Wanita yang sering menangis dalam sujudnya, dia adalah Syifa Salsabila, seorang istri yang selalu dihina dan direndahkan ibu mertua dan saudara iparnya lantaran ia hanya seorang ibu rumah tangga tanpa berpenghasilan uang membuatnya harus berjuang. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang tak kenal lelah akhirnya kesuksesan pun berpihak padanya. Akankah ia balas dendam setelah menjadi sultan? ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FAMALIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
"Mbak Syifa ..." Ucap Zaki setelah berada di sebelahnya Syifa.
"Bang Zaki, mas Fahri mana? apa sedang sama dedek bayi?" tanyanya masih dengan suara yang sangat lemah.
"Iya Mbak, tapi ..." Zaki bingung gimana caranya memberitahukan.
"Tapi kenapa, Bang? boleh aku minta tolong panggilkan mas Fahri, karena aku ingin bertemu dengan dedek bayi juga?"
Zaki terdiam, dalam hatinya nggak tega ingin menyampaikan kondisi yang sebenarnya.
"Bang Zaki nggak mau ya?" pintanya dengan sangat memelas dan mengiba.
"Mbak Syifa, sebenarnya ..."
"Sebenarnya kenapa, Bang?"
"Dedek bayimu ..."
"Bayiku kenapa?' tanyanya semakin menuntut penjelasan Zaki.
"Aku bingung, Mbak. Bagaimana caranya menyampaikan ini pada mbak Syifa."
Syifa yang kondisinya masih agak lemah pun tiba-tiba ia berusaha duduk di ranjang rumah sakit itu sambil menanti jawabannya Zaki dengan serius.
Melihat wajahnya Syifa dari dekat yang begitu pucat membuat Zaki semakin tak tega.
"Bang Zaki tolong jawab! please ..."
"Bayinya Mbak Syifa sudah meninggal." jawabnya terpaksa memberanikan diri.
"Apa? Bayiku meninggal? Nggak! pasti Bang Zaki bercanda kan?"
Zaki menggelengkan kepalanya lalu berusaha menguatkan "Mbak Syifa, yang tabah ya, ini semua sudah takdir dari Tuhan, Mbak."
"Tidaaaaaaaakkkkkk ... Hiks hiks ..." Teriak Syifa memecah tangisnya begitu dalam.
Tiba-tiba Inem datang sendirian karena suami dan anaknya menunggu di luar rumah sakit.
"Hiks, hiks, hiks ... Ini pasti hanya mimpi kan Ya Allah?" ratap Syifa masih belum bisa menerima kenyataan.
"Alhamdulillah Kak Inem sudah datang, sebaiknya aku keluar dulu, aku nggak tahan melihat mbak Syifa seperti itu, Kak." ungkap Zaki sambil beranjak.
"Iya, Zak. Kakak akan berusaha untuk menguatkannya."
"Heum."
"Syifa ..." ucap Inem sambil mengelus lembut bahu wanita yang sedang menangis sesenggukan di hadapannya.
"Mbak Inem, katakan padaku bahwa bayiku masih baik-baik saja kan?"
Dengan rasa yang penuh prihatin, tak terasa Inem pun juga merasakan kesedihan yang begitu dalam.
"Syifa, Mbak tahu ini sangat berat untuk kamu terima, tapi kalau ini semua sudah kehendak-Nya kita bisa apa, Syifa?"
"Hiks, hiks, hiks ..." tangis Syifa pun semakin menjadi-jadi air matanya tumpah kini terys berlinang.
"Istighfar, Syifa! Mau tidak mau kamu harus sadar bahwa semua yang ada di dunia ini adalah titipan Tuhan yang sewaktu-waktu bisa di ambil kapanpun itu.
"Iya, Mbak. Astaghfirullah ... Innalillahi wa inna ilaihi Raaji'un, hiks ..."
Inem memeluk Syifa dengan kuat, ia berusaha memposisikan dirinya apabila di posisi seorang ibu yang baru kehilangan anaknya pasti ia juga sangat butuh support dan kekuatan.
Di luar ruangan Zaki diam-diam menangis pilu kala teringat kesedihan Syifa tadi seperti Dejavu saat ia kehilangan Melisa dulu.
"Bang Zaki kok ikut nangis? Lelaki nggak boleh cengeng loh, Bang!" kata Fani sudah kembali dari kantin "Ini minum dulu!"
"Saya cuma nggak kuat melihat kakak iparmu menangis tersedu-sedu, Fan."
"Kak Syifa sudah sadar?"
"Heum, sekarang di dalam bersama kak Inem."
Fani duduk disebelah Zaki sambil menaruh cemilan-cemilan yang sudah dibelinya.
"Kamu nggak ingin masuk menemui Mbak Syifa, Fan?"
"Nggak! Untuk apa menemuinya, kan di dalam sudah ada mbak Inem."
"Kamu nggak ingin mensupport mbak Syifa supaya kuat?"
"Nanti saja! Sekarang aku masih ingin ngobrol bersama bang Zaki."
"Ngobrol denganku nggak penting, Fan. Mending sekarang kamu temui mbak Syifa dulu deh!"
"Bang Zaki kenapa sih? setiap aku ingin ngobrol bersama bang Zaki selalu aja menghindar??"
"Terserah lah! Yang pasti kondisi kita lagi berduka, jadi nggak usah memperburuk keadaan. Dan saat ini jujur saya lagi ingin sendiri, Fan!"
