Seorang anak tiba-tiba ingin membeliku untuk menjadi Ayahnya. Dia bilang, jika aku menjadi ayahnya, maka dia akan memberikan Ibunya padaku. Gratis.
Menarik.
Tapi ternyata, ibunya tidak seperti wanita pada umumnya. Dia ... sedikit gila. Setiap hari yang ada di kepalanya hanya memikirkan bagaimana caranya menanggalkan seluruh pakaianku.
Aku, Sebastian Foster, bersumpah akan menahan dia di sisiku. Selamanya. Karena dia yang sudah mer4ngs4ng g4irahku, jangan berharap aku bisa berhenti!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Ayahku Sangat Tampan!
Pria itu tersenyum licik dan puas.
“Apa kamu gil4? Apakah lucu mempermainkan orang lain?”
Sebastian melihat ke sisi lain, dan wajahnya semakin sinis. “Apa kamu sudah mengakhiri kencanmu?”
“Apa?” Samantha bingung dengan pertanyaan yang tidak masuk akal.
Sebastian mengerutkan kening dan bertanya, “Kamu menyebrang jalan mati-matian. Pria mana yang kamu kencani?”
Ternyata mobil yang hampir menabraknya tadi adalah mobil Sebastian!
Samantha segera menyindir, “Aku tidak semenarik dirimu yang memiliki teman kencan setiap malam.”
“Kamu tidak kencan? Apa kamu masih mencari ayah untuk Nelson? Kamu selalu memilih orang-orang c4bvl dengan selera burukmu. Kenapa kamu tidak memintaku memberimu beberapa saran?”
“Terima kasih. Aku tidak akan merepotkanmu untuk itu,” kata Samantha. Kemudian dia mengambil hak tingginya, melewati Sebastian dengan pinc4ng.
Sepertinya Samantha memang benar-benar datang untuk bertemu pria secara pribadi!
Ketika dia melewati Samantha tadi, dia melihat Samantha sangat buru-buru untuk mengejar seorang pria. Tadinya Sebastian ingin muncul lebih cepat untuk melihat siapa pria itu, tapi dia tertahan beberapa menit oleh polisi lalu lintas karena melanggar kecepatan.
Wanita yang luar biasa!
Sebastian mengikuti langkah Samantha dan menegur, “Apa kamu tahu jam berapa sekarang? Apa kamu ingat, apa yang harus kamu lakukan setelah bekerja?”
“Ya. Aku harus bekerja sebagai pelayan untukmu.” Samantha menjawab dengan marah, “Aku akan membeli makanan sekarang, dan aku tidak akan membiarkan tubuhmu yang mulia itu kelaparan.”
“Hari ini adalah hari pertama, jadi aku tidak keberatan jika kamu terlambat. Tapi aku akan memberitahumu bahwa mulai besok, begitu kamu pulang bekerja, kamu harus menjemput Nelson tepat waktu dan kemudian membeli makanan lalu memasak untuk kami. Kalau tidak, kau akan bertanggung jawab atas kesepakatan kita.”
“Sebastian Foster, kamu memang tidak pernah puas.”
“Oh, begitukah?”
“Kamu telah menyebabkan aku kehilangan gajiku, tapi aku menerimanya, karena aku benar-benar makan dan tinggal di rumahmu.”
Sebastian menambahkan sekaligus, “Kamu juga tidur—di rumahku.”
“Kau!” Samantha berhenti, kemudian melanjutkan, “Sekarang, kamu menggunakan Nomi untuk mengancamku menjadi pelayanmu. Tidak apa-apa jika hanya menjadi pelayanmu, tapi kamu bahkan membatasi waktu pribadiku. Tidakkah kamu menjadi k3ji setelah melakukan itu?”
“Apa artinya ‘k3ji’? Guruku tidak pernah mengajarkannya.”
“Tanya Nona Olivia, dan dia akan memberitahumu.”
“Bukankah kamu selalu mengklaim kamu pintar? Kenapa tidak kamu yang menjelaskan?”
