Dia adalah darah dagingnya. Tapi sejak kecil, kasih ibu tak pernah benar-benar untuknya. Sang ibu lebih memilih memperjuangkan anak tiri—anak dari suami barunya—dan mengorbankan putrinya sendiri.
Tumbuh dengan luka dan kecewa, wanita muda itu membangun dirinya menjadi sosok yang kuat, cantik, dan penuh percaya diri. Namun luka masa lalu tetap membara. Hingga takdir mempertemukannya dengan pria yang hampir saja menjadi bagian dari keluarga tirinya.
Sebuah permainan cinta dan dendam pun dimulai.
Bukan sekadar balas dendam biasa—ini adalah perjuangan mengembalikan harga diri yang direbut sejak lama.
Karena jika ibunya memilih orang lain sebagai anaknya…
…maka dia pun berhak merebut seseorang yang paling berharga bagi mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berhak Tahu dan Berhak Cemburu
Cahaya matahari yang mulai condong memantul dari permukaan laut. Hana menatap kosong hamparan air yang berwarna keemasan. Pradipta duduk di sampingnya, menatapnya penuh perhatian.
Dengan suara lirih namun mantap, Hana mulai bicara.
“Sejak kecil aku ditelantarkan. Dianggap tak ada, tak dipedulikan, bahkan tak diakui. Sepuluh tahun hidup dalam tanda tanya, kenapa aku harus lahir dari rahim seorang wanita yang lebih mencintai anak orang daripada darah dagingnya sendiri.”
Suara Hana bergetar. Tapi dia menahannya. Matanya masih menatap kosong ke arah garis horizon laut, seolah di sana ada masa lalu yang masih enggan untuk pergi.
“Aku hidup dalam kekurangan. Sering makan hanya dengan lauk garam. Bisa sekolah karena uluran tangan banyak orang, nenekku di usia rentanya rela kerja di sawah dan ladang orang. Hanya demi memenuhi semua kebutuhanku.”
“Sementara di sini. Ibuku dengan keluarga barunya hidup bagai keluarga Cemara. Bahagia, banyak harta, putri kesayangan mereka, Malika dipuja dan dimanja.”
Hana menghela napas panjang, lalu menoleh ke Pradipta yang masih menatapnya diam, penuh empati.
“Karena itu juga, aku benci yang namanya cinta. Cinta ibuku pada Burhan membuatnya meninggalkanku. Cinta. Membuatnya buta. Membuatnya tega menukar anak kandungnya demi pria dan keluarga barunya.”
Air mata mulai menggenang di sudut matanya, tapi tetap tak ia biarkan jatuh. Bagi Hana, menangis hanya akan membuatnya tampak lemah. Dan dia sudah lelah menjadi lemah.
Pradipta, yang sedari tadi mendengarkan tanpa menyela, turut larut dalam cerita Hana. Hatinya berdenyut sakit membayangkan penderitaan yang telah Hana lalui.
“Lukaku sudah dalam. Kedatanganku kesini sengaja untuk membuat lukanya semakin dalam dan meradang dan aku tak ingin disembuhkan.”
“Jika aku harus mati karena luka itu, aku pastikan jika semua orang yang membuat luka itu, akan terluka sama dalamnya,” ucapnya dingin, tapi jujur, begitu dalam seakan-akan dia telah hidup bertahun-tahun di dalam sunyi dan kemarahan yang hanya dia yang pahami sendiri.
“Takkan ada kata maaf dan ampun. Kamu akan bilang aku kejam. Maka inilah saatnya kamu bisa memilih untuk tetap maju dengan menikahiku atau mundur dan inilah pertemuan terakhir kita.” Hana menatap tajam wajah Pradipta juga menatapnya lembut.
“Aku akan maju bersamamu.” Pradipta menjawab tanpa ragu, dengan tenang dan penuh keyakinan.
Tak mungkin dia meninggalkan gadis yang penuh luka sendiri, biarpun dia terlihat tangguh nyatanya dia pasti masih butuh tangan untuk berpegang, biarpun dia nampak kuat tentunya harus ada bahu tempatnya bersandar.
Dendamnya yang katanya takkan usai, anggap saja balasan yang setimpal untuk si pembuat luka, karena karma pasti ada dan kejahatan harus dibalaskan.
Tak ada lagi kalimat panjang. Hanya desir angin, debur ombak dan dua hati yang sama-sama saling memahami luka dan harapan.
