cerita ini adalah kumpulan kisah nyata yang di ambil dari pengalaman horor yang dia alami langsung oleh para narasumber
-"Based On truth stories"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon butet shakirah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Miss K
Senja mulai menyusup ke langit dan berwarna jingga, menelusup di antara dedaunan pohon yang bergoyang ditiup angin lembut. Lampu-lampu rumah mulai menyala satu per satu, menandakan hari yang perlahan mundur. Di sebuah rumah sederhana dengan dinding papan dan aroma kopi dari dapur, Arman sedang duduk di teras bersama kedua orang tuanya.
“Aku mau ke rumah Lisa malam ini bu,” ujar Arman sambil menatap ayah dan ibunya, sedikit gugup namun penuh tekad.
“Ibu sudah masak opor buat makan malam kita nanti, kamu nggak mau makan dulu Man?” tanya sang ibu dengan suara hangat.
“Nanti aja, Bu. Aku udah janji sama Lisa. Lagipula, cuma ke desa sebelah kok bu,” jawab Arman sambil tersenyum.
Ayahnya menatapnya sejenak, lalu bertanya dengan nada serius, “Kamu lewat jalan mana nanti?”
“Lewat jalan biasa... yang dekat pohon sagu itu.”
Wajah ayahnya langsung berubah. Sang ibu mencubit pelan lengan Arman, “Nak... malam-malam lewat situ? Orang-orang bilang tempat itu... ya, kamu tahu sendirilah.”
Arman menghela napas. Ia sudah sering mendengar cerita tentang pohon sagu itu. Konon, ada sesosok kuntilanak yang iseng. Namun, Arman bukan tipe lelaki yang mudah takut.
“Tenang, Bu, Yah. Aku nggak macam-macam. Aku cuma lewat doang. Bawa motor, cepat juga sampai.” ujar Arman untuk menenangkan ibunya.
Ayah Arman mengangguk pelan, meski wajahnya masih tampak cemas. “Kalau begitu, hati-hati. Baca doa, jangan takabur di jalan.”
Arman tersenyum dan mencium tangan keduanya. “Iya, Yah, Bu. Doakan aku selamat.”
Langit kini gelap sepenuhnya. Hanya cahaya bulan yang menerangi jalanan sempit yang dipenuhi semak dan bayangan pepohonan. Arman mengendarai motornya pelan, lampunya menyapu jalanan kecil yang sunyi.
Tak lama, ia tiba di depan pohon sagu yang menjulang di samping jalan. Batangnya besar dan daun-daunnya menari seolah disapa angin malam.
Tiba-tiba—brenggg!
Arman merasa seperti ada yang melemparinya sesuatu. Ia berhenti. Padahal ia yakin jalanan tadi mulus. Ia turun dan mengecek. Tak ada batu. Tak ada apa-apa.
Arman menoleh ke kiri dan kanan, mencari siapa yang telah melemparinya.
"siapa yang ada di sana?," teriak Arman dengan nada tinggi. "jangan ganggu aku, Aku ingin melanjutkan perjalanan."
Kuntilanak itu tertawa dengan suara yang menakutkan. "Kamu tidak bisa melewati sini tanpa berbicara denganku hihihihiiiiiiii," katanya sambil mengangkat tangan.
Arman yang merasa terganggu. Ia mencoba mencari sesuatu untuk melindungi diri. Ia melihat batu di tanah dan mengambilnya. Dengan cepat, ia melempari kuntilanak itu dengan batu namun tidak kena.
“Heh, jangan berani-berani lewat sini hihihiiiiiii,” terdengar suara sosok kuntilanak pelan dan berat dari balik pohon sagu.
Arman menoleh lagi dengan cepat. Di sana, samar-samar, terlihat sosok perempuan bergaun putih dengan rambut panjang yang menutup wajahnya. Ia tak tertawa seperti cerita kebanyakan. Ia hanya berdiri, memelototi Arman.
Arman menarik napas dalam. “Aku cuma lewat, Mbak. Nggak ganggu siapa-siapa.”
Namun sosok itu melayang pelan, seolah mendekat.
“Huss!” Arman meraih batu kecil di tanah dan melemparkannya.
Brak!
Sosok itu menghilang sejenak, lalu terdengar suara tawa lirih di balik semak. Tak lucu. Tak manusiawi.
"hihihiiiiiiii"
Arman kembali melemparkan batu, kali ini lebih keras, hingga terdengar jerit tipis. Sosok putih itu beterbangan dan melayang—melewati sungai kecil di dekat jalan.
Arman menggenggam kemudi motornya erat. Tapi sebelum ia melaju, terdengar bisik-bisik sayup dari arah sungai.
"Sudah... jangan ganggu dia... beliau ada yang menjaganya... kita tak bisa mendekatinya..."
Angin bertiup pelan melewati wajah Arman. Dingin.
