Karma? Apa benar itu yang terjadi padaku? Disaat aku benar-benar tidak berdaya seperti ini.
Bagaimana mungkin aku meghadapi sebuah pernikahan tanpa cinta? Pernikahan yang tidak pernah ku impikan. Tapi sekali lagi aku tak berdaya. Tidak mampu menentang takdir yang ditentukan oleh keluarga. Pria yang akan menikahiku...aku tidak tahu siapa dia? Seperti apa sifatnya? Bagaimana karakternya? Aku hanya bisa pasrah atas apa yang terjadi dalam hidupku.
Aku sebenarnya masih menunggu seseorang dari masa laluku. Seorang pria yang sangat ku cintai sekaligus pria yang telah ku lukai hatinya. Nando Saputra, mantan kekasihku yang telah memutuskan pergi dariku setelah aku dengan tega mengusirnya begitu saja.
Sekarang rasa menyesal kembali menghatuiku saat ku tahu sebuah fakta yang lebih mengerikan...dia Nando, pria yang selama ini ku rindukan adalah adik dari pria yang menikahiku. Rasanya aku ingin bunuh diri saat ini juga....!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amy Zahru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Bayangan yang Melompat
Hari ini kampus libur. Rumah terasa tenang, hanya ada aku, bi Ina dan Nando. Ali masih di luar kota mengurus proyek.
Matahari siang menembus jendela besar ruang makan, menghangatkan lantai marmer yang dingin. Aku duduk sendirian, menikmati teh hangat sambil membuka majalah.
Tiba-tiba, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari lantai atas. Detik berikutnya, Nando berlari menuruni tangga dengan wajah pucat.
“Kak! Kak Aura!” teriaknya panik.
Aku tersentak, menaruh cangkir di meja. “Kenapa, Nando? Ada apa?”
Dia langsung bersembunyi di belakangku, napasnya terengah. “K… kecoa! Di kamar! Aku nggak bisa—aku nggak bisa tidur kalau itu ada!”
Aku menatapnya sekilas. Tubuhnya yang tinggi itu gemetar, seolah baru dikejar setan. Sungguh kontras dengan sosok vokalis panggung yang penuh percaya diri tempo hari. Dan tanpa sadar, aku tertawa kecil.
“Aduh, Nando…” aku menahan senyum. “Kamu masih aja takut kecoa, ya? Nggak berubah sama sekali…”
Begitu kata-kata itu meluncur dari bibirku, aku langsung terdiam. Aku baru sadar—aku keceplosan.
Nando pun menatapku dengan mata melebar. “Masih…? Maksud Kak Aura apa?”
Tatapannya membuat dadaku berdebar. Ia melangkah setapak mendekat. Wajahnya hanya beberapa jengkal dari wajahku. Nafasnya terasa di kulitku. Sekilas, aku hampir yakin dia akan menunduk dan menciumku.
Aku menelan ludah, jantungku berdegup kacau. Tapi buru-buru aku beranjak, meraih sapu yang tersandar di sudut ruangan.
“Aku… aku ambil sapu dulu. Biar aku usir itu kecoa.”
Aku naik ke kamar Nando, tak lama menemukan seekor kecoa yang merayap di lantai. Aku langsung memukulnya telak sampai tergeletak mati. Dengan sapu, aku mengusirnya ke luar. Tapi saat kembali, ide nakal terlintas di kepalaku.
Aku jongkok, mengambil kecoa mati itu dengan tisu. “Nando…” panggilku sambil menyembunyikan senyum licik.
“A… apa?” jawabnya curiga.
Aku mengangkat tisu itu, memperlihatkan isi di dalamnya.
“Nih, kecoanya udah mati. Mau lihat lebih dekat?”
“Jangan, Kak! Jangan!” Nando langsung mundur, wajahnya panik.
Aku tertawa geli.
“Ah masa sih segini aja takut? Nih, pegang sebentar!”
“Kak Aura!” Nando berteriak, langsung lari ke ruang makan.
Aku mengejarnya sambil membawa tisu berisi kecoa mati.
“Nandooo! Nih, ayo peluk kecoa dulu!”
Dari ruang dapur, Bi Ina tersenyum melihat tingkah konyol kami.
Dia berlari mengitari meja makan, aku di belakangnya sambil terkikik tak tertahankan. Kami berlari-lari, seperti anak kecil. Tawaku dan teriakannya bercampur jadi satu.
Sampai tiba-tiba—
“Kyaaa!” kakiku terpeleset di lantai licin dekat teras. Tubuhku terhuyung, lalu jatuh tercebur ke kolam renang dengan suara byuuur!
Air dingin langsung menyergap tubuhku. Aku berusaha menendang-nendang air, tapi sia-sia. Dadaku sesak. Aku tak bisa berenang. Panik melanda, pikiranku kalut: Ini akhirku…
Dalam kabut air yang beriak, aku sempat melihat bayangan di atas kolam. Sosok yang berlari ke arahku.
Lalu—plung!—bayangan itu melompat. Air berhamburan.
Seseorang meraih tubuhku, menarikku ke permukaan dengan tenaga penuh.
“Nando…” aku berbisik lemah begitu udara akhirnya memenuhi paru-paruku.
Ia memelukku erat, satu lengannya membawaku ke tepian kolam. Tubuhnya basah kuyup, nafasnya terengah, tapi matanya hanya fokus padaku.
Aku menggigil, menatap wajahnya dari jarak yang begitu dekat. Untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Tak ada suara, tak ada dunia. Hanya aku, Nando, dan degup jantung yang tak terkendali.