Punya tetangga duda mapan itu biasa.
Tapi kalau tetangganya hobi gombal norak ala bapak-bapak, bikin satu kontrakan heboh, dan malah jadi bahan gosip se-RT… itu baru masalah.
Naya cuma ingin hidup tenang, tapi Arga si om genit jelas nggak kasih dia kesempatan.
Pertanyaannya: sampai kapan Naya bisa bertahan menghadapi gangguan tetangga absurd itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora Lune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Boncengan Sore Yang Bikin Deg-Degan
Angin sore berembus lembut menerpa wajah Nayla saat motor yang ditunggangi Revan melaju membelah jalanan kota. Suasana sekitar terasa seperti adegan drama romantis lampu-lampu mulai menyala, suara kendaraan samar terdengar, dan langit senja memantulkan warna oranye keemasan.
Nayla duduk di jok belakang sambil senyum-senyum sendiri, pipinya memerah. Jantungnya berdetak kencang, dan ia merasa seperti sedang berada di dunia lain.
Sumpah, ya... ternyata kalo dibonceng sama orang cakep tuh rasanya beda banget, batin Nayla, hampir tidak percaya dengan apa yang sedang ia alami.
Tangannya yang menggenggam jaket Revan terasa hangat, dan setiap kali motor sedikit berbelok, tubuhnya otomatis semakin mendekat ke punggung Revan. Ia merasa nyaman bukan cuma secara fisik, tapi juga nyaman di hati.
Revan yang sedang fokus mengendarai motor, melirik sedikit lewat kaca spion. Ia melihat refleksi wajah Nayla yang sedang tersenyum-senyum sendiri, dan sudut bibirnya terangkat samar.
Cewek ini... lucu juga, gumam Revan dalam hati.
"Rumah lo di mana?" tanya Revan, suaranya cukup keras untuk mengalahkan suara angin dan mesin motor.
Namun Nayla yang larut dalam pikirannya sama sekali tidak mendengar. Ia masih sibuk dengan imajinasinya sendiri, membayangkan bagaimana reaksi Mita nanti ketika ia menceritakan momen ini.
"Nay!" panggil Revan sedikit lebih keras.
Nayla tersentak, hampir kehilangan keseimbangan saking kagetnya.
"Ah! I-iyah, kenapa, Kak?" ucapnya panik sambil memegang jaket Revan lebih erat.
Revan menghela napas, tapi tetap dengan nada tenang. "Rumah lo di mana? Gue harus tau arah jalan."
"Ohhh, itu..." Nayla tergagap sebentar, lalu buru-buru menjawab. "Nggak usah ke rumah, Kak. Anterin gue ke kafe aja."
Revan sedikit mengernyitkan dahi. "Kafe?" tanyanya, nada suaranya menunjukkan rasa penasaran.
"Iya, Kak. Gue mau langsung kerja abis ini," jawab Nayla sambil berusaha terdengar santai, meski hatinya masih berdebar kencang.
"Kerja?" Revan menoleh sedikit, memastikan ia tidak salah dengar.
"Iya, Kak." Nayla tersenyum tipis, mencoba menjelaskan. "Sehabis pulang kuliah, gue biasanya langsung kerja. Ya, hitung-hitung buat nambah biaya kuliah dan juga buat kebutuhan sehari-hari."
Revan terdiam sejenak, matanya kembali fokus ke jalan. Ada sesuatu dalam nada suara Nayla yang membuatnya sedikit terenyuh. Selama ini ia selalu melihat Nayla sebagai gadis ceria yang penuh tawa, tapi ia tidak pernah menyangka kalau di balik senyum itu, Nayla ternyata sedang berjuang keras.
"Lo kerja di mana?" tanya Revan akhirnya, suaranya terdengar sedikit lebih lembut.
"Di kafe yang nggak terlalu jauh dari kampus. Gue biasanya shift sore sampe malem," jawab Nayla jujur.
Ia menggigit bibir bawahnya sebentar, lalu menambahkan, "Kadang capek sih, Kak... tapi ya gue seneng aja. Bisa ketemu orang-orang baru, dan yang paling penting, bisa sedikit meringankan beban keluarga gue."
Revan tidak langsung menjawab. Dalam hati, ia merasa kagum sekaligus sedikit bersalah.
"Cewek ini mandiri banget... sementara gue cuma ngeliat dia dari luar tanpa tau apa-apa tentang kehidupannya."
"Hebat juga lo, Nay," ucap Revan akhirnya, nadanya tulus.
"Hah? Hebat?" Nayla mengerjap bingung.
"Iya. Kuliah sambil kerja itu nggak gampang. Gue salut sama lo, Nay," jawab Revan, kali ini suaranya lebih dalam dan hangat.
Pipi Nayla otomatis merona lagi, kali ini bukan hanya karena angin sore.
"Makasih, Kak..." gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
Revan tersenyum samar, lalu kembali fokus pada jalan. "Ayo, kita buru-buru. Jangan sampe lo telat kerja."
"Iya, Kak!" Nayla menjawab dengan semangat, meski dalam hatinya masih terasa hangat dan sedikit bergetar karena kata-kata Revan barusan.
