Valda yang saat itu masih SD, jatuh cinta kepada teman dari perumahan seberang yang bernama Dera. Valda, dibantu teman-temannya, menyatakan perasaan kepada Dera di depan rumah Dera. Pernyataan cinta Valda ditolak mentah-mentah, hubungan antara mereka berdua pun menjadi renggang dan canggung. Kisah pun berlanjut, mengantarkan pada episode lain hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achmad Aditya Avery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingkar Janji dan Masa Orientasi
Aku ingat, sekarang waktunya menagih janji Ivi. Siapa yang mendapat nilai tertinggi? Aku rasa bukan aku. Sambil tertawa kecil dalam hati.
Aku dan Arka mencari Ivi yang tidak kunjung terlihat batang hidungnya. Sampai kami sudah masa bodoh dan berencana untuk pulang, terlihat Ivi bersandar di tembok samping kantor SMP yang dijadikan tempat pengambilan hasil UN. Bukan itu yang kami pedulikan. Kami melihat seorang laki-laki di samping Ivi.
Siapa itu? Aku rasa bukan ayahnya. Dia terlihat masih muda. Apa mungkin kakaknya? Aku rasa dia tidak punya kakak atau aku yang tidak tahu? Apa aku ditipu?
“Val, itu Ivi sama siapa?” tanya Arka.
“Enggak tahu, Ar,” jawabku.
“Jangan-jangan cowok barunya,” ucap Arka.
“Lah, sebelumnya kan dia juga sudah pernah pacaran sama cowok lain. Sebenarnya dari dulu gue juga sudah enggak percaya. Bodohnya saja kita mau diadu domba. Alasanku menyetujui sayembara itu hanya untuk memotivasi diri menghadapi UN,” kataku.
“Iya sih, kenapa enggak kepikiran ya?” kata Arka.
“Sudahlah, enggak usah dibahas,” kataku yang mencoba menghibur diri padahal dalam hati kesal sendiri. Kenapa tidak mencari yang lain? Untuk apa memaksa?
Tidak akan terulang lagi. Seharusnya sudah cukup. Seharusnya berhenti saat Ivi menolakku di awal.
Ini pelajaran berharga bagiku. Tidak akan pernah terlupakan. Namun, aku tidak dendam sama sekali. Aku tetap menganggap dia sebagai sahabat.
Aku tidak peduli, awalnya kami memang dipertemukan untuk bersahabat. Tidak perlu galau terlalu jauh. Aku hanya kecewa.
Mengapa Ivi mengadakan sayembara yang pada akhirnya kami tidak mendapatkan apa-apa? Itu tidak adil, bukan hanya untukku, tapi untuk peserta sayembara yang lain.
Akhirnya bisa pulang meninggalkan sekolah dengan perasaan lega. Aku meletakkan semua kenangan burukku di masa lalu.
Hanya di SMP ini, kelak aku akan kembali mengingatnya dalam wujud yang berbeda. Itu kenyataan yang justru membuat lebih semangat menghadapi hidup. Kelak versi baru dari diri ini akan lahir dan menjadi orang yang berbeda kelak.
Aku mulai memasuki tahun ajaran baru. Sepertinya badan ini tidak banyak berubah. Masih saja pendek.
Mencoba sedikit perubahan. Mulai hari ini, harus mengawali hari lebih cepat. Tidak boleh malu untuk berkenalan.
Harus mendapat teman di SMA ini, meskipun berada di sekolah yang sama tapi bukan berarti akan bertemu dengan orang yang sama. Aku rasa orang yang pernah berada di SMP dahulu, tidak akan banyak yang kenal denganku. Ya, sepertinya akan begitu.
Arka memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Jawa. Salah satu teman yang paling gila bagiku, mungkin kita tidak akan bertemu dalam waktu yang lama. Ata melanjutkan sekolah di SMK Ricage, masih satu sekolah, hanya saja aku di SMA.Tidak ada alasan untuk bersedih. Mereka mempunyai kehidupan masing-masing yang harus dipertanggungjawabkan. Semoga kita masih menjadi teman.
Masa orientasi pun tiba, padahal rasanya baru dua hari lalu masa orientasi SMP dilaksanakan, sekarang sudah masa orientasi lagi. Waktu itu cepat berlalu. Aku benar-benar menyesal melewatkan tiga tahun terjebak dalam kehidupan suram, seandainya bisa lebih berani dan pintar dalam menghadapi lingkungan baru. Mungkin akan lebih baik.
Saat masa orientasi dilaksanakan, seperti biasa barang-barang tidak jelas menghiasi tas para murid baru. Mulai dari nasi 3T yaitu nasi yang menggunakan lauk berawalan huruf T, cokelat piramida yaitu cokelat toblerone, topi sarjana yang terbuat dari karton dengan warna sesuai dengan kelompok masing-masing, kaus kaki bola belang yaitu kaus kaki bola yang beda warna antara kaki kiri dan kanan, hingga empeng bayi.
