Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Pengkhianatan, Tapi Pembalasan.
Catatan kecil dari Askara sudah terlipat rapi. Tulisan tangan Askara yang singkat, hanya beberapa kata sederhana, terasa berat di telapak tangan Rania. Sebelum turun dari mobi, ia membuka dompet. Menyisipkan kertas itu jauh di balik slot kartu, seolah takut ada orang yang akan menemukannya. Seolah itu rahasia terakhir yang ia punya.
Ia menarik napas panjang, lalu keluar dari mobil untuk masuk ke rumahnya.
Begitu masuk ke rumah, udara langsung berubah.
Ruang tamu penuh.
Ibu dan Bapak mertuanya, kakak ipar, saudara - saudara lain. Semuanya menoleh bersamaan.
Tatapan mereka tajam.
Seolah ingin bertanya dengan mata, dari mana kau semalaman?
Rania tidak mengangkat wajah. Ia langsung berjalan ke dapur, menaruh tas, pura - pura sibuk.
"Dari mana saja kamu?" suara Niko terdengar dari belakang, dingin.
"Aku kerja," jawab Rania datar.
"Kerja? weekend begini?"
Rania menatap balik Niko sebentar, matanya merah. Jijik. Marah. Kecewa, pada suami di depannya.
"Ya. mendadak ada laporan yang harus segera diselesaikan."
Tatapan dan nada suara Rania yang tenang, membuat Niko salah tingkah. Mengusap kaku tengkuknya.
"Kalau soal kerjaan, ya sudah... mau bagaimana lagi. Kamu nggak pulang berbulan - bulan pun, aku bisa apa... semuanya demi kepentingan kantor."
"Ya." jawab Rania singkat.
" Lalu bagaimana makanannya? sekarang sudah siang... acara ulang tahun Ibra sebentar lagi, tapi kamu belum menyiapkan apa - apa. Kamu masih sempat menyiapkannya sekarang kan?"
Rania menoleh pelan.
Tersenyum miris.
Belum sempat ia menjawab, bel pintu berbunyi nyaring. Suara langkah kaki ramai mendekat.
Rania dan Niko muncul dari dapur, bergabung dengan keluarga besar yang sedang berkumpul di halaman, menatap penasaran rombongan yang datang.
Di halaman, beberapa pegawai katering terkenal masuk membawa tumpukan kotak makanan.
Ada meja panjang, dekorasi, semua diantar rapi.
Niko terperangah.
"Apa ini?" Tanyanya pada salah satu pegawai.
Sopan, pegawai itu menjawab, "Selamat siang, Tuan. Ini kiriman katering, pesanan Nyonya Rania. Ini benar rumahnya, kan?"
Niko mengangguk ragu. "S-sudah dibayar?"
"Sudah dibayar lunas, Tuan. Oleh Ibu Rania."
Niko terperangah. Keluarga di belakang sibuk berbisik kecil, Darimana Rania punya uang sebanyak itu.Berapa uang yang Rania habiskan untuk semua itu. Dasar boros.
Rania tersenyum kecil, tahu betul siapa yang mengirimkannya. Pria pemilik kertas dengan tulisan tangan yang terselip di dompetnya. Pria yang menemaninya sepanjang malam. Pria yang menciumnya lembut, yang.....Ah. Jantung Rania berdebar memikirkan Askara.
Niko menoleh pada Rania dengan dahi berkerut. "Dari mana kamu dapat uang buat ini semua? Katering semahal ini? Aku kan hanya memberimu lima ratus ribu, dan itu pun sudah kamu belanjakan, jadi... darimana kamu dapat uangnya?"
Rania menghela napas, merapikan rambutnya dengan santai.
"Yang penting makanannya sudah ada kan? kamu tidak perlu khawatir tidak ada makanan buat tamu - tamu... nggak penting dari mana uangnya."
Diam.
Hening.
Semua orang di halaman tertegun melihat cara bicara Rania.
