Terkejut. Itulah yang dialami oleh gadis cantik nan jelita saat mengetahui jika dia bukan lagi berada di kamarnya. Bahkan sampai saat ini dia masih ingat, jika semalam dia tidur di kamarnya. Namun apa yang terjadi? Kedua matanya membulat sempurna saat dia terbangun di ruangan lain dengan gaun pengantin yang sudah melekat pada tubuh mungilnya.
Di culik?
Atau
Mimpi?
Yang dia cemaskan adalah dia merasakan sakit saat mencubit pipinya, memberitahukan jika saat ini dia tidak sedang bermimpi. Ini nyata!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ana_nanresje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25_Ikut Bermain
Bintang dan bulan tidak nampak diatas sana karena tertutup gumpalan awan yang menjatuhkan cairan berupa kristal. Angin menerjang hujan, meninggalkan embun yang tertinggal dikaca. Daun-daun bergoyang saat hujan dan angin menghantamnya, bahkan membuatnya berjatuhan karena serangannya.
Sorot matanya yang tajam tak lepas dari pandangannya yang menatap lurus kedepan. Memperhatikan sebuah pohon yang diguyur oleh hujan. Kedua tangannya dia masukkan kedalam saku, membiarkan poninya berjatuhan saat angin dengan lancang membelai wajahnya.
Tumitnya berputar menatap kearah tempat tidur. Perlahan sorot matanya mulai berubah. Tatapannya tak sedingin tadi, justru kini terlihat cemas dan penuh kekhawatiran. Kakinya melangkah pelan, mendekat kearah objek yang mencuri perhatiannya. Pipinya yang berisi terlihat tirus, bibirnya yang berwarna merah delima kini menjadi pucat dan kering.
Dia terdiam, menahan kakinya saat beberapa langkah lagi jarak antara dia dengan wanita yang tengah terbaring di ranjang miliknya. Wanita itu terpejam menyembunyikan bola matanya yang indah dan meneduhkan. Ada rasa takut dalam dirinya, takut akan kehilangan dan penolakan. Dengan tekad yang dimiliki akhirnya dia mendekat, duduk di samping wanitanya.
Tangannya menyentuh tangan lemah itu, di usapnya lembut sebelum akhirnya dia mengecupnya lama. Hatinya kembali dilema, membuat perasaannya tidak menentu. Cairan itu terbendung di kelopak matanya, dadanya merasa sesak secara tiba-tiba. Hati dan logikanya kembali mempermainkannya.
Air asin itu jatuh dari sudut matanya saat dia mengedip, membuat jalur di pipinya dengan penyesalan yang menggerogoti hatinya. Dadanya yang terasa sesak membuat nafasnya tercekat, seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya.
" Maaf. Maafkan Aku!" Kepalanya jatuh pada tangan yang berada di genggamannya. Suaranya berubah menjadi berat dan serak. Dia menyadarinya, menyadari semua kesalahan yang sudah diperbuat olehnya.
" Kembalilah demi calon anak kita, aku tahu kamu pasti mendengar suaraku." Tangannya menyentuh pipi tirus wanitanya lalu mengusapnya lembut untuk beberapa kali.
Mata itu masih terpejam dengan selang infus menancap pada tangan kirinya. Wajahnya terlihat damai, dengan hembusan nafas yang terdengar beraturan " Bertahanlah. Kembalilah demi kami, aku dan calon anak kita menunggumu kembali. Kembalilah Ay, kembali!"
Ramon kembali menjatuhkan air matanya. Melihat wanitanya yang masih tak sadarkan diri membuat dirinya tidak tenang. Entah Raya ataupun Aya yang akan kembali nanti. Ramon berharap kedua wanita itu bisa bertahan. Jiwa mereka memang berbeda tapi mereka memiliki raga yang sama. Jika Raya yang kembali mengambil alih tubuh istrinya, Ramon tidak keberatan karena harapannya adalah jika raga itu masih bertahan ada kemungkinan Aya masih hidup di dalamnya.
