NovelToon NovelToon
Kehidupan Kedua Si Pelatih Taekwondo

Kehidupan Kedua Si Pelatih Taekwondo

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Berondong / Time Travel / Cinta pada Pandangan Pertama / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Amanda Ricarlo

Dara sebagai pelatih Taekwondo yang hidupnya sial karena selalu diteror rentenir ulah Ayahnya yang selalu ngutang. Tiba-tiba Dara Akan berpindah jiwa raga ke Tubuh Gadis Remaja yang menjatuhkan dirinya di Atas Jembatan Jalan Raya dan menimpa Dara yang berusaha menyelamatkan Gadis itu dari bawah.

Bagaimana Kelanjutannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amanda Ricarlo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

terkuak Lesham di cap pelakor Sekolah

Di dalam gedung olahraga yang luas, tepatnya di lapangan basket indoor yang berkilau karena pantulan lampu-lampu di langit-langit, semua orang telah berkumpul dengan pakaian seragam putih yang rapi, sabuk-sabuk berwarna berbeda melingkari pinggang mereka, menandai tingkatan dan pengalaman masing-masing. Barisan mereka tersusun rapih, kedua tangan dikunci di belakang punggung, wajah serius menatap lurus ke depan. Lesham, yang baru saja resmi bergabung, berdiri paling belakang.

Tatapannya polos, seakan berusaha berbaur, namun tetap saja keberadaannya menarik perhatian. Beberapa anggota yang lebih lama melirik ke arahnya dengan pandangan aneh—ada yang bingung, ada pula yang menatap sinis, seakan rumor-rumor palsu yang sempat beredar di sekolah masih begitu melekat dan belum benar-benar hilang.

“Baiklah, Lesham… mulai saat ini aku akan mengubah hidupmu. Semua yang pernah menyakitimu dulu, akan kubalas satu per satu dengan keahlianku" bisiknya lirih sambil menegakkan tubuh, menatap lurus ke depan seolah tengah menahan sesuatu dalam dadanya.

Seorang pria paruh baya, pelatih mereka, melangkah maju dengan suara lantang yang memenuhi ruangan.

“Oke, anak-anak. Kali ini kalian sudah cukup bagus dengan gerakan yang bapak berikan sampai sejauh ini. Rencananya, bapak ingin salah satu dari kalian dipilih untuk mengikuti lomba antar sekolah. Seleksi akan bapak lakukan mulai dari kekuatan otot, ketepatan gerakan, hingga kecepatan. Kalian sudah lebih dari satu tahun berlatih di sini, pasti ada di antara kalian yang mampu menandingi bapak saat ini.”

Mendengar itu, Lesham sedikit menunduk, bibirnya hampir saja melengkung, menahan senyum yang ingin pecah. 'Lomba antar sekolah? Wah, menarik sekali'… batinnya dengan semangat tersembunyi.

Begitu rapat singkat itu usai, semua anggota segera berhamburan ke posisi masing-masing, berlatih gerakan demi gerakan dengan disiplin yang diajarkan. Suara hentakan kaki, desis napas, dan seruan kecil memenuhi ruangan. Namun, berbeda dengan yang lain, Lesham hanya berdiri di sisi lapangan.

Jari-jarinya sibuk memainkan ujung telapak tangannya, wajahnya menampilkan ekspresi seolah-olah dirinya kembali ke peran lama sosok yang tampak lemah, ragu-ragu, dan penuh keterbatasan. Padahal, di balik sorot matanya, tersimpan rencana; Lesham tahu kapan saat yang tepat untuk menunjukkan kemampuan sebenarnya, menghancurkan siapa saja yang pernah meremehkannya.

“Kenapa kau tidak berlatih?” suara berat sang pelatih tiba-tiba terdengar dari sampingnya.

Lesham tersentak, lalu tersenyum kaku. “Oh? Hahaha… saya tidak punya teman untuk berlatih, Pak.” Nada suaranya terdengar canggung, seakan ia benar-benar merasa terpinggirkan.

