Ribuan tahun sebelum other storyline dimulai, ada satu pria yang terlalu ganteng untuk dunia ini- secara harfiah.
Rian Andromeda, pria dengan wajah bintang iklan skincare, percaya bahwa tidak ada makhluk di dunia ini yang bisa mengalahkan ketampanannya- kecuali dirinya di cermin.
Sayangnya, hidupnya yang penuh pujian diri sendiri harus berakhir tragis di usia 25 tahun... setelah wajahnya dihantam truk saat sedang selfie di zebra cross.
Tapi kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari absurditas. Bukannya masuk neraka karena dosa narsis, atau surga karena wajahnya yang seperti malaikat, Rian malah terbangun di tempat aneh bernama "Infinity Room"—semacam ruang yang terhubung dengan multiverse.
Dengan modal Six Eyes (yang katanya dari anime favoritnya, Jujutsu Kaisen), Rian diberi tawaran gila: menjelajah dunia-dunia lain sebagai karakter overpowered yang... ya, tetap narsis.
Bersiaplah untuk kisah isekai yang tidak biasa- penuh kekuatan, cewek-cewek, dan monolog dalam cermin
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon trishaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulau Pabrik Sadler
Siluet pabrik laboratorium besar menjulang seperti monster logam dalam gelap. Cahaya lampu industri menyala terang di beberapa sisi, memperlihatkan aktivitas dan penjagaan ketat.
Sementara Leon dan Luis mengeluarkan teropong, mereka dan mulai mengamati, dari balik celah bebatuan besar. Rian memejamkan satu mata.
Dari jarak sejauh itu, Six Eyes melihat detail kecil dengan sempurna, jumlah penjaga, posisi mereka, bahkan sudut blind spot di dekat pipa-pipa panas.
Pemandangan yang terbentang bukan sekadar pabrik biasa: melainkan benteng yang dijaga ketat.
Di sana, puluhan prajurit Ganado patroli dengan langkah seragam. Namun, berbeda dari pasukan sebelumnya, ini adalah unit Krauser: lebih disiplin, lebih terlatih, dan jauh lebih mematikan.
Sebagian membawa tombak listrik yang berdenyut dengan suara lirih namun mengancam, dan tongkat logam yang dililit kawat berduri, berkilau di bawah cahaya lampu industri.
Tapi yang paling mengkhawatirkan adalah kelompok bersenjata api. Beberapa membawa assault rifle dan machine gun, sementara dua orang penjaga di menara pengawas mengoperasikan senjata berat, Gatling Gun yang siap menghujani peluru begitu alarm berbunyi.
Tak cukup sampai di situ, sejumlah auto-turret tersebar di titik-titik strategis. Kamera optik mereka bergerak perlahan, menyapu area, menanti satu kesalahan kecil untuk memulai pesta peluru otomatis.
Luis bergumam pelan, nyaris tak terdengar, "Ini bukan markas... ini ladang pembantaian."
"Kita menyusup, cari jalan lain," jawab Leon sembari mengarahkan teropongnya ke sisi kanan kompleks. "Arah jam dua. Tampaknya lebih longgar di sana, setidaknya untuk sekarang."
Rian menghela napas panjang, seolah mengangkat beban dunia di pundaknya.
"Sejujurnya, laki-laki tampan ini tidak terlalu suka lewat lorong kumuh dan lembab," kata Rian dengan nada dramatis khasnya. "Tapi lebih tidak ingin berurusan dengan Ganado yang membawa senjata seperti itu. Jadi… rencana Leon diterima."
Luis terkekeh, menurunkan teropong dari matanya. “Aku ingat Leon tidak pernah minta pendapatmu soal rencananya, Amigo.”
Rian hanya tersenyum kecil, mengangkat bahu seperti seorang pangeran yang sudah kebal pada komentar rakyatnya.
Leon menggeleng pelan, lalu berbisik, “Ayo. Sebelum mereka memperkuat penjagaan.”
Mereka bertiga pun bergerak membelah malam, menyelinap ke arah yang lebih gelap dengan langkah tenang.
***
Setelah beberapa waktu menelusuri lorong-lorong sempit dan area servis yang penuh debu serta bau lembab yang membuat Rian kadang berpikir ingin mandi tujuh kali dengan kembang tujuh rupa.
