Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Sementara itu, di dalam kamar, Tasya mulai gelisah. Uang jajan menipis, ponselnya hampir tidak memiliki pulsa, dan tidak ada lagi uang tambahan untuk membeli skincare-nya. Ia mulai merasakan apa yang selama ini disediakan oleh tangan Aluna. Tapi bukannya sadar, ia malah merasa dunia tak adil padanya.
“Mama!” Tasya berteriak dari kamarnya. “Kapan mau cari Aluna? Tasya butuh uang!”
Bu Ratna menengadah dari dapur, mengelus wajahnya yang mulai keriput. Pikirannya kalut. Tapi jauh di dalam hatinya, ada terbersit rasa bersalah yang mulai tumbuh. Rasa bersalah yang selama ini ia tekan dengan gengsi dan otoritas sebagai orang tua angkat.
Malam itu, ketika lampu di rumah sudah redup dan suara jangkrik menggema dari halaman belakang, Bu Ratna duduk sendirian di ruang tamu. Di tangannya tergenggam foto masa kecil Aluna yang sudah mulai pudar warnanya. Matanya berkaca-kaca.
“Maafkan mama, Aluna... Kalau saja mama lebih sayang. Kalau saja mama nggak lupa diri sama semua yang sudah kamu lakukan untuk keluarga ini... mungkin kamu nggak akan pergi.”
Namun kata maaf yang datang terlambat, hanya bisa menari dalam sunyi. Karena gadis yang mereka remehkan itu, kini telah menemukan tempat di mana ia bisa dicintai tanpa harus mengorbankan dirinya.
Dan di tempat lain, Aluna yang sedang tidur di kamar nyaman milik Zayyan, tak tahu bahwa rumah lama yang dulu ia sebut rumah, kini hanya tinggal dinding dan debu yang menyesali kepergiannya.
...----------------...
Beberapa hari telah berlalu sejak malam ketika Zayyan terbangun dari pingsannya dan menemukan Aluna tertidur di sisinya. Waktu seolah memperlambat langkahnya dalam kamar sempit itu, seakan memberi ruang bagi dua jiwa yang patah untuk belajar tumbuh kembali, pelan-pelan—tanpa paksaan, tanpa tuntutan, hanya dengan keberadaan satu sama lain.
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk lewat sela-sela tirai berwarna krem yang belum sepenuhnya tertutup. Zayyan, yang baru saja kembali dari tugasnya di markas, berjalan pelan menuju ruang tamu. Sejenak ia berdiam diri, membuang semua suara-suara yang terus berbunyi di kepalanya, dan membiarkan tubuhnya larut dalam keheningan apartemennya.
Ia meletakkan jaketnya di sofa dan duduk, hendak mengambil sebotol air dari meja saat pandangannya tertumbuk pada sebuah buku sketsa. Warna sampulnya sedikit lusuh, namun beberapa lembar sketsa itu menonjol keluar tak beraturan, seolah buku itu telah lama menyimpan sesuatu yang ingin diteriakkan.
Zayyan meraihnya, awalnya hanya dengan niat iseng untuk melihat apa gambar yang terlukis di dalam sana. Namun ketika jari-jarinya membuka halaman pertama, matanya langsung terdiam. Ada goresan lembut di sana—sketsa gaun dengan detail rumit, rancangan blouse yang elegan, hingga desain kasual yang tetap memancarkan keanggunan. Semua penuh perasaan. Penuh cerita.
Setiap coretan di halaman itu berbicara. Tentang mimpi, tentang imajinasi, dan mungkin tentang luka yang diolah menjadi sesuatu yang indah.
Zayyan membalik halaman demi halaman, dadanya terasa hangat. Ia tak tahu banyak soal dunia fashion, tapi ia tahu betul saat melihat sesuatu yang punya nyawa. Dan sketsa-sketsa milik Aluna bukan hanya sekedar gambar. Mereka adalah potongan gambar yang dilukis dari hati.
“Aluna...” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.
Beberapa menit kemudian, Zayyan berjalan ke dapur, mendapati Aluna sedang memanaskan air untuk membuat teh. Gadis itu mengenakan kaos longgar miliknya, rambutnya digulung sembarangan. Tapi di mata Zayyan, tak ada yang lebih memikat dari kesederhanaan yang dimiliki Aluna.
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/