Mungkin berat bagi wanita lain menjalankan peran yang tidak ia inginkan. Tetapi tidak dengan Arumi yang berusaha menerima segala sesuatunya dengan keikhlasan. Awalnya seperti itu sebelum badai menerjang rumah tangga yang coba ia jalani dengan mencurahkan ketulusan di dalamnya. Namun setelah ujian dan cobaan datang bertubi-tubi, Arumi pun sampai pada batasnya untuk menyerah.
Sayangnya tidak mudah baginya untuk mencoba melupakan dan menjalani lagi kehidupan dengan hati yang mulai terisi oleh seseorang. Perdebatan dan permusuhan pun tak dapat di hindari dan pada akhirnya memaksa seseorang untuk memilih diantara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Pergi
Bab 34. Pergi
POV Arumi
Aku menangis tersedu-sedu. Pak Hasan sampai memberikan ku tisu yang ada di dasbor depan. Ku lihat pria itu prihatin padaku, ada raut kegelisahan di wajahnya.
"Bu, apa sebaiknya di ceritakan saja kepada Pak Dimas jika Ibu ada masalah?"
"Tidak Pak. Saya tidak boleh berhubungan dengan Dimas."
"Loh, kenapa? Ibu kan istrinya."
Tidak ku jawab pertanyaan Pak Hasan. Aku tidak ingin semua karyawan yang bekerja di rumah Dimas ikut menjadi kesulitan karena permasalahan ku. Lirik jam tangan ku. Sudah hampir 2 jam kami berkeliling tanpa arah. Dan ku putuskan untuk pulang saja.
"Kita pulang saja Pak."
"Baik Bu."
Semua orang di rumah itu terlalu baik untuk ikut pusing atas masalah yang aku hadapi. Mereka sudah seperti keluarga bagi ku. Mereka selalu ada mengusir rasa sepi saat Dimas berkerja.
Terlintas kenanganku bersama mereka. Kami kadang mengobrol di gazebo samping rumah saat aku memberikan makan siang pada mereka bersama Bibi. Pak Hasan dan Pak Wawo juga Pak Wiwi yang merupakan satpam di rumah Dimas.
Mengingat Pak Wawo dan Pak Wiwi, aku jadi ingat sedikit cerita lucu menurut ku. Ku kira selama ini satpam di rumah Dimas hanya satu orang saja dan berjaga siang dan malam. Aku cukup heran dia mampu berjaga sepanjang waktu dari hari ke hari, minggu ke minggu sampai bulan ke bulan. Sempat ku tanyakan kepada Pak hasan waktu itu di depan Bibi. Apakah Pak Wawo punya ilmu kanuragan atau ilmu spiritual sampai dia tahan tidak pernah tidur sama sekali. Ternyata aku salah. Satpam di rumah Dimas ada 2 dan mereka mereka orang yang berbeda. Mereka adalah kembar identik. Pantas saja aku tidak bisa membedakannya.
Aku tersenyum. Kenangan kecil seperti itu mampu mengusir sedikit rasa sedih yang menguasai diri.
Tidak lama, kami pun tiba di rumah. Aku segera masuk dan melangkah menuju kamarku.
"Dari mana kamu? Datang-datang main lewat saja, tidak menyapa."
Aku terkejut dan menoleh ke samping. Ternyata ada Ibu mertuaku juga Tante yuni yang duduk di ruang tamu. Kapan mereka datang? Rasanya, tadi tidak ada mobil lain di halaman rumah.
"Mama..., Assalamualaikum Ma, Tante Yuni."
Aku buru-buru mendekati mereka dan hendak menyalami mereka satu persatu. Namun betapa terkejutnya aku, tangan ku di tepis oleh Mama dan Tante Yuni pun membuang muka.
Apa mereka sudah tahu?
Pikiranku menerawang kemana-mana karena sikap Mama berubah drastis sejak terakhir kali kami bertemu.
"Emm..., Mama ada apa kesini? Kenapa tidak mengabari lebih dulu?"
"Kenapa? Biar tidak ketahuan kamu sering keluyuran di saat suami mu banting tulang di luar sana?!"
Aku tertegun, kenapa Mama menuduhku seperti itu.
"Tidak kok Ma. Arumi tadi hanya ada urusan sebentar."
"Bertemu siapa? Mantan suami?!" Tanya Tante Yuni dengan ketus.
Deg,
Jadi mereka sudah tahu statusku sebelumnya. Aku jadi teringat ucapan Renata. Bahwa keluarga Dimas belum tentu bisa terima statusku yang pernah menjanda dan itu ternyata benar.
"Tidak Tante. Saya hanya...."
Aku ragu untuk melanjutkan kalimat. Haruskah aku katakan bertemu Renata dan pengacaranya? Pasti mereka akan bertanya kembali. Dan rencana perceraian ku dengan Dimas akan ketahuan juga.
Tapi sudah lah, toh sepertinya mereka juga tidak bisa menerima keadaan ku dan masa laluku.
"Hanya apa? Selingkuh dibelakang Dimas?!" Kata Tante Yuni seperti memprovokasi.
Aku menghela napas berat. Dengan sisa kekuatan hati aku membulatkan semangat untuk mengatakannya saja.
"Ma, Tante... Maafkan kalau Arumi banyak salah. Selagi bertemu Mama dan Tante disini, Arumi mau pamit. Arumi akan pulang ke rumah orang tua. Dan mungkin, tidak lama lagi akan berpisah dengan Dimas." Kataku sembari tertunduk.