Tak lama menelusuri tempat itu, ketiganya malah tiba di sebuah gudang penyimpanan, tempat yang tampaknya digunakan untuk menyuplai amunisi dan senjata bagi pasukan Ganado.
Rak-rak logam berjejer rapat, dipenuhi kotak-kotak kayu dan peti logistik militer. Cahaya lampu industrial yang berkedip sesekali memantulkan kilau dari peluru dan laras senjata api yang tersusun rapi.
Senjata dari berbagai jenis, seperti: sniper rifle, assault rifle, SMG, bahkan pistol tersedia.
Leon segera memeriksa persenjataan yang tersedia. Ia mengambil amunisi untuk pistolnya, lalu meraih sebuah assault rifle yang tersusun di rak.
Setelah memastikan senjata itu berfungsi, Leon mengambil beberapa mag tambahan dan menyelipkannya ke kantung rompi taktisnya.
Luis, dengan gerakan cepat namun penuh perhitungan, mengisi ulang shotgun-nya dan mengambil peluru cadangan untuk handgun-nya. "Setidaknya sekarang kita bisa bicara dengan suara lebih keras," gumamnya sambil tersenyum tipis.
Sementara itu, Rian berjalan pelan di antara rak, tak seperti mereka, ia hanya tertarik pada satu hal.
Rian membuka tas sampingnya dan memasukkan isi dari beberapa kotak peluru Magnum kaliber .50 yang tampaknya jarang dipakai oleh pasukan biasa.
Wajah Rian terlihat lebih puas sekarang. "Akhirnya... keadilan untuk revolver tampan ini."
Setelah mempersenjatai diri dengan perlengkapan tempur yang lebih matang, ketiganya saling bertukar pandang dan mengangguk.
Tanpa suara, mereka kembali bergerak, mengendap di bawah bayangan pipa besar dan dinding beton tua, menyusuri jalur tersembunyi menuju bagian dalam fasilitas.
Mereka bertiga terus menyelinap lebih dalam ke jantung fasilitas, bergerak dalam diam di antara bayang-bayang dinding beton dan kabel-kabel menggantung.
Auto turret di luar masih aktif, memindai dengan gerakan mekanis lambat namun mematikan diluar.
Sementara itu, beberapa prajurit Krauser, yang kini telah sepenuhnya berubah menjadi Ganado, berpatroli dengan langkah berat.
Setiap langkah harus diperhitungkan. Sesekali, jika tidak ada pilihan lain, mereka melumpuhkan para prajurit secara diam-diam.
Leon menusuk tanpa suara, Luis menembak dengan senjata berperedam, dan Rian... cukup satu ayunan menebas kepala: efisien, cepat dan tanpa ampun.
Melalui lorong-lorong sempit, laboratorium kosong, dan pintu elektronik berlapis keamanan rendah, waktu pun berlalu.
Akhirnya, mereka mencapai sebuah ruangan dengan kaca buram besar dan pintu besi setengah tertutup. Di baliknya, sebuah ruangan yang sekilas tampak seperti ruang perawatan darurat seadanya, lampu putih pucat menyinari interior yang sunyi dan steril.
Dari balik jeruji yang memisahkan mereka dengan ruangan di dalam, mata Leon langsung menangkap sosok di ranjang.
"Ashley..." gumam Leon pelan.
Gadis itu terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang pasien dengan tubuhnya tampak lemah. Nafasnya berat, Ashley juga merintih kesakitan karena parasit plaga dalam tubuhnya.
“Bajingan,” desis Leon dengan geram. “Apa yang mereka lakukan pada Ashley…”
Luis ikut mengumpat sambil menendang dinding logam di dekatnya. “Sial… Kalau kondisinya sudah separah itu, semoga kita belum terlambat.”
Leon menarik napas, lalu menoleh ke Rian dan Luis bergantian. “Kita sudah tahu keberadaannya. Sekarang cari jalan masuk. Pasti ada akses di sekitar sini.”
Namun Rian mendengus, memiringkan kepala dengan raut malas. “Memutar lagi? Tidak, tidak, tidak! Laki-laki tampan ini mau pakai jalan pintas!”
Leon dan Luis saling berpandangan, bingung.
Tanpa banyak bicara, Rian menaruh pisau potong dagingnya di lantai, lalu berjalan ke arah jeruji besi besar yang menghalangi akses ke ruangan lain.