Berbeda. Tidak lagi menunduk seperti biasanya.
Dalam hati Rania pun tak tahu, entah kekuatan dari mana sehingga ia sanggup mengucapkan itu semua. Apa karena Askara?... ya, pasti karena Askara.
Niko mengepalkan tangan. Tapi ia jelas tak bisa membuat keributan di depan keluarganya sekarang. Ia lebih memilih masuk dengan muka masam.
Di luar, Pekerja katering mulai sibuk menata makanan. Di dalam, jantung Rania berdegup kencang.
Tidak ada yang tahu siapa yang mengirim semua ini kecuali Rania. Rania yang kembali menyentuh bibir dengan jarinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Suara musik anak - anak, tawa, obrolan ringan bercampur jadi satu di rumah itu.
Balon warna - warni menghias ruangan. Meja penuh makanan katering mahal yang wangi.
Rania berdiri di sudut, menata piring.
Rambutnya diikat sederhana.
Gaun yang ia kenakan adalah gaun lama, abu - abu pudar, dibeli bertahun - tahun lalu. Bagian lengan sedikit melar, benang bawahnya sudah ada yang terurai.
Pintu depan terbuka.
Suara langkah masuk.
Wulan.
Rumah itu mendadak berpindah poros. Seisi ruangan seolah berputar menghadap pada satu orang.
Wulan melangkah masuk. Gaun biru langit membalut tubuhnya dengan pas. Rambut panjangnya jatuh lembut di bahu. Senyumnya manis.
"Wulan!"
Suara ibu mertua Rania terdengar riang.
Ia berdiri, menjemput Wulan dengan pelukan hangat.
"Aduh cantiknya... Mama senang kamu datang,"
Kakak ipar Rania bergabung, memeluk hangat mantan ipar yang dulu pernah ia jelek - jelekkan depan Rania.
"Cantik sekali... kamu tuh emang paling pintar milih baju, selalu bagus di badan kamu."
Rania membeku di tempat, tangannya sibuk memegang piring kotor. Telinganya panas, tapi wajahnya tetap datar.
Ibu mertua melirik tas Wulan, lalu berkata. "Itu tas yang Mama beliin minggu lalu kan? kamu suka? Nanti Mama kirim lagi ya, sayang..."
Rania menghela napas.
Tangannya refleks meraba gaun tuanya, membatin...
Jangankan membelikanku tas, gaji bulananku saja dipotong untuk membayar kerugian kantor.
***********
Beberapa menit berlalu. Bisik - bisik samar terdengar di belakang punggung Rania, membuat Rania yang tengah mengumpulkan sampah bekas makan refleks mencari tahu.
Di depan sana, Niko mendekati Wulan. Senyum di wajahnya lain sekali. Ia berdiri di samping Wulan... lalu tanpa sungkan, tanpa malu, merangkul pinggang wanita itu.
Keluarga besar Niko ribut mengomentari, ada yang bertanya - tanya, ada yang mengasihani Rania sambil melirik prihatin, dan tak sedikit yang berpihak pada Wulan... dengan alasan paling menjijikkan, Wulan lebih sexy, lebih menggoda.
Jantung Rania seolah berhenti.
Tangannya melemas, jatuh ke samping.
Matanya mencari sekutu... siapa pun yang mungkin peduli. Namun tidak ada.
Ibra, anak yang ia cintai seperti lahir dari rahimnya pun kini berlari... bahagia memeluk Wulan.
Lalu Pak Martin... Ayah mertuanya, menatap sebentar. Lalu melengos pergi, bergabung dengan Niko dan keluarga kecilnya, seolah tak melihat menantunya tergugu disana. Seolah Rania hanya bayangan. Tak penting ada atau tiada.
Rania mundur selangkah, mencoba menahan napas yang berat.Dadanya terasa sesak.
Tapi belum sempat ia masuk ke dalam, sebuah suara memanggilnya.
"Rania!"
Suara Wulan.
Semua mata menoleh.
