Wen Yuer dikirim sebagai alat barter politik, anak jenderal kekaisaran yang diserahkan untuk meredam amarah iblis perang. Tetapi Yuer bukan gadis biasa. Di balik sikap tenangnya, ia menyimpan luka, keberanian, harga diri, dan keteguhan yang perlahan menarik perhatian Qi Zeyan.
Tapi di balik dinginnya mata Zeyan, tersembunyi badai yang lambat laun tertarik pada kelembutan Yuer hingga berubah menjadi obsesi.
Ia memanggilnya ke kamarnya, memperlakukannya seolah miliknya, dan melindunginya dengan cara yang membuat Yuer bertanya-tanya. Ini cinta, atau hanya bentuk lain dari penguasaan?
Namun di balik dinding benteng yang dingin, musuh mengintai. Dan perlahan, Yuer menyadari bahwa ia bukan hanya kunci dalam hati seorang jenderal, tapi juga pion di medan perang kekuasaan.
Dia ingin lari. Tapi bagaimana jika yang ingin ia hindari adalah perasaannya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sungoesdown, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji Yang Kau Buat
Udara malam itu semakin dingin. Aroma tanah basah dan embusan samar dari dedaunan memenuhi taman sunyi yang baru saja mereka jejaki. Yuer masih berdiri dengan tangan digenggam Zeyan yang menoleh ke segala arah, mencari-cari sosok yang Yuer maksud.
Percakapan Yuer dan wanita itu telah usai, dengan begitu cepat. Bahkan sebelum Yuer memahami sepenuhnya. Namun, pertanyaan tentang siapa wanita itu masih belum terjawab.
Di sampingnya, Zeyan kemudian menatapnya. "Dimana wanita itu? Dimana kau melihatnya?"
Yuer kembali ke realita dan menoleh, tangannya menunjuk pintu paviliun. "Dia sudah pergi. Seperti waktu itu, menghilang sebelum aku sempat mengejarnya." Terpaksa dia harus berbohong.
Suara wanita misterius itu masih terngiang di telinganya. Kata-kata yang ia bawa pergi bersamanya seperti bekas bara yang belum padam. Tapi dia tidak bisa memberitahu Zeyan.
Bersamaan dengan itu matanya melihat tanaman yang dia cari, sedikit bercahaya karena memantulkan cahaya dari bulan. "Aku menemukannya,"
Yuer melepas genggaman Zeyan. Berjalan menuju tak jauh dari tempatnya berdiri, tepatnya berada di sisi teras paviliun itu. Ia berlutut mencabut dan mengumpulkannya sampai ia rasa cukup.
Meski sedikit heran bagaimana bisa tempat ini ditumbuhi tanaman herbal yang bahkan tidak tumbuh di hutan. Bahkan tanaman yang tidak akan tumbuh tanpa sengaja ditanam pun ada disini.
Zeyan menatapnya dalam diam. Namun berbeda dari biasanya, tak ada desakan dari pria itu, tak ada desakan kasar untuk menjawab lebih dari yang dia beri. Hanya tatapan diam yang terasa lembut. Diam yang memberi ruang.
Yuer pun segera berbalik, kembali pada Zeyan kemudian berjalan lebih dulu "Aku sudah mendapatkannya, ayo kita kembali." Tapi langkahnya tergesa, terlalu tergesa.
Kakinya tidak siap menuruni undakan paviliun. Tubuhnya condong ke depan, namun sebelum sempat jatuh, sebuah tangan sigap menahan lengannya.
"Di sini gelap," ujar Zeyan, nadanya rendah namun jelas. "Perhatikan langkahmu."
Wen Yuer terdiam. Lengan yang disentuh oleh jemarinya terasa lebih hangat dari biasanya. Ia segera menarik diri, berdiri tegak tanpa berkata sepatah pun.
Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam, sampai pintu taman batu melengkung terlihat di ujung jalan. Saat Yuer hendak melangkah keluar, tangan Zeyan kembali meraih lengannya.
Ia menoleh dengan terkejut.
Di bawah cahaya bulan yang menerobos dedaunan, mata mereka bertemu. Tak ada keraguan di mata Zeyan, hanya tatapan tajam yang mengupas diam-diam.
"Kau sungguh tidak menyembunyikan apa pun?"
Yuer membeku sejenak, namun kemudian senyumnya muncul perlahan, sangat tipis.
"Aku tidak dikirim ke sini dengan tugas tertentu, jika itu yang kau maksud."
Zeyan menatapnya lama, seakan mengukur apakah ia benar-benar berkata jujur. Tapi pada akhirnya, ia menghela napas pendek, lalu melepaskan lengan Yuer.
Mereka melanjutkan perjalanan keluar dari taman tanpa berkata apa pun lagi.
...
Keesokan harinya, Yuer berjalan menuju kediaman keluarga Luo dengan sebuah kotak kecil berisi hasil ekstrak tanaman yang ia dapatkan semalam, tentu tanpa izin Qi Zeyan dan menunggu penjagaan mengendur.