Dengan kedua tangan, Rian menggenggam batang besi dan mulai memaksanya terbuka. Otot-otot lengannya menegang, suara logam berderit memenuhi udara, dan perlahan jeruji itu pun bengkok, menciptakan celah cukup besar untuk dilalui.
Leon menatapnya datar. “Kadang aku bertanya-tanya… Kau ini apa? Prajurit super?”
Luis terkekeh kecil. “Syukurlah bukan aku saja yang penasaran.”
“Baiklah,” ujar Rian, berdiri di sisi seberang jeruji. “Aku duluan. Ayo, pegang tanganku. Laki-laki tampan ini akan bantu kalian turun.”
Begitu memasuki ruangan, pandangan mereka langsung tertuju pada sosok Ashley—terbaring lemah, kondisinya jauh dari baik.
Semburat urat ungu menjalar di bawah kulit pucatnya, napasnya tersengal-sengal, menandakan parasit Plaga dalam tubuhnya telah berkembang semakin agresif.
Leon dan Luis segera menghampiri, dengan Rian mengikuti dari belakang. Namun, tujuan Rian adalah pintu besi ruangan ini.
Luis memegang pergelangan tangan Ashley, mengecek denyut nadinya, lalu bergumam dengan wajah tegang, “Ini gawat... Kalau dalam satu hari ini tidak dihancurkan, Plaga akan mengambil alih tubuhnya.”
Sebuah ingatan seketika melintas di benak Luis. Ia menoleh ke arah Leon. Tanpa perlu kata-kata, Leon langsung paham maksudnya.
Tanpa ragu, Leon mengeluarkan suntikan berisi obat penekan dari saku jaketnya. Dengan cepat, ia menyuntikkannya ke sisi leher Ashley. Setidaknya, itu akan memperlambat perkembangan Plaga untuk sementara waktu.
Obat penekan bereaksi cepat, semburat urat ungu menghilang, kulit Ashley yang memucat telah kembali dan nafasnya lebih tenang.
Namun saat perhatian mereka tertuju pada Ashley, tiba-tiba Leon menggertakkan gigi. Tubuhnya bergetar. Semburat urat ungu yang sama mulai muncul dari balik kerah bajunya, menjalar cepat ke wajah dan leher.
“Leon…?” Luis bersuara khawatir, matanya menyapu tubuh Leon dari atas ke bawah. “Efek obat penekannya... sepertinya sudah habis.”
Leon memandangi lengan kanannya yang mulai diliputi semburat ungu, lalu bertanya dengan suara pelan, “Menurutmu, Luis... berapa lama lagi waktuku?”
Luis menghela napas, memperhatikan kondisi Leon lebih dekat. “Sama seperti Ashley... paling lama sehari. Sebaiknya-”
BRANK!
Kalimatnya terputus oleh suara logam yang ditendang keras. Mereka menoleh.
Rian berdiri di depan pintu jeruji besi yang kini terbuka lebar, kakinya masih terangkat. Ia menatap mereka, suara Rian menggema di lorong, “Kalau begitu ayo- hancurkan parasit sialan itu.”
Luis tertawa kecil, lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari saku. Ia menyelipkan sebatang ke mulut, menyalakan korek, dan mengisap dalam.
Asap rokok mengepul saat ia berbicara, “Itu tadi... sebenarnya yang ingin aku katakan.”
Luis menoleh ke mereka dan melanjutkan, “Ayo. Kita harus ke laboratoriumku. Di atas gunung.”
Rian melangkah cepat menuju tempat Ashley yang terbaring lemah di atas ranjang pasien. Matanya melirik Leon yang tampak pucat dan Luis yang masih belum pulih sepenuhnya.
“Leon sedang tidak dalam kondisi prima, dan Luis juga belum sepenuhnya pulih,” ujar Rian santai namun tegas. “Jadi... biar laki-laki tampan ini saja yang menggendong sang putri.”
Tanpa menunggu jawaban, Rian membungkuk dan mengangkat Ashley dalam gaya princess carry, seolah membawa tokoh utama dari kisah romansa klasik. Ia menoleh ke arah Leon dan Luis sambil tersenyum tipis.
“Kalian... tolong jaga punggungku. Jangan sampai kisah penyelamatan ini berakhir tragis.”
btw si Rian bisa domain ny gojo juga kah?