Rania berhenti. Kaku.
Wulan tersenyum sopan. "Ambilin aku makanan dong, Ran. Yang seafood ya, aku lapar."
Senyum manis.
Nada lembut.
Tapi Rania tahu... itu bukan permintaan. Itu perintah. Seolah ia pelayan.
Kedua tangan Rania mengepal di balik tubuh.
Ia ingin berkata tidak.
Ingin menampar.
Ingin melempar piring itu ke lantai.
Namun... Ibra, wajah kecil Ibra terlintas di pikirannya. Dan Ibra disana, dekat Wulan... menatapnya penuh harap, agar ulang tahunnya sempurna, tak ada keributan.
Rania menarik napas.
Menelan semua rasa sakitnya.
"Ya," jawabnya lirih.
Ia berjalan menuju meja makanan. Menahan diri untuk tidak gemetar saat memberikan piring seafood yang diminta Wulan.
Ia tidak menoleh, tidak menatap siapa pun. Semua orang sudah berganti fokus, sibuk makan atau bercanda, seolah tak ada yang salah.
Rania berbalik, memunggungi pesta meriah di belakangnya. Ia sudah hilang rasa. Hilang selera. Menyibukkan diri mengumpulkan piring kosong, kembali masuk ke dapur. Berulang kali. Sepanjang pesta.
*****************
Sore menjelang. Rumah yang siang tadi riuh kini sunyi. Balon - balon sisa pesta mengempis perlahan di lantai.
Aroma makanan katering masih menggantung di udara, bercampur dengan bau samar parfum Wulan, membuat perut Rania seketika mual.
Rania masuk ke rumah, melewati ruang tamu yang berantakan menuju kamarnya.
Tapi begitu sudah membuka pintu... Rania mengutuki dirinya karena lupa apa yang terjadi kemarin di kamar itu, sumpah ia lupa. Tapi sudah terlanjur matanya menatap kasur.
Kasur.
Kasur itu.
Yang seharusnya menjadi tempat paling aman untuknya. Tapi justru menyimpan suara - suara dari semalam. Suara yang terus menempel di kepalanya, tak mau hilang.
Lama Rania berdiri di tepi ranjang. Hampa.
Ingin memukul. Ingin merobek sprei. Tapi ia sudah terlalu lelah, tak ada tenaga. Ia memilih duduk, melantai. Menyandarkan kepala ke tepian ranjang. Menatap kosong.
Suara bahagia Niko dan Wulan terdengar di luar, tertawa saling menggoda.
Rania memejamkan mata rapat - rapat. Memblokir pendengaran, penglihatan.
Tak ada yang mengetuk pintu. Tak ada yang bertanya apakah ia baik - baik saja. Rania seperti hilang. Terasingkan.
Helaan napas Rania terdengar sebelum bergumam pelan, "Aku sudah muak. Muak dengan semuanya."
Tawa Niko dan Wulan pecah lagi. Dekat. Langkah kaki menyusul, tergesa, lantai di teras samping kamar berderit. Rania diam, punggungnya masih bersandar di tempat yang sama. Tangannya dingin.
Mereka berhenti. Tepat di samping kamar. Sunyi sebentar. Lalu suara bibir beradu. Basah. Tergesa.
Rania memejam. Napasnya pelan. Sakit itu datang lagi. Tapi di sela sakit, ada sesuatu yang lain.
Ia teringat Askara
Caranya mencium. Tenang. Dalam. Dan terkadang liar. Semalaman mereka melakukannya hingga bibir mereka kebas. Bibir Askara masih terasa jelas. Bibir hangat yang membuat ritme jantungnya bergerak cepat.
Pengkhianatan?
Tidak. Ia sudah memutuskan, itu bukan pengkhianatan. Itu pembalasan. Dan Rania menikmatinya.
Ingin mengulanginya?
Tentu saja.
Untuk pertama kalinya bibir Rania tersenyum lebar setelah sekian lama..
(Bersambung)....