Khanza hanya berniat mengambil cuti untuk menghadiri pernikahan sepupunya di desa. Namun, bosnya, Reza, tiba-tiba bersikeras ikut karena penasaran dengan suasana pernikahan desa. Awalnya Khanza menganggapnya hal biasa, sampai situasi berubah drastis—keluarganya justru memaksa dirinya menikah dengan Reza. Padahal Khanza sudah memiliki kekasih. Khanza meminta Yanuar untuk datang menikahinya, tetapi Yanuar tidak bisa datang.
Terjebak dalam keadaan yang tak pernah ia bayangkan, Khanza harus menerima kenyataan bahwa bos yang sering membuatnya kesal kini resmi menjadi suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Setelah selesai meeting, Reza masuk ke ruangan kerjanya.
Ia melihat istrinya yang sedang duduk menunggunya.
"Ada apa?" tanya Reza sambil menaruh laptopnya.
"Mas, aku minta maaf. Aku memang salah, Mas." jawab Khanza sambil menundukkan kepalanya.
"Minta maaf? Untuk apa kamu minta maaf. Bukankah kamu nggak mau aku cemburu. Jadi, sekarang terserah kamu, Za. Kamu mau jalan sama Yanuar, sama Devan. Kamu nggak pernah cinta sama aku, Za!"
Khanza langsung terkejut ketika mendengar perkataan dari suaminya.
“Mas, jangan bilang begitu. Aku cinta sama Mas Reza. Aku nggak pernah sekalipun berpikir untuk ninggalin Mas.” ucap Khanza sambil menangis.
Reza menatap istrinya dengan sorot mata penuh luka, bukan hanya marah, tapi juga takut.
“Cinta? Kalau kamu cinta, kenapa kamu masih dekat sama mereka? Kenapa kamu masih bisa senyum ke Devan, masih bisa ketemu Yanuar? Apa aku ini nggak cukup buat kamu?”
Khanza berjalan maju dan akan memeluk tubuh suaminya.
Reza yang melihatnya langsung menyingkir dan meminta Khanza untuk tidak mendekatinya.
"Aku lelah, Za. Lelah sama diriku sendiri. Aku nggak bisa membuat istriku bahagia. Istriku lebih bahagia dengan lelaki lain daripada suaminya sendiri."
Khanza menangis sesenggukan saat mendengar perkataan dari Reza.
"Mas, jangan bicara seperti itu. Aku hanya mencintai kamu, Mas. Memang aku yang salah kemarin pulang larut malam dan pergi dengan Devan. Aku minta maaf, Mas." ucap Khanza.
Reza menghela napas panjang, menutup matanya sejenak.
“Aku nggak tahu, Za. Aku benar-benar nggak tahu lagi harus gimana.” ucap Reza.
Disaat mereka sedang mengobrol tiba-tiba sekretariat Reza mengetuk pintu.
"Pak, mereka telah menangkap Zaenal. Petugas polisi meminta anda untuk datang kesana."
Reza menganggukkan kepalanya dan ia meminta Khanza untuk pulang ke rumah.
"Mas, aku mau ikut kesana."
"Kalau kamu masih menganggap aku suamimu. Tolong patuhi aku."
Reza mengambil kunci mobilnya dan segera menuju ke kantor polisi.
Khanza melihat suaminya yang sudah keluar meninggalkannya.
Ia pun menghela nafas panjang dan mengambil tas kerjanya.
"Bu Khanza, saya yang akan mengantar Ibu pulang." ucap Indra sopir baru yang diperintahkan untuk mengantar jemput Khanza.
Khanza mengangguk kecil dan segera masuk kedalam mobil.
Indra segera melajukan mobilnya menuju ke rumah Reza.
Sementara itu Reza baru saja sampai di kantor polisi.
Ia melihat Zaenal yang duduk meringkuk di sel tahanan.
Reza berdiri di depan sel, menatap dingin ke arah Zaenal yang meringkuk sambil tersenyum miring.
“Kalau bukan karena hukum, mungkin aku sendiri yang sudah menghabisimu.” ucap Reza dengan rahang mengeras.
Zaenal perlahan bangkit, menatap Reza dengan tatapan licik.
“Pak Reza, jangan terlalu cepat menghakimi. Karena kadang, kebenaran nggak seputih yang kamu pikirkan.”
Reza menyipitkan matanya saat mendengar perkataan dari Zaenal.
“Maksudmu apa?”
Zaenal mengeluarkan sebuah kartu memori kecil dan menempelkannya ke jeruji.
“Kalau ini sampai viral, kira-kira apa yang terjadi dengan reputasi seorang Reza, CEO yang disanjung-sanjung itu?”
Reza meraih kartu memori itu dengan tatapan tajam.
“Apa ini?” tanya Reza.
“Rekaman video dimana Khanza dan Devan yang sedang berciuman di pantai."
Zaenal mengatakan kalau kemarin, ia mengikuti kemana Khanza pergi dengan Devan.
Reza mencengkram erat kedua tangannya dan ia meminta polisi untuk mengawasi Zaenal.
"Pak Reza! Keluarkan saya, Pak!" teriak Zaenal.
Reza duduk di dalam mobil dengan wajah tegang.
Tangannya sedikit bergetar saat memasukkan kartu memori itu ke laptopnya.
Beberapa detik kemudian, layar laptop menampilkan sebuah rekaman video.
Nafas Reza tercekat saat melihat video dimana Khanza dan Devan di pantai.
Awalnya mereka hanya duduk berdampingan, berbicara.
