Menceritakan tentang gadis belia yang memutuskan menikah muda, mampu kah ia menjalani biduk rumah tangga yang penuh liku-liku? akan kah ia menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspita.D, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
"Ssstttt.....ssstttt" aku mendengar suara mas Tio mendesis, aku pun bertanya kepada nya.
"Kamu kenapa mas, dari tadi aku dengar mendesis-desis kaya ular" kata ku.
"Gigi ku sakit, seperti gara-gara makan daging kemarin" sahut nya, aku pun tersenyum miring.
"Mungkin kamu kuwalat mas makan daging nggak ajak-ajak" kata ku tentu saja hanya membatin.
Sekarang setiap berangkat mencari besi tua mas Tio selalu membawa es batu, karna sakit gigi nya tak kunjung sembuh hingga usia kandungan ku kini 9 bulan, namun mas Tio masih tersiksa dengan sakit gigi nya.
Suatu pagi aku melihat abang-abang yang jual buah duku. Rasa nya kepingin, tapi mas Tio tak memberiku uang lebih untuk belanja satu hari. Ia menyimpan uang nya di bawah kasur. Karna ingat didikan mama, aku tak berani mengambil uang itu.
"Jangan ambil uang yang belum di serahkan pada mu, walaupun itu uang suami mu, itu nama nya mencuri" itu lah pesan mama yang selalu aku ingat.
Kalo sudah rezeki memang tak kan ke mana, kebetulan ada anak bude ku lewat.
"Putri ngapain di situ?" tanya mba Mida.
"A...aku kepingin buah duku itu mba, tapi aku tak punya uang" jawab ku, rasa nya aku sangat malu, tapi kalo aku diam nanti anak ku ngileran.
"Oalaaah....sinu biar mba yang belikan" kata mba Mida, aku pun mengangguk.
Mba Mida membelikan buah duku setengah kilo.
"Maaf ya..mba cuma bisa belikan setengah kilo" ucap nya.
"Nggak papa mba, ini juga sudah banyak, terima kasih banyak ya mba" kata ku, mba Mida menjawab dengan anggukan dan senyuman.
Setelah mba Mida pergi, aku pun pulang, dan segera aku santap buah duku tersebut. Hmmmm jangan di tanya rasa nya. Enaaaaaaak banget.
"Loh Putri makan duku nggak bagi-bagi" kata mama yang tiba-tiba datang.
"Ih mama, ini tadi aku minta beliin sama mba Mida" kata ku sambil terus menikmati buah duku di hadapan ku.
"Loh kok Mida beliin kamu duku, memang nya kamu nggak bisa beli sendiri?" tanya mama merasa aneh.
"Nggak punya duit" jawab ku dengan mulut penuh dengan buah duku.
"Bukan nya Tio kerja nya lancar, kok sampai kamu nggak punya duit" mama terus saja bertanya, sementara aku baru sadar kalo aku terlalu jujur.
"Hmmmm, maksud aku mas Tio belum jual besi tua nya ma, jadi belum ada duit" jawab ku asal.
"Masa' sih bukan nya kemarin sudah di bawa ke pengepul ya?" aku bingung harus menjawab pertanyaan mama.
"Sudah lah ma nggak usah di bahas, nih habisin duku nya, perut ku sudah kenyang" ujar ku sambil menyodorkan duku yang hanya tinggal 5 biji.
"Halah...jelas sudah kenyang, lah wong cuma sisa 5 biji" gerutu mama. Aku hanya meringis memperlihat kan gigi ku.
"Put...nanti malam mama sama bapak mau ke rumah pak RT, kata nya sih ada acara khitan anak nya, kamu mau ikut?" seru mama, karna aku sudah berada di dalam kamar.
Mendengar pertanyaan mama, aku pun keluar lagi, nggak sopan rasa nya kalo menjawab pertanyaan mama dengan berteriak.
"Nggak ah ma, perut besar gini pasti cape kalo harus duduk lama" kata ku sambil mengelus perut ku yang sudah besar.
"Ya sudah, kalo nggak mau ikut, tapi jangan berantem lagi seperti tempo lalu" ucap mama, aku pun mengangguk sambil tersenyum.
Malam nya mama sama bapak beneran berangkat ke rumah pak RT menggunakan motor, karna rumah nya lumayan jauh, di ujung kampung.
Tinggal aku dan mas Tio di rumah.