"Okay kalau gitu. Aku nggak akan ganggu Bang Zaki lagi! Tapi aku juga nggak ingin ke ruangan Kak Syifa."
Setelah selesai pemakaman jenazah bayinya, Fahri segera ke rumah sakit lagi, sedangkan Harun dan Rita tetap berada di rumah karena masih banyak pelayat yang bertakziah.
"Zak, gimana kondisi Syifa?"
"Alhamdulillah sudah sadar, Bang. Sekarang kak Inem sedang menemaninya."
"Alhamdulillah, kalau gitu saya langsung masuk menemui Syifa aja."
"Heum, yang tabah ya, Bang?"
Fahri menjawabnya dengan anggukan pelan lalu segera masuk ke ruangan istrinya itu.
"Assalamualaikum, Syifa, Mbak Inem ..."
"Wa'alaikumussalam, Eh Fahri sudah kembali, ya sudah kalau gitu saya izin pamit dulu ya,"
"Iya, Mbak. Terima kasih."
"Sama-sama, semoga kalian berdua diberi ketabahan dan keikhlasan."
"Aamiin."
Zaki, Inem dan Fani meninggalkan rumah sakit. Mereka pulang dengan perasaan yang sedih pula kecuali Fani merasa biasa seolah tidak terjadi apa-apa.
~
"Sayang ..." panggil Fahri lembut sambil mengelus kepala Syifa yang tertidur miring membelakanginya.
Syifa tidak menjawab, ia justru meneteskan air mata kala mengingat ucapan sang ibu mertua yang tidak menginginkan bayinya ada.
"Sayang, Mas minta maaf tidak bisa siaga di hari persalinanmu karena HPL kamu juga masih 5 hari lagi, Mas pikir lebih baik ambil cutinya mepet H-2, tapi nggak tahunya maju, Mas benar-benar nggak mengira, Sayang. Dan kebetulan tadi ada meeting dadakan juga,"
Syifa tetap diam, kehilangan bayi yang dikandungnya selama 8 bulan lebih membuatnya merasa sangat kehilangan bagai separuh jiwanya ikut pergi.
"Syifa, bicara dong! Supaya Mas nggak merasa bersalah terus." pintanya sambil menggenggam tangan Syifa.
"Hiks, Hiks ..." Rasa sakit Syifa semakin menjadi melihat suaminya kini seolah bayangan dari ibu mertuanya ikut hadir.
"kalau memang dengan menangis terus bisa membuatmu lega maka lakukanlah!"
"Mas, seandainya aku minta sesuatu boleh nggak?"
"Tentu saja boleh, kamu minta apa, Sayang?"
"Setelah apa yang terjadi ini, tolong lepaskan aku!" pintanya dengan suara yang sangat berat dan terus diiringi dengan air matanya.
"Lepaskan? maksudmu?"
"Aku ingin kita berpisah, hiks, hiks ..."
"Tidak, Sayang! Meninggalnya bayi kita itu sudah Qodarullah, kamu nggak boleh bicara gitu! Lagian nanti kita kan masih bisa berusaha untuk mendapatkan anak lagi!"
"Tidak, Mas. Aku takut ucapan ibu akan menjadi kenyataan lagi, hiks hiks ..."
"Ucapan ibuku? Beliau bilang ke kamu apa?"
"Tadi pagi sebelum aku merasakan kontraksi, ibu sempat berbicara padaku bahwa ibu tak menginginkan bayi kita tinggal di rumahnya, dan ibu menyuruhku supaya aku pulang ke rumah orang tuaku, hiks ..."
"Benarkah ibu bilang gitu?"
"Mas Fahri tidak percaya lagi dengan ucapanku?"
"Percaya. Kalau gitu aku ingin pulang menemui ibu sekarang!"
"Jangan, Mas!" cegah Syifa sambil menarik tangan suaminya.
"Ucapan ibu keterlaluan, Syifa."
"Tapi aku nggak ingin menjadi sumber masalah antara Mas Fahri dengan ibu."
Fahri tak bisa berkata apa-apa, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Ia bingung harus berbuat apa.
"Mas, ibu pernah bilang ke aku bahwa Mas Fahri harus memilih satu diantara aku dan ibu, maka sekarang aku putuskan aku yang akan mundur!"
"Nggak, Syifa! Mas mencintai keduanya, Mas nggak ingin kehilangan salah satu di antara kalian!"
"Tapi ibu nggak menginginkan itu! kalau pernikahan kita diteruskan aku takut ibu akan terus berucap hal-hal buruk lagi padaku,"
"Tapi Syifa, hati manusia itu dalam genggaman Allah, kamu paham kan itu? Lalu kenapa sekarang kamu berfikir yang aneh-aneh?? Bukannya fokus mendoakan supaya ibu berubah malah pingin menyerah, ada apa denganmu, Sayang?"
"Tapi aku bukan malaikat, Mas. Yang selalu terima dengan perlakuan-perlakuan buruk ibu ke aku, apalagi harapannya tadi pagi yang tak ingin menerima bayi kita hadir, sehingga bayi kita pun benar-benar pergi sebelum aku sempat mendengar tangisannya, memeluk tubuh mungilnya, menggendongnya, oh Ya Allah rasanya sakit sekali, hiks hiks ..."
"..."
Bersambung ...