Di tengah masalah pelik yang menimpa usaha kulinernya, yang terancam mengalami pengusiran oleh pemilik bangunan, Nitara berkenalan dengan Eros, lelaki pemilik toko es krim yang dulu pernah berjaya, namun kini bangkrut. Eros juga memiliki lidah istimewa yang dapat membongkar resep makanan apa pun.
Di sisi lain, Dani teman sedari kecil Nitara tiba-tiba saja dianugerahi kemampuan melukis luar biasa. Padahal selama ini dia sama sekali tak pernah belajar melukis. Paling gila, Dani tahu-tahu jatuh cinta pada Tante Liswara, ibunda Nitara.
Banyak kejanggalan di antara Dani dan Eros membuat Nitara berpikir, keduanya sepertinya tengah masuk dalam keterkaitan supernatural yang sulit dijelaskan. Keterkaitan itu bermula dari transfusi darah di antara keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OMIUS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang Kedelapan Belas
Tak terasa dua minggu sudah aku hanya bisa berbaring di ranjang rumah sakit. Mulai belajar melangkah lagi, namun aku masih merasakan nyeri di salah satu kakiku yang sempat patah. Tubuhku kini banyak disematkan jahitan hasil bedah ortopedi. Meski begitu aku memilih tetap bersyukur. Seberapa pun rusaknya tubuhku, tapi aku masih dianugerahi kehidupan oleh penciptaku.
Kecelakaan lalu lintas yang menimpaku benar-benar menimbulkan trauma bagiku. Berkali-kali aku sampai memimpikannya lagi. Memang mengerikan, kala mobil yang kubawa melaju kencang di Jalan Tol Jakarta-Cikampek tahu-tahu aku kehilangan kendali. Mobilku kemudian berguling-guling begitu saja akibat ban meletus. Nasib baik masih menjamahku, mobilku tak sempat ditabrak mobil lain.
Sekali lagi aku harus bersyukur masih diberi keselamatan. Sedangkan kondisi tubuhku waktu itu hampir sama ringseknya dengan mobilku. Beroleh perawatan intensif di rumah sakit, selanjutnya secara berangsur tubuhku mulai membaik. Apalagi Nitara yang tiada hari menjengukku senantiasa memberiku motivasi. Terus menebar energi positif padaku, dia meyakinkanku akan kembali pulih seperti sediakala.
Keberadaan Nitara di sampingku memang serupa api pembakar semangat hidupku. Sayangnya bukan cuma Nitara saja yang rajin menjengukku di rumah sakit, tetapi Melani juga. Memang kalau sesekali menjengukku rasanya aku harus mempersilahkannya. Bagaimanapun juga aku adalah mantan suaminya. Wajar bila Melani turut mengkhawatirkan kondisiku.
Yang menjadi persoalan kiranya Melani serupa Nitara, gemar saban hari menemaniku di kamar pasien. Rasanya aku layak merasa gerah akan kehadirannya. Lebih-lebih ketika dia dengan seenaknya mengaku istriku di hadapan petugas medis di sini. Berulang-kali aku memintanya untuk tidak menjengukku lagi, tapi dia malah seperti menyengajakan diri hadir menemaniku.
Sedikit mujur untukku. Melani selalu memilih waktu membesuk di pagi hari. Sebelum sore datang dia sudah pamit pulang. Sementara Nitara senantiasa menjengukku di waktu sore hari. Paling tidak mereka berdua sukar untuk bertemu di waktu yang sama. Tentu aku berharap banyak, sampai nanti keluar dari rumah sakit tak sekalipun sempat apes, dipergoki Nitara dalam kondisi berduaan bareng Melani di kamar pasien.
Sebelum mengalami kecelakaan Nitara pernah mendesakku, supaya Melani benar-benar dijauhkan dari kehidupanku. Rupanya dia telah mengendus jika mantan istriku berhasrat untuk rujuk kembali. Aku diminta tegas menjaga jarak dengan Melani. Permintaan yang serta-merta dijalankanku.
Akan tetapi, aku sekarang terkendala oleh sikap Melani sendiri. Berulang kali aku mendesaknya, supaya jangan bertingkah layaknya seorang istri yang tengah mendampingi suami, namun dia justru seperti sengaja mengabaikan seruanku. Hingga aku pernah terpaksa membentaknya, termasuk meminta perawat untuk mengusirnya.
