Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Aku kembali ke rumah sakit. Saat ini tidak ada Oma Melati atau yang lain. Pak Arga duduk sendirian di dalam kamar sembari memandang ke arah luar jendela. Terlihat begitu kesepian.
Setelah mengetuk pintu aku masuk. Wajah Pak Arga yang semula muram kini tersenyum. Aku mendekat dan duduk di kursi samping tempat tidur.
"Apa Papa sudah makan?"
Pak Arga tidak menjawab. Dia menoleh ke atas almari di sisi tempat tidur. Di mana makanan yang seharusnya sudah di makan masih tergeletak rapi. Bahkan obat juga belum tersentuh.
"Mau aku suapi, Pa?"
Pak Arga mengangguk dengan senang. Awalnya memang aneh untuk mendekatkan diri pada Pak Arga. Sampai aku meyakinkan diriku jika aku tidak salah. Pak Arga adalah ayahku, dekat, tentu itu bukan kesalahan.
Aku dengan telaten menyuapi Pak Arga. Sampai pada minum obat pun aku membantunya. Malam ini, aku sengaja meminta izin pada Mada untuk tetap tinggal di rumah sakit. Siapa tahu, aku bisa semakin dekat dengan Pak Arga.
Mada awalnya tidak setuju. Bahkan dia memaksa akan ikut, tapi aku mencoba memberi pengertian. Untuk saat ini aku saja yang mendekat, jika sudah saatnya nanti. Mada juga akan masuk ke dalam keluarga Hilmar.
"Dulu, Heni juga selalu melakukan ini padaku."
"Benarkah? Pasti kalian sangat bahagia ya?"
Pak Arga mengangguk pelan. Dia kembali memandang ke arah luar jendela. Di mana gelapnya malam dihiasi oleh bulan dan bintang.
"Jika dia masih ada. Dia pasti bahagia karena kau datang."
Andai saja.
"Dia sangat mencintaimu Heera. Sampai dia tidak ingin aku memberikan nama Hilmar di belakang namamu."
Aku masih diam. Aku tidak ingin banyak bertanya. Aku ingin Pak Arga sendiri yang menceritakan semuanya.
"Dia cantik sepertimu. Namun dia berubah saat tahu kau sudah meninggal saat itu. Heni tidak lagi menjadi wanita lembut, dia berubah menjadi wanita yang tidak kenal takut."
Suara helaan nafas terdengar berat. Pak Arga memejamkan matanya sesaat lalu kembali membuka matanya. Saat ini dia menatap pada diriku yang masih duduk di tempat.
"Jika aku tidak bodoh. Mungkin dia masih di sini. Bersama kita. Kita bisa membuat keluarga yang indah dan harmonis."
Bukan lagi suara nafas yang berat. Kali ini tangis yang menjadi iringan cerita dari Pak Arga. Untuk menenangkannya, aku tidak tahu harus apa.
"Aku bodoh! Aku sudah membunuhnya! Aku pria kejam!"
Tiba-tiba saja Pak Arga berteriak. Dia menyalahkan dirinya sendiri untuk kematian Ibu Heni. Bahkan dia hampir lari saat dua perawat datang. Salah satu perawat itu menyuntikkan obat, perlahan Pak Arga mulai tenang dan tertidur.
Memang sengaja kamar Pak Arga di dekatkan dengan ruang perawat. Karena bukan pertama kalinya Pak Arga di bawa ke rumah sakit karena hal ini. Bahkan dulu lebih parah, banyak barang rumah sakit yang rusak karena Pak Arga yang telat meminum obatnya.
"Terima kasih," kataku pada dua perawat itu.
"Tidak apa. Apa kau anak Pak Arga?" tanya salah satu dari mereka.
"Iya."
"Dokter sedang menunggumu."
"Baik."
Aku keluar. Mencari ruang dokter yang dimaksud. Sampai di sana aku masuk, dokter wanita itu tersenyum dan berdiri menyambutku. Tanpa aku sadari dokter itu mendekat dan langsung memelukku.
"Kau benar-benar mirip dengan Heni."
Aku kaget saat dokter itu mengatakan tentang Ibu Heni.
"Maaf, aku terlalu merindukannya sampai langsung memelukmu."
"Tidak apa Dokter."
"Silahkan duduk."
