Apa yang akan kalian lakukan jika tiba-tiba kalian terbagun di tubuh orang lain. Apa lagi tubuh seorang idola terkenal dan kaya raya.
Itulah yang sedang di rasakan Anya. Namun, ia bangun di tubuh Arka, seorang Leader boyband Rhapsody. Ia mendadak harus bersikap seperti seorang idola, tuntutan kerja yang berbeda.
Ia harus berjuang menghadapi sorotan media, penggemar yang fanatik, dan jadwal yang padat, sembari mencari cara untuk kembali ke tubuhnya sendiri sebelum rahasia ini terbongkar dan hidupnya hancur.
Mampukah Anya bertahan dalam peran yang tak pernah ia impikan, dan akankah ia menemukan jalan pulang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUJIYAKAR 18
"Iya, aku akan mengusahakannya," jawab Anya membalas pesan Rangga.
"Aku akan menunggumu," ujarnya. "Urusan kita belum selesai, kau harus jelaskan siapa lelaki yang mengantarmu tadi."
Anya meremas ponselnya kuat. "Bagaimana ini? Dia pasti marah karena melihat lelaki lain mengantarku. Aku harus minta Arka untuk membantuku menjelaskan semuanya."
"Mana, sih, dia? Kenapa belum keluar?" gerutu Anya. Ia berdiri sambil menatap ke arah tangga.
Tak lama, Arka muncul. Suara hentakan hak tinggi yang dikenakan Arka menggema di ruangan itu.
Seketika Anya terperangah saat menatap penampilannya yang sangat berbeda. Gaya pakaiannya sungguh berbeda.
Yang biasanya ia berdandan sederhana, kini ia melihat dirinya sendiri bak artis di atas catwalk. Gaun yang indah dan mahal itu tampak cocok membalut tubuhnya.
"Apa benar itu aku? Ternyata aku cantik juga, ya?" gumamnya.
Arka turun dibantu kedua perias itu. Dengan kemayu, Arka menuruni anak tangga sambil memegang kedua tangan perias.
Arka berhenti di ujung tangga. Tangannya terulur ke arah Anya. Anya menggeleng tak percaya dengan tingkah Arka.
Ia meraih jemari Arka sambil menahan tawa.
"Kenapa ekspresimu begitu?" ucap Arka kesal.
Anya menggeleng pelan. "Gak, hanya aja kau terlihat seperti mereka. Gayaku, kan, gak seperti itu."
"Sembarangan! Aku sudah secantik ini disamakan dengan mereka," sahut Arka.
Mereka berjalan beriringan keluar penthouse, sementara kedua perias sudah pergi lebih dulu.
Di dalam lift, Anya melepas genggaman Arka. "Aku ingin minta bantuanmu, boleh?"
Arka bersedekap dada. "Apa yang kau inginkan?"
"Nanti temui pacarku dan bilang kalau aku tidak punya hubungan dengan pria mana pun, ya? Please," Anya menautkan kedua tangannya, memohon.
Arka mendekati Anya dengan hati-hati, menatapnya tajam. "Jadi wanita jangan dibutakan oleh cinta. Lelaki seperti itu masih aja kau pertahankan. Dia itu cowok gak benar."
Arka tampak kesal karena Anya terlihat sangat bucin hingga mudah dibodohi seorang pria.
"Jangan bicara sembarangan! Dia itu baik," sergah Anya.
Arka menggeleng cepat. "Mana ada cowok baik maksa ceweknya dan minta uang seperti tadi? Kau itu bodoh banget. Pantas aja kau gampang dibohongi."
"Jaga mulutmu, Arka! Dia itu lelaki baik. Dia hanya sedang terdesak. Dia juga janji akan mengembalikan uang yang selama ini dia pinjam," jelasnya.
"Terserahmu," ujar Arka.
Ia segera keluar dari lift setelah pintu terbuka, berjalan gontai dan beberapa kali hampir terjatuh karena haknya. Arka terus berjalan meninggalkan Anya.