Kotak itu berisi racikan penawar untuk Qianyu, yang ia buat sendiri sejak fajar. Ia menunggu di serambi depan kediaman selagi penjaga kediaman Tuan Luo memanggil tuannya, memandang langit yang sedikit lebih cerah. Bahkan Yuer meninggalkan mantelnya.
Tak lama kemudian, Tuan Luo keluar menemui Yuer dengan senyum tipis dan tubuh sedikit bungkuk.
"Sebuah kehormatan mendapatkan tamu istimewa pagi-pagi sekali." katanya, menatap kotak di tangannya.
"Apa aku datang terlalu pagi?"
Tuan Luo mengibaskan tangannya. "Ah, aku tidak sedang bermaksud buruk, Nona Wen. Aku senang anda datang, aku ingin berterimakasih, Qianyu sedikit membaik sejak terakhir kau rawat."
Yuer membalasnya dengan anggukan sopan. "Syukurlah kalau begitu. Ah, aku juga membawa penawar racunnya."
Yuer menyerahkan kotak yang dia bawa pada Tuan Luo. Tadinya aku ingin menitipkannya pada penjaga dan langsung pergi, tapi kurasa akan lebih aman jika memberikannya langsung pada anda.
"Tanaman ini dikenal sebagai jiyuecao. Tanaman ini tidak tumbuh di sembarang tempat. Aku pernah mempelajarinya di masa lalu, dan aku cukup yakin inilah satu-satunya yang bisa menetralisir jenis racun yang mengalir di tubuh Qianyu."
"Qianyu akan mulai merasa sedikit panas di bagian dada dan tengkuk beberapa saat setelah meminum ini. Itu tanda bahwa racunnya mulai dilawan oleh penawar. Setelah itu, ia hanya perlu istirahat dan menjaga tubuhnya tetap hangat. Dalam dua atau tiga hari, kondisinya akan jauh lebih baik."
Tuan Luo mengamati gadis itu sejenak, sebelum berkata pelan, "Kau sangat berpendidikan meski kau hidup jauh dari kehidupan bangsawan, Nona Wen."
Yuer terdiam, namun kemudian tersenyum kecil. "Anda pasti mengenal ayahku,"
"Cukup untuk tahu bahwa dia terlalu setia pada tempat yang salah," gumam Tuan Luo, kini menatap jauh ke langit. "Aku pernah mencoba menariknya ke pihak kami. Waktu itu, aku percaya dia bisa jadi sekutu berharga. Tapi alih-alih menerima tawaran itu, dia melaporkanku pada istana."
"Aku kehilangan seseorang yang berharga karena keputusannya. Istriku mengulur waktu agar aku bisa kabur bersama anak-anak kami dan mengorbankan dirinya. Kalau tidak karena dia, aku takkan berdiri di sini.”
Yuer tidak bisa berkata apa pun. Ia hanya duduk diam, membiarkan angin lewat menembus jubahnya. Tidak ia sangka ayahnya tega melakukan itu pada rekannya.
Lalu Tuan Luo kembali memandangnya, kali ini matanya lebih lembut.
"Tapi anak perempuan dari orang itu sekarang duduk di hadapanku. Memberi penawar, menyelamatkan anakku. Dunia ini aneh, ya?"
Yuer menunduk dalam. "Maafkan aku, aku tidak tahu soal itu..."
"Tak perlu minta maaf atas dosa orang tuamu," jawab Tuan Luo.
Yuer tersenyum tipis. "Mungkin, ini jalanku untuk menebus dosanya."
"Kalau begitu, rumah ini selalu terbuka untukmu. Kau tak sendiri, Nona Wen. Datanglah jika kau membutuhkan bantuan atau apapun."
Dan di pagi yang sunyi itu, untuk pertama kalinya, Wen Yuer merasa sedikit lebih hangat.
...
Wen Yuer membuka pintu kamarnya perlahan. Hembusan malam masih melekat di kulit dan pakaiannya, tapi bukan itu yang membuat langkahnya terhenti.
Zeyan sedang duduk di pinggir tempat tidurnya.
Satu kaki terangkat santai, tangannya bersedekap, dan matanya tajam menatap Yuer seperti seorang hakim yang menunggu alasan dari terdakwa yang baru saja pulang larut malam.
"Tidak perlu menatapku seperti itu," Yuer berjalan masuk, tetap santai
"Aku tahu aku pergi tanpa izin," ucap Yuer sebelum Zeyan sempat bicara. Ia melepas mantel dan menggantungnya tanpa terburu-buru. "Tapi aku tidak bisa menunggumu kembali hanya demi meminta izin, bukan? Kau tidak ada."
Zeyan tetap diam, ekspresinya tak mudah ditebak, campuran ketidakyakinan dan sedikit geli, mungkin?