“Loh, bukankah Ibu Melani itu istri Bapak sendiri?” Semua perawat di kamar tempatku dirawat malah selalu balik bertanya seperti ini. Berkali-kali aku menjelaskan jika Melani sudah resmi bercerai denganku, namun mereka malah menyarankanku agar mau lebih bersabar.
Aku disebut mereka, mungkin mengalami gejala amnesia akibat benturan di kepala. Mereka merujuk kata dokter yang memeriksaku, bahwa gejala amnesiaku hanyalah ringan. Akan sembuh dengan sendirinya dalam kurun seminggu saja. Padahal dokter tak pernah menyinggung-nyinggung gejala amnesia sewaktu memeriksaku.
Tak heran bila aku kemudian menuding jika Ulani berada di belakang kejanggalan ini. Para perawat akhirnya percaya kalau dia memang istriku. Sampai aku bingung sendiri memikirkan kepiawaian Melani dalam meyakinkan mereka.
Seperti di pagi hari ini. Sebelum pukul tujuh Melani sudah tiba di kamar tempat aku dirawat. Bosan mengusirnya aku hanya membiarkannya menyuapiku. Kebetulan aku baru saja beroleh menu sarapan pagi. Selama aku dirawat di sini Melani memang rutin menyuapiku di pagi hari. Meski kedua tanganku sekarang sudah dapat kugerakkan untuk makan sendiri, namun karena telah menjadi rutinitas keseharianku selama dirawat di sini, aku akhirnya nyaman disuapi mantan istriku.
Tahu-tahu Nitara masuk ke dalam kamar tempatku dirawat. Sedangkan hari masih terlalu pagi baginya untuk membesukku. Aku tentu saja hanya bisa terperanjat. Membayangkan pun tidak jika Nitara akan datang sepagi ini, di momen yang salah pula.
“Nah, karena Tara sudah datang, tugas menyuapi mesti Melan serahkan ke calon istrimu saja.”
Kala aku masih terpana mendapati kemunculan Nitara yang sekonyong-konyong, Melani malah dengan santainya bersikap. Padahal Nitara kulihat berdiri sembari memelototi kami berdua. Kelihatannya dia memendam kesal padaku. Bayangkan, Melani yang diketahuinya tengah berupaya agar aku bersedia rujuk kembali, tahu-tahu didapatkannya tengah berduaan denganku di kamar rawat inap. Parahnya lagi Melani tengah menyuapiku.
“Ros, Tara, sekarang Melan pulang dulu ya!”
Tetap santai dan ceria Melani saat pamit pulang pada kami berdua. Tiada terlihat perasaan bersalah setelah dipergoki Nitara. Sementara Nitara sendiri hanya diam di tempat semula. Matanya tetap tajam mengawasi Melani yang berjalan keluar kamar. Kemudian dia menutup rapat pintu kamar pasien.
“Tadi Subuh siku kananku kembali sakit kalau digerakkan. Kata dokter, karena aku orang dewasa butuh waktu lebih lama lagi, supaya tulang-tulang di area siku bisa menyambung lagi,” dalihku berbohong. Keluhan serupa sebelumnya sempat pula kulontarkan pada Nitara.
“Terus Mas Eros minta bantuan Melan buat suapin,” timpal Nitara sembari duduk di bangku yang tersedia di samping ranjangku. Walau rona mukanya tetap menampakkan kesal, namun sepertinya dia tak hendak marah-marah padaku.
“Terpaksa, soalnya tanganku sakit waktu ngangkat sendok.”
“Kenapa enggak minta bantuan perawat saja?”
“Sudah, tapi pagi ini para perawat semuanya sedang mendampingi dokter periksa pasien. Jadinya mereka meminta aku lebih menunggu. Kebetulan Melan sedang ada di sini, dia lalu menawarkan bantuan nyuapin.”
“Seharusnya Mas Eros menolak tawarannya.”
“Aku harus segera minum obat pagi. Kupikir tak ada salahnya, lagian ini cuma darurat.”
“Pantas saja Tara enggak pernah lihat Melan besuk Mas Eros, rupanya dia selalu milih jam besuk pagi.”
“Enggak saban hari, kok. Seingatku dia baru dua kali datang membesukku.” Kelihatannya hari ini aku akan sering berbohong pada Nitara.
Lega. Nitara sepertinya memilih melupakan kehadiran Melani saja. Dia tidak menginterogasiku lagi. Malah melanjutkan apa yang tadi dilakukan Melani, menyuapiku.
o18o