Mu Yao, seorang prajurit pasukan khusus, mengalami kecelakaan pesawat saat menjalankan misi. Secara tak terduga, ia menjelajah ruang dan waktu. Dari seorang yatim piatu tanpa ayah dan ibu, ia berubah menjadi anak yang disayangi oleh kedua orang tuanya. Ia bahkan memiliki seorang adik laki-laki yang sangat menyayanginya dan selalu mengikutinya ke mana pun pergi.
Mu Yao kecil secara tidak sengaja menyelamatkan seorang anak laki-laki yang terluka parah selama perjalanan berburu. Sejak saat itu, kehidupan barunya yang mendebarkan dan penuh kebahagiaan pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seira A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 : Kejutan yang Tak Disangka
Melihat warna kuning yang mencolok di kejauhan, semua pikiran di kepala Mu Yao langsung sirna. Ia buru-buru lari ke arah sana. Mu Cheng yang tak tahu apa yang terjadi, panik dan langsung mengangkat golok besar lalu mengikuti dari belakang.
Mu Yao berlutut di depan semak, pelan-pelan menyapu salju tipis di atasnya hingga akhirnya memperlihatkan tanaman berwarna kuning yang ia lihat tadi.
Ia menatap lekat-lekat tanaman itu. Tingginya sekitar enam puluh sampai tujuh puluh sentimeter, batangnya tegak lurus dengan banyak cabang di bagian atas yang menyilang satu sama lain. Di tiap cabang ada semacam duri kecil. Daunnya berbentuk majemuk seperti bulu, dan setiap daun terdiri dari belasan hingga dua puluhan anak daun kecil, dengan tangkai yang panjangnya kurang dari satu sentimeter.
Bunganya tumbuh dalam bentuk tandan yang rapat. Satu tandan bisa punya lebih dari dua puluh bunga, dengan kelopak lonjong berwarna kuning tua—jauh lebih gelap dibanding bunga Sanqi yang pernah ia lihat di kehidupan sebelumnya. Kelopak itu dibungkus oleh kelopak hijau berbentuk tombak, dan di tangkainya tumbuh bulu-bulu putih halus. Kelopak menggantung setengah, tapi batang dan daunnya justru tegak mengarah ke atas.
Yang juga ikut tegak adalah beberapa buah polong. Bentuknya agak melengkung, ujungnya runcing, dan di permukaannya seperti dilapisi selaput hijau gelap yang tampak menggembung, seolah sebentar lagi akan pecah. Kalau dilihat dari jauh, mirip banget dengan polong kedelai.
Mu Yao melongo saking kagetnya—Huangqi (akar astragalus)! Nama itu langsung terlintas di kepalanya. Tapi... ini terlalu nggak masuk akal! Bukan karena Huangqi itu langka atau bernilai tinggi, tapi karena di musim seperti ini bunga seharusnya udah lama gugur!
Setahu Mu Yao, Huangqi biasanya berbunga antara bulan Juni sampai Agustus. Sekarang udah lewat jauh dari itu. Bahkan buah polongnya pun mestinya udah dipanen sekitar bulan September. Tapi yang di depannya ini...? Ia langsung memeriksa lagi dengan lebih cermat, bahkan mencabut sedikit tanah di akar pakai belati untuk memastikan—dan benar saja, ini memang Huangqi!
Mu Cheng yang berdiri di belakangnya, melihat putrinya berdiri lagi, akhirnya bertanya, “Nak, ini... tanaman obat, ya?”
Tadi ia nggak berani ganggu karena putrinya kelihatan serius banget.
Mu Yao mengangguk sambil tersenyum sumringah. “Iya, Ayah! Ini Huangqi! Tanaman obat yang sering banget dipakai!”
“Tanaman obat? Berarti bisa dijual lagi, dong?” Mu Cheng ikut senang bukan main.
Mereka pun mulai berbagi tugas untuk menggali akar Huangqi. Dulu waktu Mu Yao pergi cari tanaman obat sendiri, ia harus terus waspada dengan sekitar sambil gali perlahan, makanya kerjanya lambat. Tapi sekarang ada Ayah, ia bisa lebih fokus menggali.
Meski Mu Cheng pernah bantu menggali tanaman obat, tekniknya masih kasar, sering kali malah bikin akar rusak. Tapi hari ini, ia yang berjaga-jaga sementara anaknya menggali. Ternyata kerja sama mereka cukup kompak juga.