Beberapa menit setelah pertemuan ganjil itu, Arman akhirnya tiba di rumah Lisa. Rumah panggung bercat hijau muda itu berdiri di pinggir kebun karet, remang diterangi cahaya lampu neon kuning yang menggantung di beranda.
Lisa sudah menunggunya, duduk sambil mengayunkan kakinya di tangga kayu. Rambutnya disanggul longgar, mengenakan kain batik dan blus putih sederhana.
“koq kamu Lama banget sih,” sapa Lisa sambil cemberut.
“Maaf… aku... sempat ketahan tadi di jalan.” balas Arman lesu
Melihat wajah Arman agak pucat, Lisa berdiri dan menuntunnya duduk di bangku teras.
"kamu tunggu sebentar ya, aku ambilkan minum untuk kamu" ucap Lisa kemudian bergegas ke dalam rumah hendak mengambilkan minuman untuk pacarnya Arman.
"iya" lirih Arman.
setelah Lisa kembali sambil membawa segelas teh hangat untuk Arman dan juga sedikit cemilan di piring. Lisa memberikan minuman ke Arman.
"ini silahkan kamu minum dulu ya" ucap Lisa
"makasih ya Lisa" sahut Arman
"iya sama sama"seru Lisa
setelahnya Arman meminum teh hangat beberapa teguk, lalu kembali meletakkan minumannya ke atas meja.
“Kamu sebenarnya kenapa? datang - datang mukamu pucat banget” heran Lisa
Arman diam sejenak. Sorot matanya masih terfokus pada apa yang barusan dialami. “Tadi... aku lewat pohon sagu itu.”
Wajah Lisa langsung berubah. “Pohon sagu... yang di tikungan itu?”
Arman mengangguk. “Aku lihat... seseorang. Perempuan. Atau... entahlah, bukan orang. Dia ganggu aku. Sampai harus aku lempar batu biar pergi.”
Lisa menarik napas panjang, lalu duduk di samping Arman, pelan-pelan.
“Dia usil, tapi jarang sampai kelihatan jelas. Kamu... lihat wajahnya?” tanyanya pelan.
“Enggak. Rambutnya nutupin. Tapi suaranya... seperti mengambang di udara. Dan, sebelum aku pergi, ada suara lain—kayak... sosok lain yang ngomong, bilang aku jangan diganggu. Katanya, aku ada yang jagain.”Jelas Arman kepada Lisa
Lisa menatap kosong sejenak, lalu berkata lirih, “Kamu memang ada yang jagain. Kau belum tahu, kan? Di desamu, banyak orang bilang kamu itu cucu dari tetua adat pendiri desa desa sekitar yang dulu sangat terkenal dan di segani masyarakat. Banyak yang percaya dia meninggalkan semacam perlindungan untuk keturunannya.”
Arman tersentak. Ia memang pernah dengar cerita dari ayahnya, tapi tak pernah tahu lebih dalam.
“Kamu nggak percaya?” tanya Lisa pelan.
Arman mengusap lehernya, gugup. “Aku cuma… belum bisa mencerna semua ini. Tapi, semua terasa nyata. Anginnya, suaranya... bahkan suara tawa itu... bukan mimpi.”
Lisa menggenggam tangan Arman, hangat dan penuh keyakinan. “Kamu selamat. Itu sudah cukup. Banyak yang jatuh dari motor di sana, bahkan ada yang hilang sementara. Tapi kamu... cuma diganggu sebentar.”
Arman mengangguk pelan. Di tengah malam yang tenang, ditemani suara jangkrik dan sesekali anjing menggonggong dari kejauhan, dia merasa... tidak sendiri.
“Aku cuma ingin ketemu kamu malam ini. Tapi sepertinya aku juga ketemu bagian dari diriku yang belum aku pahami,” lirih Arman
Lisa tersenyum, lembut namun dalam. “Malam kadang menyimpan rahasia. Tapi juga membuka mata.”
"namun Aku bersyukur kamu tidak terluka." lanjut Lisa yang cukup lega.
Arman merasa lega. "iya Aku juga bersyukur tidak terjadi hal buruk padaku meski mengalami kejadian aneh saat di perjalanan tadi," katanya.
"Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk, nanti saat mau pulang kamu di kawal beberapa warga di sini ya"ucap Lisa sambil tersenyum manis.
"Aku merasa tak enak bila merepotkan warga di sini," katanya.
" sudah tak apa - apa, warga di sini baik kok, aku tak mau kamu mengalami hal buruk saat pulang nanti" ujar Lisa khawatir.
"baiklah nanti aku pulang di kawal warga sini, makasih ya udah khawatir sam aku" sahut Arman sambil tersenyum.
"iya Arman, aku harap kamu selalu aman di manapun kamu berada" harap Lisa sambil memegang tangan Arman.
Arman merasa bahagia. Ia tahu bahwa ia memiliki kekasih yang peduli dan menjaganya. Ia berharap bahwa mereka akan selalu bersama-sama dan menjalani hidup yang bahagia.