Ramon turun tangan sendiri untuk mendapatkan istrinya kembali. Meskipun awalnya terjadi pertengkaran dan perdebatan hebat antara dia dengan Rai tapi akhirnya kemenangan berada di tangan Ramon. Status suami Aya masih berlaku untuknya dan status itu dia gunakan untuk mengambil Aya dari tangan Rai. Dan disinilah mereka sekarang, sebuah Villa yang jauh dari keramaian.
Mata itu sudah tertutup lama, dan mungkin sebentar lagi akan terbuka memamerkan bola matanya yang indah " Aku merindukanmu. Sangat teramat merindukanmu, kembalilah aku menunggumu." Di penghujung keputus asa'annya Ramon memang tidak bisa berbuat apa-apa untuk membuat istrinya kembali. Menunggu keajaiban dari sang tuhan, meminta kemurahannya untuk mengembalikan istrinya.
Tangan lemah itu bergerak pelan disertai dengan pergerakan pada kelopak matanya. Perlahan mata itu terbuka, memperlihatkan bola mata hitam yang menyejukkan. Masih belum terbiasa matanya mengedip pelan beberapa kali untuk memperjelas penglihatannya yang sempat buram.
Yang pertama dia lihat adalah langit-langit berwarna putih. Matanya kembali mengedip lalu melihat ke sekelilingnya. Suaranya hampir lolos saat mendapati tubuh kokoh dengan bahu lebar tengah menunduk dengan bahu yang bergetar. Tangannya yang lemah bisa merasakan genggaman erat yang dilakukan oleh pria yang berada tepat disampingnya.
Kenapa kau memanggilku keluar dari persembunyianku?
Ya Ramon berhasil membuat Aya kembali. Kanaya telah kembali dengan hati yang masih menyimpan banyak luka. Namun dia tidak bisa menyangkalnya jika Ramon berhasil menarik dirinya untuk kembali mengambil alih tubuhnya. Lalu bagaimana dengan Raya? Dia akan selalu ada dan akan tetap ada. Wanita itu Raya bisa kapan saja mengambil alih tubuh Aya sesukanya. Tapi selagi Aya mempertahankan tubuhnya akan ada perlawanan dari kedua karakter itu.
Egois? Mungkin. Tapi inilah kenyataan yang harus Raya terima. Dia hanyalah sebuah karakter yang terlahir dari rasa sakit, marah, dan keputus asaan yang Aya rasakan. Pemilik tubuh asli lebih dominan untuk mengendalikan kapan Raya keluar untuk menggantikan dirinya.
Pergerakkan kecil yang tak sengaja Aya lakukan membuat Ramon tersadar. Pria itu menerbitkan senyumnya, kembali meneteskan air mata entah karena apa " Ay," suaranya terdengar berat dan serak, nyaris seperti berbisik jika saja Aya tidak mengikuti pergerakkan mulutnya.
" Terimakasih tuhan," Ramon semakin erat menggenggam tangan Aya " Aku tahu kamu akan kembali demi kami. Terimakasih." Tangannya terulur mengusap lembut surai hitam milik Aya. Wanita itu masih terdiam, selama dia bersembunyi dalam tubuhnya sendiri apa Raya dan Ramon sudah bertemu? Pertanyaan itu melintas begitu saja dalam benaknya.
" Apa yang terjadi?" Vallen terlihat murka saat mengetahui jika Ramon berhasil merebut Aya dari tangan mereka. Rai, Kavin, Zain dan Mian mereka hanya bisa duduk dengan bibir yang tertutup rapat.
Wanita itu menggusar rambutnya, membuang muka karena terlalu kesal. Dia pergi meninggalkan ruangan itu, tangannya menari dengan cepat di benda pipih miliknya mencari sebuah nama yang terdaftar di kontaknya " Aku kehilangannya. Cepat bantu aku untuk menemukannya!" Dia mematikan sambungan itu secara sepihak membuat orang yang berada di seberang sana ingin mengumpat karena ketidak sopanan nya. Vallen berjalan cepat, masuk kedalam lift menuju lantai dasar. Kakinya segera kembali melangkah menuju mobil miliknya. Dia tidak bisa kehilangan Aya karena akan sulit untuk mengawasinya, maka dari itu dia harus segera menemukannya.