Samantha marah. Dia tidak ingin membuang waktu di sini untuk berdebat dengan Sebastian, jadi dia berjalan di seberang jalan.
Sebastian berteriak padanya, “Kamu pergi ke supermarket, aku akan menjemput Nelson. Sekarang sudah jam enam lebih. Apa kamu ingin membuat anakmu kelaparan?”
Baru saat itu Samantha memperhatikan bahwa hari sudah gelap. Ia bergegas ke supermarket.
Sebastian kembali ke mobilnya untuk menjemput Nelson. Sejujurnya dia sedang tidak enak badan akhir-akhir ini. Tapi setiap kali setelah dia bertengkar dengan Samantha atau menggodanya, dia menjadi lebih baik.
Ponselnya berdering lagi. Melihat nama yang muncul di layar, Sebastian melempar ponselnya ke bangku di sisinya, membiarkan itu berdering sembari menuju taman kanak-kanak.
Samantha mulai memasak setibanya di rumah.
Tiga piring dan semangkuk sup diletakkan di atas meja. Samantha menyeka tangannya dengan celemek, dan pergi ke ruang tengah untuk meminta mereka makan.
Nelson duduk di kursi kecil sambil mengerjakan pekerjaan rumah, sementara Sebastian menemani dia di sisinya.
Pria itu menjelaskan sesuatu dari waktu ke waktu sambil menunjuk buku-buku untuk Nelson, dan anaknya mengangguk-angguk. Terkadang menggelengkan kepalanya.
Sebastian mengajarinya dengan telaten, sesekali mereka tertawa pelan, lalu kembali serius.
Melihat adegan itu, hati Samantha dipenuhi kehangatan.
Sebastian menoleh dan bertanya, “Apa yang kamu lakukan dengan berdiri di sana? Apa makanan sudah siap?”
“Aku akan mencuci tangan lebih dulu,” kata Nelson dengan sangat bersemangat pergi ke kamar mandi.
Setelah keluar dari sana, Nelson berkata, “Ini sangat harum! Bu, apa kita akan makan malam sekarang? Perutku mengatakan ingin makan.”
“Tentu saja.” Samantha menarik dan melayaninya dengan semangkuk nasi.
Sebastian yang duduk di samping Nelson menatap Samantha, tidak memulai makan.
Samantha tahu apa yang sedang dipikirkan pria itu, tapi dia pura-pura tidak melihatnya. Dia hanya meletakkan semangkuk nasi di depan Nelson, kemudian mengisi mangkuk untuk dirinya sendiri.
Nelson meletakkan mangkuknya untuk Sebastian sembari berkata, “Ayah, Ibu menyajikan makanan untukmu.”
“Terima kasih.” Sebastian mengambilnya tanpa ragu, mengambil alat makan dan mulai makan.
Samantha memelototi anaknya, sementara anak itu menyeringai padanya. Dia jadi harus mengambilkan nasi lagi untuk anak itu.
Saat itu, ponsel Sebastian di ruang tengah berdering.
“Ponselmu berdering.” Samantha mengingatkan.
Tentu saja Sebastian juga tidak tuli, tapi dia tidak menggubrisnya. Pria itu hanya makan dan makan, seolah tidak ada suara di antara mereka.
Mengingat panggilan telepon di perusahaan tadi, Samantha yang penasaran terdorong untuk mengambilkan ponsel Sebastian dengan sukarela.
Namun, Sebastian menghentikannya, “Biarkan itu di sana. Aku akan menelepon kembali setelah makan.”
“Bagaimana kalau itu panggilan telepon yang penting? Kamu makan saja dulu, aku akan mengambilnya untukmu.”
Terlepas dari keberatan Sebastian, Samantha lebih dulu pergi ke ruang tengah dan mengambil.
Melihat nama yang muncul di layar, manik mata Samantha melebar. Itu dari Nyonya Foster, Ibu Sebastian. Kenapa Sebastian tidak mengangkatnya?