Aku duduk berhadapan dengan dokter itu. Dokter itu mengeluarkan sebuah album foto dari laci kerjanya. Aku tidak tahu sampai dokter itu memperlihatkan beberapa foto masa kecil ibu Heni dengan dokter itu.
"Aku tahu kamu anak Heni."
Aku diam.
"Oma Melati mengatakan kau anak angkat Arga, tapi aku tahu kau anak Heni."
Debar jantungku menjadi lebih cepat. Aku merasa jika semua tujuanku akan berakhir di sini. Semua rencana yang sudah tersusun akan hancur seketika.
"Tenanglah. Aku dipihakmu."
Kalimat itu membuat aku sedikit tenang, tapi tetap saja membuat aku kacau saat ini.
"Kau bisa memanggilku Tante Mira. Aku adik sepupu dari ibumu, tapi kau jangan katakan pada orang lain tentang hal ini."
"Kenapa?"
"Sama sepertimu, aku ingin tahu kebenaran kematian Heni."
"Kenapa?"
"Karena dia wanita baik, bahkan wanita yang sangat baik di dunia ini bagiku."
Aku tersenyum mendengar ibuku di puji. Ternyata Tante Mira sudah menungguku sejak Oma Melati mengatakan jika Pak Arga mengangkat seorang anak.
Kini, aku baru tahu keadaan Pak Arga sebenarnya. Pak Arga tidak gila, dia hanya depresi karena kehilangan Ibu Heni. Pengobatan yang dilakukan sudah maksimal, tapi ada yang sengaja mengganti obat milik Pak Arga. Entah siapa, tapi dia berniat agar Pak Arga tidak kambali seperti dulu.
Untuk siapa itu, jelas belum tahu. Bahkan Tante Mira tidak mengatakan hal ini pada Oma Melati. Tante Mira takut, jika Oma Melati yang ada di balik semua ini.
"Kenapa Tante ingin Papa lekas sembuh?"
"Dia yang tahu kejadian malam itu. Apa benar Heni bunuh diri atau di bunuh. Sayangnya, sejak malam itu Arga berubah. Setiap kali dia mengingat tentang Heni, dia akan mengamuk seperti orang kesurupan. Bahkan tidak segan melukai dirinya atau orang disekitarnya."
"Jadi, jika Papa sembuh. Papa bisa pasti akan jujur tentang hal malam itu?"
Tante Mira menggeleng pelan. "Untuk itu, aku belum tahu tapi kita harus segera menyembuhkan Arga."
"Bagaimana caranya. Semua obat dan makanan sudah ada yang mengatur di bawah pengawasan Oma Melati."
"Bukankah kamu bebas mendekat pada Arga?"
Aku mengangguk. Selama aku menjadi anak angkat di depan Oma Melati, Oma Melati tidak pernah melarangku mendekat pada Pak Arga.
"Ini, ini obat yang seharusnya diberikan padanya. Berikan satu hari sekali saja. Ingat, jangan sampai ada yang tahu."
Sebuah botol berwarna putih sudah berpindah ke tanganku. Aku masih ragu untuk percaya atau tidak. Saat ini, aku benar-benar tidak tahu mana lawan mana kawan.
"Baiklah."
Aku memilih setuju saja saat ini. Untuk selanjutnya, aku akan bertanya pada Mada. Apa aku harus memihak pada Tante Mira atau tidak.
Suara pintu diketuk. Aku langsung memasukkan botol yang diberikan oleh Tante Mira ke dalam tas. Tidak lama Tante Mira membuka pintu itu, ternyata seorang perawat yang memberitahukan kondisi Pak Arga.
"Kalian tetap berjaga. Bergantian saja."
"Baik, Dok."
"Dokter, saya juga permisi. Mau menemani Papa lagi. Malam ini saya yang akan menunggunya di sini."
"Baiklah. Jika ada apa-apa. Jangan sungkan untuk mengabariku." Tante Mira menyelipkan kartu nama ke dalam tanganku.
"Baik."
Aku kembali ke ruang rawat Pak Arga. Kembali aku duduk di kursi dan menatap pria itu.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Aku hanya ingin tahu tentang diriku, kenapa menjadi serumit ini? Jika kau benar ayahku, peluk aku dan katakan apa yang sebenarnya terjadi."