Ada rasa nyeri menelusup di relung hati setelah aku mengucapkannya sendiri kata berpisah dengan Dimas di depan orang tuanya.
"Huh? Hahahaha... Gila menantu mu ini Mbak! Hahahaha...."
Tante Yuni tertawa. Entah apa yang dia tertawakan aku tidak mengerti. Sedangkan Mama terlihat marah. Wajah memerah sembari mengeratkan gigi-giginya dengan napas yang turun naik.
"Pergi Kamu!! Dan jangan kembali lagi! Aku tidak sudi punya menantu seperti mu!! Cepat pergi!! Tinggalkan rumah ini!!"
Dan murka lah Ibu mertuaku. Cepat atau lambat kejadian seperti ini pasti terjadi. Aku pun sudah pasrah dengan keadaan. Hanya mengikuti air mengalir yang tidak tahu akan kemana membawa ku pergi.
"Maafkan Arumi Ma. Dan terima kasih, telah menjadi Mama mertua Arumi yang baik selama ini." Kataku tulus sembari menunduk.
Tak berani ku tatap wajah ibu mertuaku juga tante Yuni.
"Sudah sana! Ngapain lama-lama kamu disini?! Nih, bawa pergi koper yang sudah kamu siapkan itu! Dasar tukang selingkuh!"
Koper? Ah, rupanya mereka masuk dan memeriksa kamarku. Bahkan koper ku sudah mereka bawa turun ke ruang tamu ini. Terlalu bersedih aku sampai tidak menyadari.
Ku raih koper yang di dorong oleh Tante Yuni. Menunduk kepala aku memberikan rasa hormat ku untuk yang terakhir kepada mereka sebelum aku benar-benar pergi. Mereka adalah keluarga Dimas. Jadi aku tetap harus menghormati mereka sampai putusan sidang nanti.
Aku melangkah pergi. Membalikkan tubuh sesaat memandangi lantai atas dan lorong dimana dapur berada. Disana banyak terukir kenanganku bersama Dimas yang akan selalu ku simpan dan ku kenang selamanya. Kenangan cinta pertama yang mungkin sulit untuk di lupakan.
"Kenapa berhenti?! Cepat pergi!!"
Aku tersadar dari lamunan ku sesaat setelah Tante Yuni mengusir ku kembali. Aku pun kembali melangkah keluar dari rumah yang membuat kenangan baru yang lebih baik dari pernikahan pertama ku.
Pak Hasan dan Pak Wawo menatap ku prihatin dan gelisah. Aku hanya bisa tersenyum untuk mengurangi kekhawatiran mereka.
"Bu..."
Pak Hasan ragu-ragu untuk berkata.
"Tidak usah Pak. Biar saya sendiri. Saya hanya pulang ke rumah orang tua. Bapak jangan khawatir."
Pak Hasan tampak sedih. Lalu kemudian mengangguk.
Aku tahu lelaki itu tak bisa apa-apa. Pasti mereka mendengar semua percakapan ku dan ibu mertua karena pintu rumah terbuka dengan lebar saat kami berbicara.
"Saya pamit ya Pak Hasan, Pak Wawo. Mohon maaf jika saya ada salah. Titip pamit saya juga kepada Bibi dan Pak Wiwi."
"Baik Bu." Jawab keduanya serempak dengan wajah iba.
"Assalamualaikum..."
"Wa'alaikumsalam..."
Aku menyeret koper ku setelah mengucapkan salam. Berjalan menelusuri jalan yang aku tahu untuk menuju ke rumah.
Lelehan air mata mengalir di pipi. Beberapa orang yang melintas memandangi aku dengan rasa penasaran. Ada juga yang melihatku dengan rasa iba. Namun ada juga yang terkekeh bersama teman-temannya sembari berbisik-bisik.
Aku sudah tak kuasa mempermasalahkan tatapan mereka padaku. Sesak di dada dan rasa sedih yang membuncah sudah tak sanggup untuk ku tahan.
Dengan tangan gemetar aku mengeluarkan handphone ku untuk memesan taxi online. Lalu berdiri bersama koper ku di pinggir jalan menunggu taxi yang ku pesan. Tidak lama taxi itu datang. Aku segera masuk ke mobil dan menunggu tiba di rumah kedua orang tuaku.
Jejak air mata perlahan aku hapus. Untungnya masalah ini sudah di ketahui oleh kedua orang tuaku dan keputusanku pun sudah mereka dengan kemarin.
Setelah ini, aku tinggal menata hidup yang baru, memulainya lagi dari awal. Terlintas di kepala ku untuk mencari pekerjaan di kota lain dengan suasana baru. Dengan kepergian ku yang jauh, aku tidak mungkin lagi berhubungan dengan Dimas dan Renata tidak perlu memburu ku.
Yah, seperti itu saja. Tinggal di kosan dan bekerja sebaik-baiknya. Pulang sesekali melihat orang tua dan mengirimi mereka kabar setiap harinya, seperti itu juga tidak buruk.
Bersambung...
Jangan lupa dukung Author dengan like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
apa ini... jgn bilang ini akal2an renata n mau jebak dimas.. mau bikin huru hara itu kayaknya si ulet bulu🙄🙄🙄 moga arif bisa nolong dimas andai semua ini jebakan si renata
mom...aku terkontaminasi ini..🙃🙃🙃🙃🙃🙃🙃