Tapi di akhir rekaman, ada satu adegan singkat dimana kamera agak jauh, tapi jelas terlihat Devan meraih wajah Khanza dan menciumnya cepat di bibir.
Reza memejamkan matanya dan menutup laptopnya.
"Apa yang kamu inginkan, Za?" gumam Reza yang kemudian melajukan mobilnya.
Disisi lain dimana Khanza sedang membersihkan rumah dan memasak untuk menyiapkan makan siang.
Ia berharap suaminya akan menerima maafnya atas apa yang ia lakukan kemarin.
"Semoga Mas Reza suka dengan masakanku," ucap Khanza sambil mencicipi ayam saos mentega.
Disaat sedang memasak, ia mendengar suara mobil suaminya yang sudah sampai.
Khanza melepaskan apronnya dan menyambut kedatangan Reza
Reza membanting pintu mobil begitu kakinya menapak halaman rumah.
Suara benturan pintu itu membuat Khanza terhenti di depan pintu, senyum yang tadinya ia siapkan langsung luntur.
“Mas, sudah pulang? Aku masak...”
“Berhenti berpura-pura, Za!!” bentak Reza sambil menunjuk ke arahnya.
Khanza terperanjat, langkahnya mundur selangkah.
“Mas, kenapa bicara begitu? Aku nggak ngerti maksud Mas apa.”
Reza melangkah cepat ke arahnya dengan wajahnya merah padam dan rahangnya yang mengeras menahan emosi.
“Kamu pikir aku ini buta? Kamu pikir aku nggak tahu apa yang kamu lakukan di pantai bersama Devan?”
Khanza membelalakkan matanya saat mendengar perkataan dari suaminya.
“Di pantai? Mas, aku memang ke pantai, tapi aku cuma....”
“CUMA APA?!” potong Reza dengan suara menggema di ruang tamu.
“Cuma duduk manis, senyum-senyum, dan akhirnya membiarkan laki-laki lain mencium bibirmu?! Itu jawabanmu, Za?”
Air mata Khanza langsung jatuh, kepalanya menggeleng keras.
“Mas, aku nggak pernah melakukannya! Aku nggak pernah mengkhianati Mas! Aku nggak tahu Mas dapat cerita dari mana, tapi itu nggak benar!”
Reza menghempaskan laptopnya ke meja dan layar terbuka, menampilkan cuplikan rekaman singkat dimana momen Devan meraih wajah Khanza dan mengecup bibirnya.
Khanza menutup mulutnya, tubuhnya lemas seketika.
“Ya Allah, ini jebakan. Aku nggak pernah mau, Mas! Itu Devan yang tiba-tiba menciumku dan aku langsung menjauh setelah itu! Mas harus percaya sama aku!”
Reza menatapnya dengan mata yang berkilat, antara percaya dan tidak.
“Kalau memang benar, kenapa kamu diam saja kemarin? Kenapa kamu nggak cerita kalau Devan melakukan itu padamu? Kenapa aku harus tahu dari orang lain?”
Khanza jatuh berlutut dan air matanya semakin deras.
“Karena aku takut, Mas. Aku takut Mas marah. Aku takut Mas salah paham. Aku cuma nggak mau kehilangan Mas."
"Takut? Atau kamu menikmati ciuman yang diberikan oleh Devan?!"
Khanza mendongakkan kepalanya ke arah suaminya.
"Sampai segitunya kamu benci aku, Mas? Demi Allah aku tidak berciuman dengan Devan. Kalau Mas nggak percaya, aku pergi dari sini. M-maaf, sudah mengecewakan kamu."
Reza terdiam sejenak setelah mendengar kata-kata Khanza.
“Kamu mau pergi, Za? Jadi segampang itu?! Baiklah kalau itu yang kamu inginkan. Aku tidak akan melarangmu pergi ke Devan atau Yanuar. Silahkan,"
Reza langsung masuk kedalam ruang kerjanya dan ia berteriak di balik sana.
Khanza yang mendengarnya kembali menangis sesenggukan dan masuk ke kamarnya untuk mengambil kopernya.
Khanza menyeret koper keluar dari kamar dengan tubuh yang bergetar.
Air matanya tidak berhenti mengalir, setiap langkah terasa berat seperti menghianati hatinya sendiri.
Sementara itu, di ruang kerja, Reza menatap layar laptop yang masih menampilkan rekaman itu.
“Kenapa hatiku sakit sekali?” gumam Reza dengan suara lirih.
Ia menekan dadanya yang terasa sesak, wajahnya mulai pucat.
Tangannya berusaha meraih segelas air di meja, tapi gelas itu terlepas dan pecah di lantai.
“Za…” suaranya semakin pelan, sebelum tubuhnya goyah.
BRUKK!!
Tubuh Reza ambruk ke lantai ruang kerja, kursi kerjanya ikut terjungkal.
Kepalanya menghantam sisi meja, membuat suara benturan keras terdengar ke seluruh rumah.
Khanza yang baru saja keluar dari kamar langsung tersentak.
“Mas Reza?! Astaghfirullah!”
Ia berlari meninggalkan kopernya, membuka pintu ruang kerja dengan panik.
Di sana, ia melihat suaminya tergeletak tak sadarkan diri.
“Ya Allah, Mas! Bangun, Mas! Jangan bikin aku takut!” teriak Khanza sambil mengguncang tubuh Reza.
Air matanya semakin deras, tangannya gemetar mencoba meraih ponsel di meja untuk menghubungi ambulans.
Sambil menahan tangisnya, ia memeluk tubuh suaminya erat-erat.
“Mas, jangan tinggalin aku. Aku mohon." ucap Khanza.