Edam Bhalendra mempunyai misi— menaklukkan pacar kecil yang di paksa menjadi pacarnya.
"Saya juga ingin menyentuh, Merzi." Katanya kala nona kecil yang menjadi kekasihnya terus menciumi lehernya.
"Ebha tahu jika Merzi tidak suka di sentuh." - Marjeta Ziti Oldrich si punya love language, yaitu : PHYSICAL TOUCH.
Dan itulah misi Ebha, sapaan semua orang padanya.
Misi menggenggam, mengelus, mencium, dan apapun itu yang berhubungan dengan keinginan menyentuh Merzi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gadisin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teh dan Pohon
Selesai berkuda kini Merzi tertarik untuk memanah. Ternyata pekarangan kuda ini juga menyediakan tempat memanah. Kini gadis itu sedang bersiap didepan papan panah berjarak tiga meter.
Busur panah sudah ditangannya. Seorang laki-laki lebih muda dari Daniel menjadi tutor Merzi. Dibelakang mereka Ebha berdiri dengan tegap. Memperhatikan.
"Tempatkan anak panah di busur, lalu nona tarik talinya."
Merzi mengikuti instruksi. Dikiranya tali busur itu mudah ditarik, ternyata tidak. Dia kesulitan.
"Bagaimana, Ed? Talinya sungguh keras."
Nama laki-laki itu Edwin dan disapa Ed. Dia berdiri tepat disamping Merzi agak ke belakang.
"Memang, Nona. Dan tangan kita harus kuat menarik talinya. Seperti ini." Edwin mencontohkan.
Di belakang Ebha bergerak maju. Ingin menjauhkan Merzi yang begitu dekat dengan Edwin. Tapi tak jadi. Sang nona sedang belajar. Dia hanya bisa memperhatikan bagaimana Edwin mengarahkan tangan Merzi. Keduanya seperti berpelukan.
"Oke. Tahan, Nona." Edwin menjauhkan badannya. Kembali memberi instruksi. "Ya. Seperti itu. Sekarang nona harus fokus pada papan didepan. Arahkan ujung anak panah pada titik tengah lingkaran papan."
Merzi berusaha fokus. Matanya lurus ke depan. Tangannya sekuat tenaga menahan tali busur pada anak panah.
"Jika sudah, nona bisa melepas tali busurnya. Satu. Dua. Tiga."
Set!
Tak!
"Ah! Aw!"
"Nona!"
"Nona Merzi!"
"Oh tidak. Nona Merzi!"
Edwin, Ebha, juga Nana dan Nella segera mendekat pada Merzi. Tali busur itu menjentik tangannya. Rintihan kesakitan tak bisa disembunyikan. Semua orang panik.
"Coba saya lihat, Nona." Edwin yang paling dekat dengannya segera memeriksa tangan Merzi.
Ebha dengan dua langkah lebar segera berdiri disamping gadis itu. "Nona Merzi, mana yang sakit?" Tanpa peduli lelaki itu mengambil alih kedua tangan Merzi dari Edwin.
Sudut bibir Merzi melengkung ke bawah. Matanya berkaca. "Ebha. Ini." Adunya dengan suara bergetar.
Telapak tangan Merzi memerah. Kulitnya sedikit koyak mengeluarkan darah. Ebha menoleh pada Nana dan Nella. "Cepat ambilkan obat. Nona Merzi terluka."
"Ya!" Nana dan Nella menjawab serempak. Keduanya kembali berlari menjauh.
"Maafkan saya, Nona Merzi. Kompensasi akan kami berikan." Edwin bersuara dan membungkuk.
Ebha yang mendengar itu mengeram kesal. "Sebaiknya kau belajar lebih baik menjadi seorang mentor, Tuan Edwin."
Setelah berkata demikian, Ebha mengangkat tubuh Merzi dalam gendongannya. Menunggu Nana dan Nella pasti lama.
Luka ditangan itu sebenarnya adalah luka kecil. Sakit bagi orang biasa. Tapi sangat sakit untuk Merzi. Kulitnya halus. Lembut bagai adonan kue mahal. Tertusuk duri saja satu rumah akan heboh apa lagi ini hingga kulitnya terkoyak, biarpun kecil.
Merzi didudukkan diatas kursi. Ebha berlutut dihadapannya. Mengobati luka kecil diatas telapak tangan Merzi.
"Sebaiknya setelah ini nona istirahat saja. Memanah dan berkudanya bisa dilakukan lain kali." Kata Ebha.
Nana ikut menyambung. "Benar, Nona. Mungkin nona bisa langsung melakukan piknik saja sambil menunggu waktu makan siang." Idenya.
"Iya, Nona. Kami menemukan tempat yang sejuk tak jauh dari sini." Nella menambahkan lagi.