Pelatih menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Kalau begitu, berlatihlah dengan saya. Akan saya ajarkan gerakan pemula untukmu.”

Mata Lesham membulat, sorotnya bersinar dengan semangat yang sulit disembunyikan. Senyum merekah di wajahnya. “Benarkah, Pak?” tanyanya dengan nada tak percaya, seolah-olah tawaran itu adalah hadiah besar.

“Tentu saja. Ayo, kita cari tempat yang lebih kosong di sekitar lapangan ini untuk berlatih.”

Keduanya kemudian melangkah menjauh dari kerumunan. Pelatih berdiri di hadapannya, menegakkan tubuh sambil memberikan arahan pertama. “Baiklah, pertama-tama tekukkan sedikit kakimu, angkat kedua tanganmu, tegakkan bahumu. Jangan sampai punggungmu membungkuk.”

“Siap!” jawab Lesham dengan lantang, mencoba menyamarkan semangatnya yang hampir meluap.

“Bagus. Nah, berdiri di posisi semula. Saya akan jelaskan tiga posisi dasar bagi pemula. Yang pertama disebut kuda-kuda siap atau ready stance. Yang kedua, kuda-kuda kaki rapat, disebut mao seogi. Dan yang terakhir, kuda-kuda depan, atau ap kubi. Kau mungkin masih bingung bagaimana gerakannya, jadi dengarkan instruksi saya baik-baik. Jika saya sebutkan salah satu posisi, kau harus cepat menirukan. Semakin cepat kau menguasai gerakan itu, semakin kuat ototmu berkembang.”

Pelatih menarik napas, lalu berkata lantang, “Mao seogi!”

Hanya dalam sekejap, tubuh Lesham sudah berpindah ke posisi yang benar. Gerakannya begitu luwes dan tepat, seakan tubuhnya sudah terlatih lama untuk itu.

Pelatih mengernyit, alisnya bertaut rapat. “Oh? Kau sudah tahu gerakannya? Dari posisimu sekarang, seolah-olah kau sudah lama berlatih.”

Lesham menggaruk tengkuk, tersenyum malu. “Hehe… saya hanya menonton tutorial dari video YouTube, Pak. Belakangan ini saya memang sering berlatih diam-diam di rumah.”

“Tutorial YouTube? Tapi gerakanmu tampak sangat alami, tidak seperti baru belajar.” Pelatih masih menatapnya penuh keraguan.

Dalam hati, Lesham tahu ia harus menjaga aktingnya. Ia tak boleh memperlihatkan kemampuan yang sebenarnya, karena sekali saja orang-orang menyadari keahliannya, kecurigaan pasti akan muncul.

“Ah, Pak Pelatih ini bisa saja. Saya merasa tersanjung karena dipuji. Nanti lain kali saya tunjukkan gerakan baru lagi, Pak. Biasanya kalau di rumah saya selalu menonton videonya,” jawab Lesham sambil cengengesan, pura-pura polos.

Pelatih hanya menggelengkan kepala, senyum tipis tersungging di wajahnya. “Kalau begitu jangan ulangi cara itu. Jangan hanya belajar dari video. Ada tata cara yang benar dalam setiap gerakan agar tubuhmu tidak cedera. Kau harus belajar langsung dari ahlinya.”

“Baik, Pak.” Lesham mengangguk cepat, wajahnya berseri penuh semangat.

“Bagus, mari kita lanjutkan. Perhatikan gerakan pertama…”

Lesham mengatur napas, memasang ekspresi serius. Namun, di balik fokus itu, sekelebat bayangan masa lalu muncul di benaknya. Ia teringat lima belas tahun silam, ketika dirinya masih remaja. Saat itu, di usia yang seharusnya ia habiskan untuk bermain bersama kawan-kawan sebaya, ia justru ditempa habis-habisan oleh seorang pelatih privat. Hari-harinya dihabiskan untuk latihan keras, persiapan demi persiapan mengikuti berbagai perlombaan.