" Aku tidak menemukan Aya di mansion Ramon." Perkataan Zain membuat Rai mengangkat kepalanya. Mengintimidasi memanglah keahliannya, bahkan aura yang dipancarkan olehnya mampu membuat pasokan oksigen di ruangan itu menipis. Kavin tetap bersikap biasa. Baginya baik Ramon atau Rai mereka hanya seonggok daging sama seperti dirinya. Lalu apa yang harus dia takuti dari mereka?
" Yang aku khawatirkan saat ini adalah kondisi Aya. Aku takut terjadi sesuatu padanya," Mian menyesalinya. Lagi, dia kehilangan Aya dan tidak bisa menjaga Aya dengan baik. Dia merasa kembali gagal untuk menjadi kakak untuk Kanaya.
" Itu semua tidak akan terjadi," semuanya menoleh ke arah Kavin " Ramon memang memiliki lidah yang tajam, tapi untuk melukai seorang wanita itu sangatlah mustahil. Apalagi Aya adalah istrinya, aku yakin hati kecilnya masih memiliki hati nurani."
" Melihat dari caranya tadi dia merebut Aya dari kita, membuatku tersadar akan satu hal," Kavin menarik punggungnya merubah posisi duduknya menjadi lebih tegak " Ramon memiliki rasa untuk Aya. Dia sudah jatuh cinta pada Aya!"
Rai tidak bisa menyembunyikan kecemburuannya. Terlihat dari tangannya yang mengepal dengan kuat " Untuk saat ini Ramon memang menang karena dia memiliki raga Aya. Tapi dia tidak boleh melupakan hal yang terpenting," Mian menatap ketiga pria itu bergantian lalu menyunggingkan senyumnya yang mengerikan " Dia tidak memiliki hatinya. Hati Aya seutuhnya milikku."
" Wah semakin menarik!" Dia tersenyum tipis, lalu memainkan gelas yang berisi vodka yang dituangkan oleh Daren " Kali ini aku harus turun tangan sendiri. Aku tidak bisa melihat adikku terus-terusan dilema karena perasaannya. Darren apa kau bisa mengaturnya untukku?"
Daren mengangguk " Lalu bagaimana dengan Ramon dan Rai?"
Azka berdiri dengan satu tangan yang dia masukkan kedalam saku celana. Matanya menatap lurus kedepan, menatap gedung-gedung tinggi yang dapat dia lihat dari kaca jendela ruangannya " Semua keputusan ada di tangan Adikku. Antara Aya dan Raya. Ramon dan Rai." Azka mengetahui semua tentang adiknya. Termasuk isi hati adiknya itu.
" Kita hanya bisa mendukung keputusannya," ucap Azka menambahkan.
" Lalu bagaimana dengan rencana kita?"
" Tetap berjalan seperti yang sudah kita rencanakan. Mereka sudah masuk kedalam perangkap kita, tinggal menunggu kapan kita akan menangkapnya."
" Azka," pria itu menoleh saat Darren memanggilnya " Apakah ini tidak terlalu kejam untuk Aya?"
Azka terdiam, membayangkan wajah polos dan lugu milik adiknya itu " Dia akan mengerti kenapa aku bertindak sejauh ini. Semuanya aku lakukan untuk dirinya. Keadilan yang seharusnya dia dapatkan sedari dulu. Aku hanya berusaha untuk mewujudkan salah satu keinginannya."
" Tidak ada yang gratis di dunia ini Darren. Maka untuk mencapai tujuan itu, kami harus berkorban. Dan perasaannya lah yang harus aku korbankan. Tapi, suatu saat semuanya akan setimpal dengan apa yang dia dapatkan!" Senyuman tipis yang terukir di wajah Azka membuat Darren paham akan satu hal. Jika Azka bukanlah pria yang dapat di remehkan. Dia penuh dengan misteri dan sulit untuk di tebak seperti Kanaya yang penuh dengan kejutan.