Merzi memandang lukanya yang sudah di plester Ebha. Tangannya masih dipegang lelaki itu.
"Baiklah." Balasnya lemah sambil menghela napas pelan.
...****************...
Selagi menunggu Nana dan Nella menyiapkan tikar kain dan perbekalan yang dibawa dari rumah tadi, Merzi berjalan ringan disamping Ebha. Tempat berkuda ini sangat luas, bahkan ada padang rumput disekitarnya.
Beberapa pohon-pohon rindang juga tumbuh subur. Ditanam berjauhan dari pohon satu ke pohon lainnya. Tampak asri.
"Disini sejuk. Iya, kan, Ebha?" Merzi berhenti, menghirup udara.
"Iya, Nona." Balas Ebha memperhatikan Merzi yang kini membungkuk untuk melepas sepatu botnya.
"Sepatu ini benar-benar berat. Ahh akhirnya." Desahnya setelah sepatu terlepas.
"Saya sudah menyarankan nona untuk membukanya dari tadi." Sahut Ebha mengambil alih sepatu bot itu.
Cengiran keluar dari mulut Merzi. "Kelihatan keren memakainya, Ebha."
"Terserah anda saja, Nona. Mari. Sepertinya Nana sudah selesai." Ebha memberikan sikutnya pada Merzi untuk digandeng.
"Atau ingin saya gendong saja kesana? Nona tidak mengenakan alas kaki." Katanya lagi menahan langkah.
Merzi menatap kakinya yang berbalut kaos kaki. Jemari kakinya dia gerak-gerakan. "Jalan saja. Rumput-rumput ini tidak akan melukai kaki Merzi."
"Baik, Nona. Ayo."
Mereka berjalan sambil bergandengan. Dari kejauhan Nana dan Nella memperhatikan bagaimana akrabnya Ebha dan Merzi. Tidak heran memang, tapi masih sulit diterima.
"Silakan, Nona." Ucap Nana dan Nella juga sedikit menunduk mengikuti Nana.
"Terima kasih, kak Nana, kak Nella." Balas Merzi tersenyum.
"Sama-sama, Nona Merzi."
"Selamat menikmati pikniknya, Nona." Sambung Nella menunduk lagi dan kembali melihat Merzi.
Merzi membalas dengan senyuman. Gadis itu membuka kaos kaki dan memasukkannya ke dalam sepatu bot lalu duduk diatas tikar yang sudah dibentangkan Nana dan Nella.
Diatas tikar kain itu ada dua gelas kecil dengan piringnya. Dua teko kecil berisi teh daun dan teh chamomile. Juga dua kotak sedang susu stroberi dan air mineral.
Nana dan Nella juga menyajikan beberapa jenis buah didalam keranjang jaring. Kue-kue kering dalam toples juga kacang-kacangan. Menjelang makan siang ini, mereka sengaja menyiapkan beberapa cemilan untuk Merzi. Tak tahu mana yang akan dimakan sang nona, tugas mereka hanya menyiapkan.
Setelah sang nona muda duduk, Nana dan Nella pamit undur diri.
"Eh, kak Nana, sepertinya Merzi sudah memasukkan novel Merzi juga tadi. Apakah tertinggal?"
Ucapan Merzi menghentikan langkah dua perempuan itu. Mereka memeriksa tikar kain dan tempat perlengkapan piknik Merzi. Gadis itu kembali berdiri, juga memeriksa.
"Mungkin iya tertinggal, Nona." Ujar Ebha kemudian.
Ketiga perempuan itu menatap Ebha.
"Tertinggal dimana ya?" Bingung Merzi meletakkan tangannya dipinggang. "Dimobil?"
Nana dan Nella pun berusaha mengingat. Hingga Nella menjentikkan jarinya. "Iya, Nona! Saya memang merasa ada yang jatuh tadi ketika mengangkat barang-barang ini dari bagasi mobil. Mungkin novel yang nona maksud?"
"Kau yakin, Nel?" Tanya Nana sedikit ragu.
Nella menoleh pada Nana. "Yakin. Kita harus memeriksanya."
Akhirnya Nana juga Nella kembali ke parkiran. Keduanya harus mengorbankan diri untuk berjalan kesana karena jaraknya jauh dari tempat Merzi piknik ke parkiran kendaraan.
Tinggallah Merzi bersama Ebha di padang yang luas itu. Ada juga beberapa orang yang juga sedang piknik tapi Merzi berada lumayan jauh dan tak terlihat dari tempat orang-orang itu. Itu ide Nana yang memilihkan tempat dibawah pohon rindang yang besar dan tinggi.
"Ebha, kenapa berdiri terus? Apakah tidak lelah? Duduklah disini. Disamping Merzi." Ucap Merzi menengok ke belakang. Tempat Ebha berdiri.