Kini, semua itu terasa seperti pengulangan. Bedanya, ia berada di tubuh yang berbeda, di kehidupan yang baru. Tuhan seperti memberinya kesempatan kedua, kesempatan untuk mengulang masa remaja, tetapi kali ini dengan jalan yang lebih luas, untuk memulai kembali, memperbaiki, dan mungkin… menuntaskan yang dahulu belum sempat ia selesaikan.

>•••<

Suasana ruang latihan taekwondo sore itu terasa biasa-biasa saja. Lesham sedang sibuk mengikuti instruksi dari pelatih, memusatkan perhatian penuh pada gerakan kuda-kuda yang berulang kali diperbaiki. Keringat menetes dari pelipisnya, napasnya terengah-engah, namun matanya tetap fokus. Baru saja ia ingin melanjutkan tendangan berikutnya, tiba-tiba terdengar suara ricuh dari arah pintu masuk. Riuh itu semakin membesar, hampir seperti sorakan ketika seorang artis terkenal datang ke tengah kerumunan.

Lesham spontan menghentikan gerakannya. Ia menoleh ke belakang, matanya menyipit, berusaha memperjelas pandangannya yang agak buram oleh keringat. Orang-orang di sekitarnya tampak berebut posisi, beberapa berbisik heboh, dan siswi-siswi yang baru saja duduk santai kini berlari kecil, berdesakan, seolah tidak ingin ketinggalan menyaksikan sesuatu yang luar biasa.

“Memangnya siapa yang datang?” gumam Lesham dalam hati. Rasa penasaran mendorong langkah kakinya maju. Ia berjalan perlahan, melewati beberapa teman latihan yang masih berusaha mencuri pandang ke arah pintu. Langkahnya terhenti tepat di samping salah seorang anggota tim taekwondo perempuan. Lesham mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya lirih namun cukup terdengar, “Ini ada apa? Apa ada artis datang ke sini?”

Perempuan itu terperanjat. Saking kagetnya, ia hampir menjatuhkan botol minumnya karena tiba-tiba menyadari Lesham berdiri tepat di sampingnya. Tatapannya berubah tajam, seolah tidak percaya dengan kepolosan pertanyaan Lesham. Dengan nada sinis, ia menjawab sambil mendengus pendek, “Kau tidak tahu Zane dan Mico? Mereka itu cogan paling terkenal di sekolah ini. Jangan bilang kau lupa? Bukankah dulu kau sempat mengejar-ngejar Zane? Bahkan sampai rela dibully habis-habisan oleh Alia dan gengnya?”

Lesham mematung, alisnya berkerut, bibirnya sedikit terbuka. Ia menoleh ke arah perempuan itu dengan sorot mata penuh kebingungan. “Aku mengejar cowok itu? Sejak kapan? Untuk apa aku mengejar cowok biasa seperti itu?” ucapnya dengan nada datar bercampur heran, tatapan matanya dingin seakan-akan ia sedang meremehkan.

Perempuan itu mendecak pelan, lalu mengangkat sebelah alisnya, seolah menikmati kebingungan Lesham. “Kau ini benar-benar aneh. Apa kau amnesia? Semua orang tahu, kau dulu terkenal dengan cap pelakor tingkat atas. Semua siswa sudah melihat sendiri bagaimana kau rela mempermalukan diri hanya demi Zane. Oh iya… aku ingat, bukankah dulu kau sempat kecelakaan parah sampai sebagian memorimu hilang? Jadi masuk akal kalau kau pura-pura tidak tahu. Kalau kau penasaran, coba saja cari di media sosial sekolah ini. Kau masih jadi trending sampai sekarang.”

Selesai berkata begitu, perempuan itu melangkah menjauh, meninggalkan Lesham dengan tatapan kosong.

