Dimana masih ada konsep pemenang, maka orang yang dikalahkan tetap ada.
SAKA AKSARA -- dalam mengemban 'Jurus-Jurus Terlarang', penumpas bathil dan kesombongan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKSARA 31
"Pelan dikit, Sak! Lu kok kek turbo, sih? Kaki gua keserimpet ini!"
Ibrahim tertawa terpingkal-pingkal. Saka dan Jono sedang menggantikannya memikul gerobak, sekaligus berdua, berhimpitan dengan jalan tidak seimbang.
"Kapan sampenya ke tempat rame kalo lu jalannya kayak semut!"
"Siput, Sak! Siput!" Jono meluruskan.
"Apalah! Pokoknya cepetan! Jalan ini sepi. Sapa yang mau beli?"
"Udah biar gua lagi aja," kata Ibrahim. Merasa terhibur tapi juga tak enak hati.
"Gak apa, Im. Biarin kita aja!" kata Jono.
"Hooh, gak apa kita bedua kek lomba sandal bakiak, yang pentingan lu sante aja, Im," timpal Saka.
Ibrahim kembali menggaruk tengkuk, bingung, kasihan, tapi juga kagum dengan kepedulian mereka.
Tak lama.
Ada sekumpulan ibu-ibu senam di sebuah lapangan, Ibrahim biasanya mangkal diam di kejauhan dengan malu-malu, tapi kali ini Jono dan Saka langsung mendekat dengan seruan-seruan konyol yang menghancurkan harga diri bakso yang mereka dagangkan.
"Cuanki spesialis berondong, harga murmer, untuk janda, bonus pelukan Saka!" Seruan Jono yang langsung disoraki ibu-ibu centil.
Saka melebarkan mata dengan kata-kata si Jono yang tiba-tiba menjadikannya umpan.
"Yang mana Saka?" Satu mbak-mbak paling menor dengan tubuh aduhai mendekat dengan semangat, jelas mengakui bahwa dirinya seorang janda, teman-temannya berhambur mengikuti dari belakang.
"Ini dia, Pok. Yang paling tinggi yang paling cakep." Jono merangkulan lengannya ke pundak Saka.
"Anjir, Jon. Kenapa gua, Bege!?!" erang Saka dengan bisikan.
"Biar cepet abis, Sak. Lu donorin seoles kulit mah kagak bakal lecet ini."
"Gak gini konsepnya, Dol!”
"Udah lu diem aja. Kalo muka gua ngejual kek lu juga pasti gua lakuin."
Saka tak bisa berkata lagi.
"Wah, manis banget lho kamu! Serius gratis pelukan, nih?"
Saka terpaksa menguar senyuman manis pada para mbak-mbak centil itu. Kepalang akting gara-gara Jono sialan yang sekarang sedang menahan tawa. "Bisa, Pok. Tapi borong dulu dagangan temen saya!"
"Siaaap!"
Dagangan Ibrahim yang biasanya baru habis di hampir ashar, sekarang ludes hanya dalam watu tiga jam saja sebelum dzuhur. Selain menjual pada ibu-ibu senam, mereka juga mangkal di depan sekolah madrasah yang tidak libur di hari Sabtu. Ketiganya kembali dengan gerobak pikul yang sudah ringan, kembali ke pundak Ibrahim.
Di tengah jalan menuju area mukim Ibrahim ....
"Ada selendang mayang! Jajan dulu yok!" Jono menunjuk seorang penjual es dengan semangat.
Selendang mayang, salah satu minuman tradisional asa Jakarta yang eksistensinya mulai memudar karena dianggap kuno. Juga karena marak minuman-minuman modern yang lebih disukai segala kalangan seperti es boba dan lain-lain.
"Tiga, Pak!" Jono langsung memesan pada penjual yang usianya setara bapak Ibrahim.
"Siap!"
Tiga mangkok sterofoam masing-masing diterima Saka, Ibrahim dan tentu saja, Jono yang mentraktir. Si bapak penjual langsung berlalu dan meneruskan jualannya yang masih banyak.
Ketiganya menikmati jajanan sambil duduk di bawah pohon durian rendah tidak berbuah di pinggir jalanan kecil dengan keadaan lumayan sepi. Sebentar mereka bercokol menikmati udara yang mulai terik.
"Hepi banget gua hari ini!" ujar Jono dengan kepuasan di wajah yang berkeringat.
"Lu hepi, Kampret! Lah pipi gua berasa demek, diremes-remes!" Saka merasa tak adil.
"Haha! Asli gua ngakak ampe pengin kentut pas mbak-mbak yang mukanya kek tepung meluk lu gak lepas-lepas!"