Samantha berpikir bahwa pria itu mungkin tidak tahu kalau itu Ibunya, jadi dia akan memberikan dan menunjukkan ponsel itu pada Sebastian. Namun ternyata, meski Sebastian sudah melihat, dia hanya meletakkan ponsel di sisinya dan kembali makan seolah tidak ada yang terjadi.
“Apakah itu panggilan dari Ibumu? Kenapa kamu tidak menjawabnya?” Samantha bertanya dengan ragu-ragu.
Lalu Sebastian mematikan ponselnya, membuat Samantha semakin gil4 karena penasaran. “Apakah Ibumu mendesakmu untuk menikah? Apakah dia mengatur kencan buta untukmu?”
Melihat bahwa Sebastian masih diam, Samantha berpikir bahwa dia telah menebak dengan benar, dan menjadikannya lebih bersemangat saat bertanya, “Tidakkah kamu selalu suka melihat wanita cantik? Mengapa kamu menolak kesempatan ini? Lagipula, mereka juga tidak bisa memaksamu menikahinya, kan?”
Sebastian tiba-tiba meletakkan mangkuknya di atas meja. “Bisakah kamu tutup mulut saat makan?”
“Bu, masalah laki-laki harus diselesaikan oleh laki-laki. Wanita sebaiknya tidak ikut campur.” Nelson, yang sedang menikmati makanannya tiba-tiba ikut campur.
“Aku hanya bertanya, mengapa dia begitu marah?” Samantha bergumam, kemudian dia menatap anaknya, “Ini juga bukan urusanmu! Makanlah makananmu dengan cepat!”
Nelson menjulurkan lidah, lalu menghabiskan makanannya dan menunjukkan mangkuk kosong pada Ayahnya. “Ayah, lihat! Aku menghabiskan makananku hari ini dan aku juga menjadi anak yang baik.”
Ayahnya bilang jika dia menjadi anak yang baik, Sebastian akan hadir di acara sekolah besok.
“Bagus. Jangan khawatir, aku pasti akan berpartisipasi dalam kegiatan besok.” Sebastian berjanji dengan sungguh-sungguh.
Nelson memanjat pah4 Sebastian dan melingkari leher Sebastian dengan lengannya. “Ayah, tolong berdandan sedikit besok. Aku sudah memberi tahu teman-temanku bahwa ayahku sangat tampan! Ibuku tidak bisa menggunakan make-up, atau mengenakan gaun yang indah, jadi aku tidak bisa mengandalkannya.”
“Nelson!” Samantha memekik sambil melotot. “Sejak kapan kamu jadi mengomentari penampilan seseorang?”
“Bu, apa kamu tidak ingat kalau kamu sering mengatakan padaku bahwa anak-anak harus jujur? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.” Nelson berkata dengan ringan, lalu berbalik pada Ayahnya lagi, “Ayah, bisakah kita berlatih berjalan seperti di taman tadi pagi setelah selesai makan malam?”
Sebastian meletakkan alat makannya dan pergi ke ruang tamu dengan Nelson.
Sementara Samantha, dia meletakkan mangkuknya dengan berat, bahkan seperti menghentakkannya. Dia jelas mendengar Nelson berbisik pada Sebastian, “Ayah, Ibuku tidak terlalu pandai. Bagaimana kalau kita berjalan tanpanya?”
Anak itu!
Samantha mendengar tawa anaknya dari ruang tamu, tapi dia tidak punya waktu untuk memperhatikan. Sejak Bibi Martha tidak ada, dia akan melakukan semua pekerjaan rumah.
Saat dia sedang memilah sepatu di pintu masuk, bel pintu berdering.
Samantha hendak berdiri untuk membuka pintu, tapi dihentikan oleh Sebastian.
“Jangan membukanya. Bawa Nelson ke atas dulu.”
Apa yang terjadi?
Mata Samantha penuh keraguan.
“Cepat!”
***