Ada yang berbeda dalam masa orientasi kali ini, sepertinya aku cukup bersemangat dibanding masa orientasi saat SMP dahulu. Sepatu harus hitam, tidak boleh menggunakan kendaraan apa pun saat di dekat sekolah. Tiba di sekolah jam setengah 7. Kami harus mengikuti apa yang dikatakan kakak kelas dan masih banyak lagi peraturan dan hal yang harus kami lakukan.
Hari terakhir masa orientasi, kami dibawa ke kelas yang dijadikan aula oleh para kakak panitia untuk mengikuti acara perkenalan dengan guru-guru serta pengenalan tentang seluruh hal yang ada di sekolah ini termasuk peraturan-peraturannya.
Aku memang bukan orang baru di Ricage tapi tetap merasa miskin informasi, bahkan baru mengenal istilah peiba. Dahulu pikirku, peiba adalah orang yang latihan baris-berbaris, ternyata peiba adalah orang-orang yang membantu membersihkan seluruh isi sekolah. Jika tanpa mereka mungkin sekolah ini akan seperti kapal berhantu karena sampah berserakan di mana-mana.
Belum lagi, pepohonan sekitar yang sering menggugurkan daun-daunnya di lapangan. Siapa yang akan membersihkan itu? Hanya pahlawan yang rela bangun pagi dan bersedia menyapu lapangan dengan giatnya. Merekalah peiba.
Memasuki ujung acara, tiba-tiba ketua OSIS datang marah-marah dan menyuruh kami semua duduk. Tidak ada yang boleh keluar. Katanya, kami semua selalu ribut selama acara berlangsung.
Membingungkan, perasaan kami tidak terlalu ribut tadi. Bahkan ada kakak OSIS yang menunjukkan ototnya. Mungkin berniat ingin menakuti.
Kami disuruh minta maaf, padahal rasanya tidak melakukan salah. Baiklah dengan kompak dan pasrah kami minta maaf dan mengaku menyesal, padahal niatnya asal cepat saja karena ingin cepat pulang.
Berhubung hari sudah sangat sore. Kakak kelas dengan judes menyuruh kami berdiri dan baris sesuai kelompok.
Akting yang bagus, dalam hati, sebenarnya aku yakin mereka hanya berpura-pura. Namun, sebagai adik kelas yang baik, ikut saja dengan permainan mereka. Bertingkah seperti kucing yang penurut. Ya, seperti itu.
Kutengok sekitar. Terlihat kelompok lain baru bangkit dari posisinya. Aku melihat dia, salah satu peserta perempuan yang sedang ditanya oleh salah satu kakak OSIS tentang asal sekolahnya. Dia bilang, dia dari SMP plus Ricage.
Aneh, kenapa perempuan yang pertama kali aku lihat begitu jelas adalah anak SMP plus itu? Dia terlihat pandai.
Terdengar rumor SMP plus adalah tempat anak-anak pintar, belajarnya saja dengan bahasa Inggris. Tapi mengapa? Aku justru merasa, akan berurusan dengan orang itu.
Sekarang lebih baik mencoba menepis segala asumsi. Bisa saja tidak akan pernah mengenalnya, sepertinya begitu. Dia sangat berbeda denganku.
Aku hanya orang bodoh yang tidak bisa apa-apa dan lagi kelasku juga akan berbeda. Dia ikut kelas unggulan. Aku mungkin hanya berkutat dengan orang yang ada di sekitar.
Aku hanya akan berkutat dengan orang yang setara. Tidak perlu berkhayal berurusan dengan para manusia tingkat atas.
Rasanya tidak ada rasa percaya diri yang kuat untuk menjadikan mereka teman. Aku mencoba memalingkan pandangan dan kembali fokus pada kakak-kakak OSIS beserta perintah yang mereka berikan.
Kakak kelas mengajak kami keluar. Sekitar jam 5 sore, kami dibawa ke lapangan basket. Kami diberi pengarahan, di sini ketua OSIS dan anggota OSIS yang lain terlihat masih memasang tampang judes, bahkan lebih parah dari yang tadi di aula.
Mereka terlihat ingin memukul kami satu per satu. Namun, di ujung acara, seluruh anggota OSIS menyuruh kami menggenggam topi wisuda yang kami buat dari karton. Ketua OSIS kami datang. Dia masih saja judes seperti di aula. Tiba-tiba mereka menyuruh kami melemparkan topi wisuda karton itu setinggi-tingginya dalam hitungan ketiga.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...