Ibrahim tertawa dan menambahkan, "Iya. Gua ampe cemas lu bakal pingsan, Sak!"
"Keparat emang lu bedua! Padahal gua bakal lebih seneng kalo diumpan sama yang muda-muda."
"Maunya elu itu mah, Anjir."
"Ya lu bayangin dikecupin keong sawah kek mana? Masih bagus perjaka gua kagak keancam juga."
Jono tergelak lagi. "Makanya kalo punya muka jangan bagus-bagus, Sak. Ditambah badan lu yang kaya atlet ini, beneran bisa dijual. Kalo dikelola germo, udah pasti paling laku lu!"
"Pala lu!"
Ibrahim menikmati candaan mereka, tapi langsung teringat dirinya sendiri yang betapa hari ini merasa sangat terbantu oleh dua berandal itu. Bahkan Saka yang masih terbilang baru dikenalnya mau melakukan sejauh ini, jiwa anak itu sudah setara saudara.
"Makasih yak kalian. Gua bener-bener gak tau harus bales pake cara apa," katanya saat seruputan es milik Jono di tetes terakhir, mendadak serius.
Saka menepuk pundak Ibrahim. "Selow, Im."
"Hooh, seneng kok gua lakuin ini sama lu. Jadi punya pengalaman baru gua, contohnya umpanin Saka ke mbak-mbak miripan keong. Haha!"
"Kampret!"
Saat gelak tawa mereka menggema ....
"Wah, abis nih dagangan baksonya?!"
Otomatis menghentikan canda tawa tiga anak remaja itu.
Seorang pria berjaket kulit hitam melongok ke dalam panci bakso Ibrahim di belakang mereka, lalu menutupnya kembali.
Tidak hanya seorang, dua lainnya ternyata ada di belakang sambil menenteng sebuah senapan angin. Seekor burung tertenteng mati di tangan salah satunya. Mereka sepertinya selesai berburu di tepi kali dekat pemukiman penduduk sebelah selatan.
"Siapa yang jualan, nih?" tanya pria tadi lagi, maksudnya siapa di antara tiga anak muda itu.
"Sa-saya, Bang."
Saka melengak ke wajah Ibrahim yang mendadak cemas. Jawaban anak itu sampai terbata, lalu Saka mendongak ke wajah abang-abang yang tampangnya modelan preman pasar.
"Oh, lu, ya?!" kata orang itu seraya mendekat ke arah Ibrahim dan dua temannya yang masih lesehan di bawah pohon durian.
"I-iya, Bang." Ibrahim berdiri dengan kepala merunduk.
“Berarti uang lu banyak dong, Dik?! Boleh bagi kita dikit bakal ngopi di warung Pok Heni.”
Saka dan Jono saling melempar pandang.
Pemalakan!
Ibrahim tergagap bingung. “Ma-maaf, Bang. Sa-saya belum setoran.”
“Ya, kan masih ada untungnya! Lu bisa bagi dikit lah, kagak bakal langsung blangsak juga!”
“Gocap aja, gocap!” temannya di belakang menimpal dengan senyuman jadah.
“Tambahin dikit! Tuju puluh aja!”
Mereka terkekeh tanpa beban.
“U-uangnya buat bayar utang bapak saya, Bang!” Ibrahim berusaha menjelaskan.
Tapi tentu mereka mana mau tahu hal-hal seremeh itu.
“Halah!”
“Jangan, Bang!”
GREB!
Pria itu melebarkan mata saat pergelangan tangannya yang akan merebut tas kecil Ibrahim dicekal Saka.
“Apaan lu?!” tanyanya dengan mata geram.
“Senapan itu masih laku kalo dijual, Bang. Harganya pasti lebih mahal dibanding keuntungan dagangan temen saya,” Saka dengan suara datar.
“Ban9ke juga ni bocah.”
Ibrahim mulai cemas.
Jono berdiri, menarik Ibrahim mundur ke belakang, lalu berbisik, “Gosah ngeri gitu, Im. Lu lupa kalo dia Saka?"
Ibrahim masih takut saja meski tahu itu. “Tapi mereka preman pasar, Jon. Udah banyak hajar orang."
“Cuih! Masih ragu aja lu! Udah jiem aja!”
Jono tetap tenang. Dia masih ingat jelas bagaimana Saka menghajar anak-anak buah AW di dalam kelas saat itu, ditambah Andi Wiguna sendiri sampai menyerah dan berhenti sekolah. Tidak diragukan lagi.
Ibrahim mengangguk menyisi, tas dipeluknya erat di depan perut.
Sekarang dia dan Jono akan menyaksikan tontonan seru bagaimana Saka mematahkan tangan-tangan para preman pasar yang tukang palak.