggalkan kamar. Tapi sebelum pintu benar-benar tertutup, Allen melihat dari sela pintu, Liang masih sempat menoleh sekilas, matanya menatap lurus ke arahnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Begitu Liang pergi, Allen langsung mengembuskan napas panjang.
Tubuhnya gemetar kecil, keringat dingin menetes di pelipisnya.
Ia buru-buru masuk ke kamar mandi, menutup pintu rapat, dan bersandar di baliknya.
“Ya Tuhan…” bisiknya pelan. “Jangan sampai dia curiga lagi.”
Air laut di luar sana bergemuruh, seolah memantulkan keresahan yang sedang ia sembunyikan dengan sekuat tenaga.
.
YuKa/ 201025
aku traveling sama petrick deh ih ..masak cuma di gosok doang dah nyembur 🤣
Entah itu yang disebut cinta atau hanya simpati karena mereka menganggap mu seperti saudaranya sendiri..
Gitu loh Mas Aldrich.. 🤣🤣
makin penasaran aku jadinya
apakah Aldrich sdh tahu kebenarannya?
tapi dia pura-pura saja
berlagak tidak mengetahuinya
geregetan banget aku dibuatnya
semoga segera tiba waktunya
Aldrich membongkar penyamaran Allea
pasti kutunggu momennya
love love kak Yuka ❤❤❤
Terima kasih up nya🥰🥰🥰
tenang Len, awalnya hanya mimpi, tapi pelan tapi pasti akan jadi kenyataan
Untung aja Koko baik hati, setidaknya beban Allen sedikit ringan. Kalopun Aldrich tau semoga reaksinya kaya Koko.
Mulai seru nih.. lanjut Mak 💪😍