Lelaki itu menoleh dan membalas. "Tidak apa, Nona. Saya disini saja."
"Tentu tidak. Ebha harus duduk. Merzi bukan menawarkan tapi menyuruh Ebha HARUS duduk disini." Tekan gadis itu menarik Ebha.
"Tikarnya hanya muat untuk anda, Nona Merzi. Saya tidak kelelahan jika hanya berdiri beberapa menit saja."
"Tidak mau! HARUS DUDUK."
Jika Ebha keras menolak dengan cara mengelak, maka Merzi lebih keras meminta. Beberapa barang digesernya agar ada tempat untuk Ebha duduk.
"Sudah. Disini." Lanjutnya menepuk tempat disebelahnya.
Ebha menghembuskan napas ke samping. Melepas sepatunya dan ikut duduk.
"Nah. Ebha sangat manja sekarang. Merzi harus berusaha keras untuk membujuk Ebha."
Perkataan itu cukup menggelikan bagi Ebha. Lelaki itu terkekeh pelan. Sangat pelan. Mungkin Merzi bisa mendengarnya jika dia sedang tidak menuang teh ke dalam gelas.
"Jika saya manja, lalu nona apa?"
"Hm?" Merzi menoleh. "Apa, Ebha?"
Diantar celah-celah kecil sinar matahari, Ebha terpaku pada mata bening Merzi. Cara gadis itu tersenyum membuat waktu seakan berhenti. Apalagi jika mulut yang tersenyum itu untuknya.
"Tidak. Tidak ada, Nona."
"Sepertinya Ebha mengatakan sesuatu tadi. Mungkin Merzi salah dengar. Ya sudah. Ini." Gelas kecil disodorkan pada Ebha. "Teh. Silakan diminum, Tuan Ebha."
Pandangan Ebha jatuh pada gelas berisi teh. "Sebaiknya nona yang pertama mencobanya. Dan saya bukan tuan anda, Nona. Maaf."
"Ck, terlalu formal. Baiklah." Teh itu di sesap Merzi. Dia mengambil gelas lain dan mengisinya untuk Ebha.
"Terima kasih, Nona."
"Hu'um."
Sekali teguk teh itu langsung masuk ke dalam tenggorokan Ebha. Gelas kembali diletakkannya.
"Bagaimana tangan anda, Nona? Apakah masih sakit?"
Merzi membuka telapak tangannya. Lukanya kecil dan tertutup plester.
"Tidak terlalu."
Tangan kanan Merzi di raih Ebha. "Nona ingin saya menciumnya? Agar sakitnya lebih berkurang dan menghilang?"
Bibir Merzi berkedut mendengar pertanyaan Ebha. Tumben lelaki ini menawarkan sentuhan?
Kepalanya mendongak, menatap Ebha. Sebuah senyum jahil muncul. "Mencium apa?"
"Tangan nona."
"Tidak ingin mencium yang lain?"
"Mungkin itu keinginan nona." Telapak tangan Merzi diciumnya.
"Ebha tak punya keinginan?"
"Tentu punya."
"Apa?"
Ebha tak membalas. Tapi tangannya terulur menyentuh wajah Merzi. Jempolnya mengusap bibir bawah gadis itu.
"Katanya tak ingin mencium yang lain." Ucap Merzi kini memegang tangan Ebha.
"Saya tidak ada mengatakan tidak ingin mencium yang lain." Ebha menaikkan wajah Merzi. Jempolnya bergantian mengelus pipi Merzi yang halus.
Dengan gerakan pelan, Ebha menunduk, mendekatkan wajahnya pada Merzi.
"Jadi kita akan berciuman lagi?"
"Jika nona tidak keberatan."
"Bagaimana jika ada yang lihat?"
"Hanya ada kita berdua disini."
"Kak Nana dan kak Nella akan kembali nanti."
"Saya pasti mendengar langkah mereka." Tubuh Merzi kini berpindah tempat. Ebha dengan mudah mengangkatnya dan mendudukkannya diatas kakinya. "Ada lagi, Marjeta?"
"Marjeta?" Merzi tertawa pelan. Geli rasanya jika ada yang memanggilnya demikian. Nama depannya itu aneh menurutnya. Marjeta. Aneh, bukan?
"Ya, Marjeta." Ulang Ebha.
Lagi-lagi Merzi tertawa. "Kenapa Marjeta, Ebha?"
"Karena saya ingin menyentuh Marjeta. Maafkan saya. Tapi saya benar-benar tidak tahan."
Kepala Ebha miring. Tangannya mencengkram lembut leher Merzi. Mulutnya membungkam mulut Merzi, menciptakan adrenalin terbaru bagi gadis pemula itu.
Yah, berciuman di tempat terbuka.