Sepanjang sisa perjalanan, Nayla tak berhenti memikirkan ucapan Revan, sementara Revan sendiri sesekali melirik ke kaca spion, memperhatikan senyum kecil yang tak henti-hentinya terlukis di wajah Nayla.
Suasana sore mulai terasa hangat dan sibuk saat motor Revan perlahan berhenti di depan sebuah kafe mungil yang tampak ramai. Aroma kopi dan roti panggang langsung tercium, bercampur dengan suara tawa pelanggan yang keluar dari balik pintu kaca. Lampu-lampu gantung di bagian luar kafe mulai menyala, memberikan kesan hangat dan nyaman.
Motor berhenti mulus di parkiran. Nayla segera turun dengan hati-hati, berusaha tidak terlihat kikuk. Setelah kedua kakinya menginjak tanah, ia melepas helm yang masih terpasang di kepalanya. Rambutnya sedikit berantakan karena helm itu, membuat beberapa helai jatuh menutupi wajahnya. Dengan cepat ia merapikannya sambil tersenyum canggung.
"Makasi ya, Kak, udah nganterin gue," ucap Nayla sambil mengulurkan helm ke arah Revan. Suaranya terdengar lembut, namun penuh ketulusan.
Revan menerima helm itu dengan tangan satu, sementara tangan lainnya tetap di stang motor. Matanya menatap Nayla sejenak, tatapannya tenang namun tajam, membuat jantung Nayla berdetak lebih kencang dari sebelumnya.
"Sama-sama," jawab Revan singkat, tapi senyuman tipis di bibirnya membuat kata-kata itu terasa lebih hangat.
Sejenak, keduanya hanya terdiam, saling bertukar tatap. Angin sore meniup pelan, membuat ujung rambut Nayla sedikit beterbangan. Ada momen hening yang terasa aneh tapi nyaman bagi keduanya.
Revan kemudian memecah keheningan itu. "Yaudah gih, masuk. Nanti lo telat." Nadanya datar seperti biasa, tapi ada sedikit kelembutan yang terselip di balik suara dinginnya.
Nayla yang sedari tadi bengong hanya bisa memandangi Revan tanpa sadar. Ia seperti tersihir oleh sosok cowok yang selama ini cuma bisa ia lihat dari jauh di kampus. Dengan jaket kulit hitamnya dan ekspresi cool yang khas, Revan terlihat seperti karakter utama drama yang Nayla sering tonton.
"Ah! I-iya, Kak!" Nayla akhirnya tersadar dan buru-buru mengangguk. Wajahnya langsung memerah karena malu ketahuan bengong. "Gue... masuk dulu ya."
Namun, sebelum benar-benar melangkah, Nayla tiba-tiba memberanikan diri. Ia memutar tubuhnya sedikit dan berkata, "Oh iya, Kak... jangan lupa, kapan-kapan mampir ke kafe ini, ya. Biar gue bisa traktir kopi atau apa gitu."
Revan terdiam sebentar, matanya menyipit seolah memikirkan sesuatu. Lalu sudut bibirnya terangkat membentuk senyum yang jarang sekali muncul.
"Oke, deal." jawabnya santai. "Nanti gue mampir, tapi lo yang traktir."
Mata Nayla membesar mendengar jawaban itu. Jantungnya seperti mau copot. Ia buru-buru mengangguk sambil tersenyum malu-malu.
"I-iya, Kak! Pasti gue traktir."
Revan hanya terkekeh kecil, lalu menyalakan mesin motornya. "Yaudah, kerja yang bener ya. Jangan kebanyakan senyum ke pelanggan cowok." ucapnya tiba-tiba, nada suaranya terdengar seperti bercanda tapi entah kenapa terasa... agak posesif.
Nayla spontan terkejut, matanya melebar. "Hah?! Kak Revan! Gue nggak gitu juga kali!" protesnya dengan pipi yang semakin merah.
Revan hanya tersenyum samar sambil mengangkat alis, lalu memutar gas motornya. "Hehe, becanda. Udah sana masuk."
"Huh, ngeselin," gumam Nayla pelan sambil manyun, namun tak bisa menyembunyikan senyum yang terukir di wajahnya.
Dengan hati yang masih berdebar, Nayla akhirnya melangkah masuk ke dalam kafe. Ia membuka pintu kaca yang mengeluarkan bunyi bel kecil kring! saat dibuka. Beberapa teman kerjanya langsung melambaikan tangan menyambutnya.
Sementara itu, dari luar, Revan sempat menatap punggung Nayla yang semakin menjauh ke dalam kafe. Tatapan matanya penuh makna, campuran kagum dan rasa penasaran yang ia sendiri belum mengerti.
Sudut bibirnya kembali terangkat sebelum akhirnya ia memacu motornya dan pergi, meninggalkan aroma kopi dan kenangan hangat yang baru saja tercipta.
Di dalam, Nayla berjalan menuju ruang ganti sambil menahan senyum.
"Ya ampun... tadi Kak Revan senyum ke gue! Dan dia janji mau mampir ke sini! Sumpah, hari ini gue nggak boleh lupa sedetik pun!" batinnya sambil memeluk tasnya erat-erat, merasa seperti gadis paling beruntung di dunia.