***
Malika menangis sesenggukan dengan selimut melingkar di tubuhnya, tangisnya semakin menjadi ketika melihat bercak darah merah di atas seprei.
“Kamu jahat. Kenapa kamu lakukan ini padaku. Pokoknya kamu harus tanggung jawab!” jerit Malika dalam tangisnya.
Alih-alih menenangkan sang kekasih yang sedang menangisi keperawanannya yang telah hilang, Rendy yang bertelanjang dada malah asyik bermain ponsel di atas sofa, wajahnya tenang tak sedikitpun menyiratkan rasa sesal.
“Kita kan akan menikah. Kenapa harus ribut sih? Lagi pula kamu kan tadi menikmatinya juga, kenapa aku yang disalahkan?” jawabnya jengkel.
Malika berusaha menghentikan tangisnya.
“Cepat pakai baju. Sudah malam, kita pulang sekarang. Nanti bapakmu marah sama aku!” ucap Rendy sambil memakai bajunya sendiri.
Malika juga segera memunguti bajunya yang berserakan di lantai lalu segera memasuki kamar mandi.
Rendy lalu menunggu di balkon apartemen sambil merokok, tersenyum sendiri karena setelah ini bukan dirinya lagi yang akan mengejar-ngejar Malika namun sebaliknya, Malika kali ini yang akan merengek, menyembah dan bersujud padanya untuk tidak ditinggalkan.
Rendy jengah dan bosan karena harus selalu berakting sempurna di depan Malika dan keluarganya, setelah ini dia akan tampil apa adanya tanpa harus takut mereka tak jadi menikah. Syukur-syukur dari hasil pergumulan panas tadi langsung tertanam benihnya maka jalannya untuk menjadi menantu Bos Burhan, juragan sembako yang terkenal akan menjadi sangat mudah.
Malika keluar kamar mandi dengan wajah sembab.
“Sayang. Pinjam uang dulu satu juta. Uang aku habis, belum ambil di ATM. Nanti bayarnya aku transfer.” Rendy dengan entengnya meminta uang pada Malika.
Malika merengut sambil mengambil tasnya lalu menyodorkan uang satu juta pada Rendy.
“Ganti ya.”
“Pasti dong sayang.”
Mereka lalu pergi dari apartemen yang diakui Rendy adalah miliknya, namun kenyataannya adalah milik salah seorang temannya. Uang satu juta tadi sebagai biaya sewa kamar, yang tanpa Malika lihat, Rendy simpan di atas nakas di samping tempat tidur.
***
Beberapa hari kemudian. Di halaman belakang rumah, di saat semua orang pergi.
Plakk....
Hana menampar Rendy dengan kencang, tanpa aba-aba dan tanpa basa-basi.
“Kenapa kamu menampar aku?” Rendy meringis memegang pipinya yang panas.
Hana melotot, matanya merah menahan amarah.
“Aku hanya menyuruh untuk menggodanya saja. Bukan untuk menidurinya. Kenapa kamu lakukan itu?”
“Sudah aku katakan kalau itu jalan pintas agar kami cepat menikah.”
“Tanpa menidurinya pun aku jamin kamu akan menikah dengan Malika. Kenapa kamu tak sabar menunggu sampai kalian menikah dulu.”
“Maaf. Tapi jiwa kelelakianku memberontak, aku sangat berhasrat melihat Malika yang selalu mengenakan pakaian seksi menggoda.” Rendy cengengesan.
Spontan tangan Hana kembali melayang ke udara, hendak menamparnya lagi.
Tapi tanpa di duga, seseorang menahan lengannya dari belakang.
“Apa yang sudah dia lakukan sampai kamu ingin menamparnya dua kali.” Pradipta menatap Hana tajam. Lalu kemudian menatap Rendy juga tak kalah kejam.
“Apa yang sedang kalian bicarakan. Sebagai calon suamimu aku rasa aku berhak tahu.”
“Aku juga berhak cemburu melihat kalian mengobrol hanya berdua seperti ini.” Pradipta dengan pakaian polisinya, berdiri tegap bersedekap dada, meminta jawaban dan penjelasan.
semoga hana masih tetap waspada...jangan sampai hana jadi menikah dengan pria paruh baya yang kejam pilihan si Burhan
good job thorr...sehat sehat..up nya yg bnyk ya ..