Tanaman Huangqi ini tumbuh di bawah semak, sebagian terlindungi batu besar, jadi akarnya nggak tertutup salju terlalu tebal. Apalagi daerah desa kecil ini nggak terlalu dingin, biasanya saljunya cuma tipis-tipis. Tahun ini aja yang agak deras. Tanah beku pun cuma lapisan tipis di permukaan. Mu Yao dengan cepat membersihkan lapisan beku itu, lalu mulai menggali perlahan ke bawah.
Sayangnya, hari ini ia nggak bawa alat penggali khusus. Ia cuma punya belati yang biasa ia bawa, jadi ya agak lambat kerjanya.
Butuh waktu satu jam lebih sampai akhirnya semua Huangqi berhasil ia gali. Ia sengaja menyisakan dua tanaman kecil agar tempat itu bisa tumbuh kembali. Soalnya ada beberapa tanaman obat yang nggak boleh dipanen habis. Karena cuaca dingin, ia takut akarnya rusak, jadi batang dan daunnya pun ikut ia masukkan ke dalam keranjang bambu. Ada lebih dari sepuluh akar Huangqi—cukup buat memenuhi satu keranjang!
Selesai, Mu Yao menyeka keringat yang muncul di pelipisnya. Ia pun berjalan turun gunung dengan puas, ditemani ayahnya.
Tapi belum juga sampai bawah gunung, mereka ketiban rezeki lagi.
Dua kelinci putih mendadak muncul dari balik semak, lari ke arah mereka. Tapi begitu lihat ada orang, langsung balik arah dan kabur ke sisi lain. Karena di sekitar situ nggak ada pohon tinggi, salju di tanah pun menumpuk cukup tebal, jadinya kelinci itu larinya nggak secepat biasanya. Mu Yao memperhatikan dengan seksama—sepertinya itu kelinci salju!
Mu Cheng cepat tanggap, langsung ambil busur dan membidik. Mu Yao mengingatkan, “Ayah, jangan rusak bulunya, ya!” Sebenarnya ia bisa saja kejar pakai cambuk, tapi kalau ayahnya sudah turun tangan, ia lebih memilih santai saja.
Kali ini, anak panah Mu Cheng tepat mengenai kaki belakang kelinci yang tertinggal. Si kelinci langsung menjerit dan terjatuh. Kelinci satunya yang tadinya di depan, balik arah karena khawatir, sempat terpaku sesaat, nggak tahu harus gimana. Mumpung begitu, Mu Cheng segera melepaskan anak panah kedua—dan tepat mengenai kepala kelinci itu. Kelinci itu pun langsung ambruk, sementara yang satu lagi cuma sempat meronta sebentar lalu diam.
Mu Cheng akhirnya tersenyum puas. Kali ini ia bisa pamer kemampuan di depan anaknya. Mu Yao langsung memberi pujian, “Wah, Ayah hebat banget! Dapat dua kelinci besar!”
Mu Cheng mendengar pujian itu senangnya bukan main. Dengan semangat ia berlari memungut kedua kelinci itu, mencabut anak panahnya, lalu memasukkannya ke dalam keranjang yang ia bawa di punggung.
Sambil turun gunung, Mu Yao bercanda, “Wah, perjalanan kali ini panennya luar biasa! Dapat babi hutan aja udah hoki, sekarang malah dapat banyak Huangqi, terus dua kelinci salju lagi. Ini sih namanya tiga kali hoki dalam satu hari!”
Mu Cheng ikut ketawa, “Iya, bener-bener beruntung banget. Tapi aneh juga ya, sebelumnya aku nggak pernah lihat kelinci salju di gunung ini?” Meski belum pernah berburu kelinci salju, ia tahu soal keberadaannya.
Mu Yao juga ikut mikir. “Iya ya. Kelinci salju biasanya hidupnya di rawa-rawa atau hutan deket sungai. Mungkin karena ada hutan pohon willow di dekat sini, mereka tertarik datang. Tapi biasanya kelinci salju jarang keluar siang hari, lho. Aku rasa ini bener-bener rezeki dari langit!”
“Betul, ini pasti pemberian dari langit!” Tapi yang sebenarnya ada di hati Mu Cheng—yang ia anggap sebagai karunia terindah dari langit—adalah putrinya sendiri. Apa pun yang pernah terjadi padanya, Mu Yao tetaplah anak perempuan yang akan mereka lindungi dengan nyawa.