“Pelakor? Trending? Astaga… apa sebenarnya yang sudah aku lakukan di masa lalu?” Lesham bergumam pada dirinya sendiri, suaranya pelan namun penuh tekanan. Ia kembali menoleh ke arah kerumunan yang semakin ricuh. Ternyata sosok yang mereka sambut bukan sekadar siswa biasa. Kedua pria itu Zane dan Mico memang memiliki aura yang berbeda. Dari kejauhan, terlihat tubuh tegap mereka, postur atletis khas taekwondo, ditambah wajah rupawan yang seolah diciptakan untuk membuat orang-orang berdecak kagum. Barulah Lesham teringat, pelatihnya pernah bercerita tentang dua atlet muda berbakat yang kerap menjuarai kejuaraan tingkat nasional. Wajar saja jika kedatangan mereka menimbulkan histeria semacam ini.

Namun, bukannya ikut larut dalam kegemparan, Lesham justru memilih mundur. Ia berjalan menuju ruang ganti, tubuhnya seolah terdorong oleh rasa penasaran yang semakin membesar. Begitu duduk di bangku panjang yang dingin, ia merogoh saku dan mengambil ponselnya. Layar terkunci segera terbuka, dan jemarinya dengan cepat mengetik nama sekolahnya di kolom pencarian media sosial yang paling banyak digunakan para siswa.

Logo sekolah muncul jelas, lengkap dengan akun resmi yang dikelola entah oleh siapa. Lesham menelusuri beranda, men-scroll ke bawah perlahan. Deretan postingan lama menampilkan wajah yang tidak asing baginya—dirinya sendiri. Lesham yang tampak polos, wajahnya masih lugu, matanya selalu menunduk, seolah takut bertemu pandang dengan dunia.

Salah satu video yang tersemat membuat dadanya sesak. Dalam rekaman itu, terlihat dirinya berlari kecil menghentikan langkah Zane, kemudian dengan tangan gemetar memberikan sebuah kotak cokelat dan sepasang sepatu basket. Ekspresi Zane saat itu datar, bahkan cenderung acuh tak acuh, tidak menunjukkan kebahagiaan sedikit pun. Sementara Lesham dalam video itu menunduk malu, menunggu balasan yang tidak pernah benar-benar datang.

Tangannya bergetar ketika ia menggulir layar ke bawah lagi. Video berikutnya jauh lebih menyakitkan. Di sana, dirinya terekam sedang duduk meringkuk di samping tong sampah, wajahnya basah oleh air mata, memeluk erat kotak cokelat yang sudah terbuang. Raut wajahnya penuh kekecewaan, kesedihan yang tidak mampu disembunyikan.

“Astaga…” Lesham mengumpat lirih, darahnya mendidih. “Kejam sekali. Setidaknya hargai perasaan orang. Kalau pun tidak suka, jangan sampai dibuang seperti sampah.” Suaranya bergetar, namun nadanya penuh emosi.

Kini ia paham mengapa reputasinya hancur, mengapa label ‘pelakor’ melekat kuat hingga detik ini. Semua orang bisa menyaksikan potongan-potongan hidupnya yang memalukan itu, tersaji tanpa ampun di akun resmi sekolah.

“Kenapa akun sekolah bisa membiarkan ini tetap bertahan? Bukankah seharusnya mereka menjaga nama baik institusi? Apa pihak sekolah tidak takut dicap buruk hanya karena konten semacam ini?” pikir Lesham dengan wajah masam. Ia mengusap keningnya, mencoba menenangkan diri.

Pelan-pelan, muncul sebuah ide. “Kalau saja aku bisa mendapatkan akun dan kata sandi ini, aku pasti akan menghapus semua jejak yang menghancurkan diriku. Dan lebih dari itu, aku akan mencari siapa dalang yang selama ini mengendalikan akun sekolah ini. Orang itu jelas bukan orang sembarangan. Dia bermain di balik layar, menciptakan drama yang terus hidup di sekolah ini.”

Senyum miring perlahan terbentuk di bibirnya. Matanya yang tadi redup kini memancarkan kilau berbeda, sebuah tekad. “Baiklah,” ujarnya pelan, namun sarat keyakinan, “kalau ini memang jalan cerita yang harus kujalani di sekolah ini, aku akan mengikutinya. Bagaimanapun, permainan ini pasti akan sangat… menyenangkan.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!