Anya yang tak tega segera menyusul dan memapahnya. Arka membiarkan Anya membantunya, namun tetap bersikap dingin.
Mereka segera menuju mobil Porsche gagah yang sudah terparkir di depan penthouse.
Seorang sopir segera membukakan pintu mobil. Anya membantu Arka masuk terlebih dahulu, baru kemudian dirinya.
Mobil segera melesat meninggalkan penthouse megah itu. Selama perjalanan mereka hanya diam, suasana menjadi sangat hening.
Setelah setengah jam, mobil berhenti di sebuah restoran bintang lima.
Restoran itu menjulang megah, bagai istana di jantung kota. Fasadnya berkilauan, memantulkan cahaya bulan dan lampu-lampu kota, menciptakan aura mewah yang memikat.
Pintu masuknya dihiasi pilar-pilar marmer kokoh, seolah menyambut para raja dan ratu kuliner.
Begitu melangkah masuk, mata dimanjakan oleh interior yang elegan. Lampu kristal menggantung anggun dari langit-langit tinggi, memancarkan cahaya lembut yang menari-nari di atas meja-meja berbalut linen putih.
Jendela-jendela besar menawarkan pemandangan kota yang memesona, terutama di malam hari.
Setiap detail dirancang dengan sempurna, mulai dari peralatan makan perak hingga rangkaian bunga segar di setiap meja.
Anya menghentikan langkahnya untuk menikmati pemandangan indah di depannya. Namun, tiba-tiba Arka menarik tangannya.
"Cepat jalan! Jangan terlihat kampungan. Aku sudah biasa masuk ke tempat mewah seperti ini, kalau sampai ada awak media, bisa kacau," sentak Arka lirih.
Anya terus berjalan sambil melihat sekeliling. Para tamu pun terlihat sangat berkelas.
Mereka naik lift menuju lantai VIP. Anya terus berjalan ke ruang VIP, sesekali Arka mengingatkan agar bersikap seperti dirinya.
Saat masuk ke ruangan, mereka disambut oleh Shofia dan beberapa pimpinan yang meng-endorse Arka.
Namun, tatapan Shofia tampak tajam menusuk ke arah Arka dalam tubuh Anya. Bahkan, ia menatap dan menilai penampilannya yang tidak seperti biasanya.
Shofia langsung menarik tangan Anya, mendekapnya kuat. "Untuk apa kau membawanya juga? Kita ini sedang makan malam dengan para petinggi, masak kau bawa dia."
Anya mengepal erat, melirik Arka meminta izin. Arka menoleh dan menaikkan sebelah alisnya.
"Memangnya ada apa dengan Anya? Dia juga berpenampilan bagus, tidak memalukan, kok. Lagi pula, dia kan asisten pribadiku," sela Anya sambil menarik tangannya.
"Tapi dia tidak cocok bersanding dengan kita," bisik Shofia.
Sebelum Anya menjawabnya dengan ketus, para petinggi lainnya memanggilnya dan memintanya untuk segera duduk.
Anya mengabaikan Shofia dan duduk bersama mereka.
Arka mendekat dan berbisik, "Aku akan pergi sebentar. Aku ingin jalan-jalan, aku malas bersama mereka semua."
Anya hanya bisa mengangguk pelan. Shofia sangat senang karena merasa tidak ada pengganggu lagi.
Mereka berbincang sambil membicarakan kontrak kerja. Anya merasa bosan karena itu semua sebenarnya bukan tugasnya.
Anya pergi ke kamar mandi. Namun, saat berjalan kembali, ia tertarik dengan suasana riuh dari dalam ruangan lain.
Kebetulan pintu ruangan itu terbuka, hingga ia bisa melihat ke dalamnya.
Matanya membelalak saat melihat seseorang yang sangat ia kenal.
Rangga terlihat memasangkan cincin di jari seorang wanita, dan teman-temannya bertepuk tangan riuh menyaksikan semua itu.
Anya ternganga tak percaya, matanya berkaca-kaca.