Ia menoleh singkat, senyum kecil menggantung di ujung bibirnya. "Dan kalau aku pergi saat penjagaan penuh, para penjaga akan mencegahku keluar. Jadi kupikir akan lebih mudah jika aku berangkat ketika.. yah, ketika semuanya sedang tidak terlalu ketat."
Zeyan mengembuskan napas, senyum miring mengendap di wajahnya. Bukan tawa, tapi jelas bukan kemarahan. Seperti seseorang yang tak bisa memutuskan apakah ia ingin memarahi Yuer atau justru bertepuk tangan untuk kecerdikannya.
"Kau benar-benar tak pernah tahu caranya menjadi patuh, ya," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Yuer menyilangkan tangan. "Kenapa kau di sini?"
Zeyan berdiri perlahan, gerakannya tenang namun tetap menyimpan intensitas. "Apa aku butuh alasan?" tanyanya dengan nada ringan tapi angkuh. "Bukankah seluruh benteng ini milikku? Aku bebas melangkah ke manapun yang kusuka."
Yuer mengernyit, bibirnya menekan senyum sinis. "Tapi ini ruanganku. Kamarku. Kau tidak bisa seenaknya masuk, apalagi saat aku tidak ada."
Zeyan melangkah maju satu langkah, lalu satu lagi. Ada sesuatu dalam caranya memandang Yuer. Tajam, tapi juga sepintas terlihat seolah ia sedang bermain-main dengan Yuer.
"Oh? Artinya aku boleh masuk seenaknya saat kau ada?" bisiknya, hampir seperti tantangan.
Yuer tak mundur. "Bukankah kau selalu seperti itu?"
Zeyan tersenyum samar, lalu sedikit memiringkan kepala. "Kau tahu itu, mengapa sekarang kau terkejut dan melarangku?" suaranya merendah, nyaris seperti desisan lembut. "Apa karena kau mulai berani padaku, Wen Yuer?"
Yuer mengangkat tangan, bermaksud menjauhkan dirinya. Tapi sebelum telapak tangannya menyentuh dada Zeyan, lelaki itu lebih dulu menangkap pergelangan tangannya.
Cengkeraman itu tidak menyakitkan, justru terlalu lembut untuk seseorang seperti Zeyan. Tapi cukup untuk membuat Yuer terdiam, terpaku.
Matanya membeku pada genggaman itu. Jantungnya berdetak tidak pada tempatnya.
Zeyan mendekat. Sangat dekat.
"Oh, kau memang semakin... berani."
Wen Yuer tak bisa berkata apa-apa.
Dan untuk beberapa detik yang terasa terlalu lama, tidak ada yang bergerak selain jantungnya yang berdetak terlalu keras di dada.
Zeyan menarik tangannya dari tangan Yuer dan mundur sedikit. Dia berdiri tegak kemudian menyilangkan kedua lengannya di depan dada. Sorot matanya tampak lebih gelap, menyapu Yuer dari atas ke bawah dengan sikap mendominasi yang nyaris terlalu tenang.
"Kau sudah berjanji akan menurut dalam satu hari penuh," katanya akhirnya, nadanya datar tapi menyimpan tekanan yang sulit diabaikan.
Yuer membelalak sesaat. Tentu saja dia ingat. Janji bodoh itu. Tapi ia cepat menguasai ekspresinya, tak ingin terlihat goyah. Ia menegakkan bahunya dan menatap balik karena dia sudah terlanjur berjanji dan tak bisa mundur apalagi menghindar.
"Tentu saja aku ingat," balas Yuer ringan. "Kau sudah tahu apa yang kau inginkan?"
Zeyan mengangguk. "Aku selalu tahu apa yang kuinginkan."
Suaranya pelan tapi mantap, dan cara ia mengucapkannya membuat waktu seolah berhenti sebentar. Tatapannya menusuk, namun tidak tajam, melainkan terlalu dalam. Seolah kalimat itu menyimpan sesuatu yang tak diucapkan. Sesuatu yang bukan tentang apapun yang sedang mereka bicarakan.
Setelah jeda yang nyaris terlalu lama, Zeyan melanjutkan, "Besok kita akan pergi."
Yuer menyipitkan mata. "Kita?"
Zeyan mengangkat sebelah alis. "Ya. Kau dan aku."
"Ke... mana?"
"Kau akan tahu besok. Kita berangkat pagi-pagi sekali, jadi pastikan kau sudah siap sebelum aku datang."
"Datang?" Yuer menahan nada herannya. "Ke kamarku?"
Zeyan hanya mengangguk santai, seolah tak menyadari betapa banyak lapisan dalam pertanyaan itu. Ia berbalik menuju pintu, langkahnya lambat namun tak ragu.
Sesaat sebelum keluar, ia menoleh sedikit, sekilas tapi cukup untuk membuat suara terakhirnya terasa seperti peringatan sekaligus janji.
"Sampai jumpa besok, Wen Yuer."
Sampai jumpa besok, katanya?
susunan kata nya bagus