"Mas sudah makan?" tanya ku pada mas Tio.
"Belum"Jawab nya singkat.
"Ya sudah tunggu sebentar ya, aku buatkan makanan" mas Tio hanya mengangguk.
Aku pun segera pergi ke dapur untuk membuat kan makanan, baru saja mengupas bawang merah, mas Tio sudah teriak memanggil ku.
"Dek...dek...kemari lah" seru nya dari dalam kamar.
"Sebentar mas sabar dulu, nggak lama mateng kok" sahut ku.
Namun mas Tio malah menyusul ku ke dapur. Dan tanpa di duga, mas Tio mengambil pisau yang aku pegang dan meletakan nya.
Aku terkejut, tiba-tiba mas Tio menggendong tubuh ku. Yah walau pun perut ku besar, tapi berat badan ku nggak naik-naik, dari sebelum hamil sampai perut ku besar berat badan ku tetap di angka 45.
"Mas turunin nanti aku jatuh" lirih ku, mas Tio tetap menggendongku menuju kamar tatapan nya sayu.
Malam itu dengan perut kosong mas Tio malah meminta jatah nya, tentu saja aku nggak bisa nolak, meski selama menikah aku belum pernah sekali pun merasakan yang nama nya klimaks.
Tapi aku selalu menerima nya, tak pernah menuntut mas Tio untuk membuatku puas.
...****************...
Hari-hari berlalu begitu cepat. Kandungan ku sudah memasuki hari H persalinan.
Sore itu aku melihat ada bercak coklat di celana dalam ku. Aku pun segera bertanya pada mama.
"Ma..apa aku haid ya? Kok keluar darah seperti tanda-tanda mau haid?" tanya ku.
"Hah yang bener, itu berarti kamu mau melahirkan" seru mama sedikit panik.
Mas Tio yang beberapa hari lalu kambuh sakit gigi nya. Tak terlalu perduli dengan ku, ia hanya perduli pada diri nya sendiri, bagaimana cara nya tidur nyaman tanpa sakit gigi yang menyiksa nya.
Tepat pukul 6 sore aku membuka pintu dapur, aku tertegun melihat bola api tak jauh dari rumah mama, turun dari atas dan menghilang di antara pepohonan.
"Ma...apa itu tadi" tunjukku ke arah bola api tadi menghilang.
"Ada apa?" tanya mama.
"Ada bola api turun di atas" jawab ku yang masih tertegun.
"Apa? Masuk! Tutup pintu nya" seru mama tanpa menjelaskan apa itu tadi.
Makam nya aku sudag nggak bisa tidur, perut ku terasa mules nyeri, entah rasa nya bercampur aduk, sementara mas Tio tidur dengan nyenyak nya. Namun sesekali ia terbangun karna gigi nya nyut-nyutan.
Hingga subuh, aku masih merasakan sakit pada perut ku. Pagi nya bapak memanggilkan dukun beranak.
Aku begitu tersiksa dengan rasa sakit yang luar biasa.
"Aduh, aku mau buang air besar" kata ku, namun dukun beranak yang membantu ku melarang ku pergi kemana-mana.
"Sudah buang air besar nya di sini saja, jangan ke mana-mana, nanti salah-salah bayi mu yang keluar dan jatuh di kloset" ucap nya.
Aku menggeleng rasa nya tak percaya, mana mungkin aku BAB di sini.
Di tengah sakit nya yang semakin luar biasa, mas Tio tak mendampingi persalinan ku, dia malah asik tidur di ruang tengah. Sedangkan aku harus berjuang sendiri bersama dukun beranak.
Karna sudah tak tahan rasa ingin BAB, akhir nya aku tak perduli aku keluarkan saja kotoran ku di tempatku berbaring.
Tanpa rasa jijik dukun beranak itu pun membungkus kotoranku dengan kain dan menyisihkan nya.
Saking susah nya keluar bayiku, hingga mama pun membantu mendorong perut bagian atas.
Dan lahir lah bayi perempuan. Rasa nya tubuh ku begitu lelah. Bayangkan saja dari malam hingga jam 4 sore baru keluar si jabang bayi.
Kata orang tua dulu sih, karna bayi nya perempuan, mau keluar dandan dulu.
Dan dengan rasa jijik, mas Tio terpaksa mencuci semua kain bekas darah dan tentu nya yang ada kotoran ku tadi he he....